Di tengah maraknya perbisnisan poligami dengan berbagai cara marketing, mengglorifikasi kesetiaan BJ Habibie adalah bagian dari upaya penyelamat kewarasan.
Satu hal yang patut disyukuri adalah, meski lahir di bulan Juni, untungnya Habibie tak lahir sebagai gemini, dan menjadi golongan zodiak yang begitu menyebalkan.
Ini pula yang rasanya jadi hal yang menyenangkan dari sosok Habibie, ia tak haus akan perhatian banyak orang untuk menjadikannya besar, cukup Ainun saja, pertama dan satu-satunya.
Barangkali kalian muak, dari banyak hal yang dapat dikagumi dari sosok Habibie, tapi orang lebih memilih mengglorifikasi kisah asmaranya dengan Ainun.
Tapi, barangkali kalian lupa bahwa mulai banyak orang-orang yang menjual dan memperbisniskan isu poligami, hingga ada seminar dan pelatihannya. Dan, di tengah maraknya perbisnisan poligami dengan berbagai cara marketing, mengglorifikasi kesetiaan tentu adalah bagian dari upaya penyelamat kewarasan.
Tentu kesetiaan Habibie pada Ainun tak ada kaitannya dengan apakah ia mengimani poligami yang dilakukan oleh Rasulullah. Ini barangkali menjadi kesalahpahaman yang mutlak di dalam masyarakat, bahwa mereka yang tak melakukan poligami atau bahkan menolaknya dianggap tak mewarisi perilaku Rasulullah. Tak menjalankan sunnah Rasul.
Eits, Nabsky, jangan gegabah mengambil kesimpulan buta. Suatu hukum tentu lahir dari satu permasalahan, itulah yang menjadi dasar ditetapkannya hukum. Quraish Shihab dalam satu tayangan pernah mengatakan bahwa ada dasar yang melatarbelakangi dibuatnya hukum, apabila dasar itu berubah, maka hukum pun akan berubah.
Pertama, perlu diketahui bahwa kondisi di masa kini telah jauh berbeda dengan kondisi di masa lalu, yakni di jaman Rasulullah hidup. Di masa lalu, hukum yang memperbolehkan berpoligami turun ketika umat islam di jaman Rasulullah menghadapi perang.
Banyak perempuan menjadi janda karena suaminya tewas di medan perang, dan untuk melindungi perempuan-perempuan tersebut dari fitnah dan bahaya, maka diperbolehkan laki-laki untuk mengawini janda-janda tersebut.
Dalam kondisi itu pula, Rasulullah dalam masa perjuangan menyebarkan agama islam, dan jumlah umat islam di masa itu sungguh amat sedikit, karenanya perkawinan dilakukan untuk memperbanyak keturunan dan mempercepat penyebaran islam.
Ini dikatakan pula oleh salah seorang ulama, Muhammad Abduh, yang dikutip dalam Jurnal Gender Equality : International Journal Of Child and Gender Studies Vol. 1, No. 1, Maret 2015 berjudul Poligami Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif, karya Edi Darmawijaya.
Di dalam jurnal tersebut dikatakan, “Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang, yakni dengan alasan: Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat gugur dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu.
Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya.
Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.”
Setelah membaca kutipan di atas, maka coba kembali bertanya, apakah poligami masih relevan?
Memang betul bahwa Tuhan mengijinkan seorang laki-laki mengawini lebih dari satu perempuan, tapi sepertinya beberapa dari kita lupa bahwa di dalam ayat yang sama yang digunakan sebagai dalih untuk berpoligami, yakni pada An-Nisa ayat ketiga, Tuhan pula telah memperingatkan bahwa poligami memiliki potensi besar bagi seorang suami untuk berlaku tidak adil, dan hal tersebut masuk ke dalam golongan aniyaya.
Untuk itulah Allah kembali mengatakan, kawinilah seorang saja. “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Bukankah itu sebuah peringatan untuk kita semua agar menjaga diri dari berlaku tidak adil dan aniyaya?
Yang dilakukan Habibie kepada Ainun tentu pula masuk dikatakan sebagai meneladani Rasul, yakni mencintai istrinya sepanjang hidup. Ainun tak pernah merasakan dimadu oleh Habibie, persis seperti Khadijah tak pernah dimadu oleh Rasulullah sepanjang hidup.
Rasul menerapkan monogami selama 25 tahun, dan baru berpoligami pasca kematian Khadijah, yakni sepanjang 12 tahun sisa hidupnya. Sehingga selama 25 tahun, cinta Rasulullah hanyalah untuk Khadijah seorang.
Di antara glorifikasi istri sholehah yang hanya ditafsirkan secara asal dengan memperbolehkan suaminya berpoligami, maka ijinkan saya mengglorifikasi kesetiaan seorang suami.
Dan di bulan lahir tokoh nasional, ilmuan hebat yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, B.J Habibie, saya ingin kembali mengingatkan kalian betapa orang sebesar Habibie mampu bersertia pada istri pertama dan satu-satunya, Ainun.
Yang kisahnya ditulis dan diangkat menjadi film. Siapa perempuan tak baper jika dicintai layaknya Ainun? Siapa perempuan tak baper jika dicintai layaknya Khadijah? Bahkan istri-istri Rasulullah lainnya pun pernah merasakan keceburuan pada Khadijah yang telah wafat kala itu.
Sebuah pepatah mengatakan bahwa, “tidak ada hal lain yang lebih penting yang bisa dilakukan seorang ayah untuk anak-anaknya, selain mencintai ibu mereka.” Itulah pula yang dilakukan oleh Habibie pada Ainun, yang membuatnya memenangkan, bukan hanya hati ibu mereka, tapi juga anak-anaknya.