Gelaran Porprov membuka ranah usaha di bidang penjualan jersey olahraga. Tak hanya masyarakat setempat. Penjual jersey juga hadir dari luar kota. Satu di antaranya dari Kota Kebumen.
Selain sebagai ajang kompetisi para atlet berlaga, event Pekan Olahraga Provinsi Jawa Timur VI punya pengaruh ekonomi bagi masyarakat. Tak ayal bebagai jenis dagangan tersedia di sekitar pelataran ajang dua tahunan tersebut.
Porpov Jatim 2019 yang digelar di Empat Kabupaten yaitu Gresik, Lamongan, Bojonegoro, dan Tuban, seolah membangkitkan keberuntungan tersendiri bagi masyarakat tuan rumah.
Masyarakat yang biasanya berstatus sebagai ibu rumah tangga juga bisa berperan sebagai penjual makanan, mimuman atau cinderamata di acara tersebut.
Salah satu yang menarik perhatian adalah penjual jersey atau pakaian olahraga. Namanya juga event olahraga, pasti akan menemukan penjual pakaian olahraga. Di sepanjang pintu masuk GOR, berjajar stand berjualan jersey olahraga.
Jersey atau pakaian olahraga memang dapat kita temukan di distro olahraga disetiap daerah. Namun yang menjadi perhatian, dari kisah yang saya dapatkan para penjualnya notabennya adalah orang luar empat daerah ajang Porpov Jatim 2019.
Salah satu stand yang menarik perhatian yaitu stand yang dijaga wanita paruh baya bernama Megawati. Ia berasal dari Kebumen, Jawa Tengah dan saat ini berdomisili di Jakarta. Menarik bukan? Mereka datang jauh jauh dari luar provinsi demi berjualan di event olahraga regional seperti Porprov ini.
Menurut pemaparan perempuan berusia 50 tahun itu, keliling kota dan berjualan jersey sudah menjadi pekerjaannya semenjak 10 tahun lalu. Ia bersama suaminya keliling ke berbagai daerah di Pulau Jawa.
“Kalau bukan karena masih punya tanggungan dua anak saya yang masih sekolah. Satu kuliah semester enam dan satu lagi baru mulai masuk SMK. Saya yang sudah punya cucu dan sudah tua ini gak akan jualan keliling seperti ini lagi,” cerita
Sejumlah orang berpandangan bahwa berdagang jersey banyak untungnya. Namun sudut pandang tak sesempit itu. Berjualan keliling kota bukan hal yang mudah. Berbagai kendala harus dihadapi selama berjualan.
Mulai dari lokasi yang susah diakses, harga makan yang mahal di daerah tertentu, hingga tidur di tenda stand dengan cuaca yang dingin adalah hal yang biasa mereka jalani. Tak ayal dalam sehari laba mereka tak ada sama sekali karena sepinya meniat pembeli di event tersebut.
“Menurut pepatah jawa dagang itu Sawang sinawang. Kadang bisa dapet Rp. 500 ribu, Rp 1 juta, Rp. 10 juta sehari juga pernah. Intinya menurut saya kalau kita bisa mesyukuri berapapun pedapatan kita Insya Allah barokah” tutur Mega.
Nabs, apa yang terlihat belum tentu sama dengan apa yang kita rasa dan jalani. Begitupun setiap elemen kegiatan yang ada dapat kita lihat. Meskipun sebagian merasa merasakan dampak besar terhadap peluang wirausaha dadakan, tapi sebagian besar juga menjadi kisah haru yang penuh perjuangan.