Tulisan kali ini, dipantik dari sebuah kutipan di salah satu pidato Bung Karno yang berjudul Rediscovery of Our Revolusion (penemuan kembali revolusi kita). Kenapa penemuan kembali?
Ya karena kita telah kehilangan arah dan tujuan yang semestinya: Revolusi Sosial menuju tatanan masyarakat Sosialisme Indonesia, masyarakat tanpa exploitation de lom par lom, masyarakat dunia tanpa exploitation the nation par nation.
Bingung ya, Nabs? Aku juga bingung kok. Sebingung ketika tengah malam tiba dan si dia lupa nga kirim chat WA — berbunyi: jangan lupa bobo, Ya — di ponsel saya, sebuah kebingungan yang terjajah dan kontra revolusi.
Awalnya, tulisan ini mau saya kasih judul Menemukan Kembali Cinta Kita atau Menemukan Kembali Kecocokan Kita atau Menemukan Kembali Kerinduan Kita. Tapi, karena tema itu kurang revolusioner, saya kira lebih cocok ditulis Faizal Paijrot saja.
Ohya, penemuan Kembali mengandung makna bahwa Revolusi merupakan proses yang dinamis dan penuh kerja keras. Semacam gairah dan harapan untuk berkecukupan dalam segala sendi kehidupan.
Cukup dalam hal apapun. Cukup dalam sayang sandang, pangan dan papan. Serta cukup dalam kasih-mengasihi serta cinta-mencintai antar aku dan si dia sesama. Terlebih, dia perhatian banget sama aku (Duh, ini siapa sih yang nulis kek gini)
Nabs, susunan masyarakat yang serba tercukupi, hanya akan menjadi utopia belaka, bila tak disertai dengan kerja-kerja ideologis yang riil dan merasuk di dalam tiap persoalan rakyat.
Kita yang meyakini tiga fondasi utama Bangsa Indonesia; Sosio Nasionalism, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan YME, harusnya mampu mewujudkan ketercukupan itu dalam tiap segi kehidupan rakyat. Sehingga mampu mewujudkan tatanan masyarakat sosialisme Indonesia.
Sebagai kader GMNI, tak dapat menampik bahwa saat ini, kita memasuki pembabakan zaman yang baru, zaman yang jelas berbeda ketika Bung Karno mencetuskan Marhaenisme sebagai bagian dari proses mendirikan Republik.
Kini kita berhadapan dengan zaman yang mengkonstruksi kehidupan masyarakat berbasis teknologi. Sebuah zaman yang membentuk dan mengikat manusia, untuk selalu butuh teknologi dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Perubahan ini, disadari atau tidak, berdampak pada tiap sendi kehidupan masyarakat; baik dampak sosial, ekonomi, hingga politik. Sebab, tiga dampak tersebut tak bisa lepas dari perubahan.
Nabs, tiap zaman melahirkan tuntutan yang mau tidak mau, harus dipenuhi dengan cara yang berbeda. Bila melihat persoalan tersebut, terkuak sebuah kenyataan bahwa kita sebagai pemuda sekaligus mahasiswa, menjadi bagian yang terikat dalam zaman yang baru.
Kondisi obyektif inilah yang harus mampu direfleksikan kembali untuk menemukan sebuah strategi bagi gerakan kita, yang merupakan perwujudan dari marhaenisme.
Sebab, apabila kita gagal melakukan proses analisa dan refleksi gerakan, niscaya GMNI hanya akan menjadi sebuah Gentong: besar tapi tak memiliki isi dan subtansi perjuangan.