“Neng. Pesawat kita telah mendarat di Bandar Seri Begawan Airport!”
Demikian ucap saya kepada istri yang duduk di sebelah kanan saya. Dalam pesawat Air Asia dari Kuala Lumpur, Malaysia. Hari itu, Selasa, 23 April 2024. Jam menunjuk pukul 09.30 waktu setempat. Selepas menempuh perjalanan sekitar dua setengah jam dari Kuala Lumpur, pesawat Air Asia yang kami naiki itu pun mendarat di bandara tersebut. Kedatangan kami tersebut atas undangan Ustadz Masruh Ahmad M.A., M.B.A. dan Ustadzah Siti Liha M.A. Mereka berdua adalah suami-istri yang telah lama menjadi sahabat kami.
Ustadz Masruh Ahmad berasal dari Semarang, Indonesia. Selepas menimba ilmu di Madinah, Kairo, Lahore, dan Kuala Lumpur, beliau menjadi “diaspora Indonesia” sejak 1987. Hidupnya “bergerak” antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Di dua negara terakhir, selain mengelola Lembaga Pendidikan Alquran, beliau juga menangani cargo dari dua negara tersebut ke Indonesia. Sedangkan Ustadzah Siti Liha, asli Brunei. Selepas menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universiti Kebangsaan, Kuala Lumpur, beliau kemudian berkhidmat sebagai pensyarah (dosen) di Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Bandar Seri Begawan, hingga menjadi Timbalan (Pembalan) Dekan di universitas tersebut. Sejak lama, mereka mengundang kami ke Brunei. “Mbak Ummie harus rehat di sini menimal dua minggu,” pesannya. Berkali-kali.
Nah, karena istri belum lagi kuat berjalan kaki jauh (sejak menjalani operasi tiga kali di kedua kakinya) dan harus naik kursi roda (wheel chair), kami berdua pun menjadi orang terakhir yang keluar dari pesawat. Justru karena istri harus naik kursi roda, sejak dari Bandung, Jakarta, Kuala Lumpur, hingga Bandar Seri Begawan, kami selalu mendapat pelayanan yang bagus. Baik oleh pihak Kereta Api Cepat Whoosh, Bus Damri, dan Imigrasi Indonesia dan Malaysia. Semuanya membantu dan melayani dengan bagus kepada kami. Kami berdua selalu mendapat pelayanan premium. Matur nuwun sanget, nggih.
Begitu sampai ke ruangan imigrasi di Bandara Brunei, ternyata, kami belum mengisi formulir Brunei INRS portal. Duh! Saya sendiri sudah berusaha mengisi formular tersebut lewat hape. Tapi, gagal. Padahal, semua komputer di ruang itu sedang dipakai para penumpang yang juga akan berkunjung ke Brunei. Akhirnya, saya pun maju ke salah satu konter imigrasi Brunei. Setelah saya mengemukakan problem yang kami hadapi, dan melihat istri berada di atas kursi roda, segera paspor kami pun dicap dan mendapatkan izin berkunjung selama dua minggu. “Alhamdulillah, Allah senantiasa membuat perjalanan kami lancar dan mudah,” gumam bibir saya. Bersyukur kepada Allah Swt.
Begitu keluar dari exit, Ustadz Masruh Ahmad M.A., M.B.A dan istri, Ustadzah Siti Liha M.A., telah menunggu. Saya lihat, mereka sangat gembira dan bahagia melihat kedatangan kami. “Mbak Ummie sudah sarapan? Jika belum sarapan, menikmati sarapan apa?” tanya Ustadzah Siti Liha. Sangat ramah dan bersemangat. “Saya ingin menikmati sarapan roti canai terenak di sini,” jawab istri. Sambil tersenyum.
Segera, kami pun meninggalkan bandara yang tidak terlalu besar ukurannya. “Oh, Bandar Seri Begawan banyak berubah. Kota ini bersih dan cantik. Tapi, sepi. Tidak banyak orang berlalu lalang,” gumam bibir saya, ketika mobil yang kami naiki memasuki kota Bandar Seri Begawan. Kluyuran saya kali ini, ke kota ini, adalah yang ketiga. Sedangkan bagi istri, kunjungan kali ini merupakan kunjungan pertama.
Benar saja, pagi itu kami dibawa ke sebuah resto Brunei yang menyajikan roti cane yang sangat maknyus. Saya lihat, istri sangat lahap sekali menikmati roti cane tersebut. “Ngisin-isini,” gumam bibir saya. Lo, kok usai bergumam demikian, kok saya ketularan dalam menikmati roti cane lezat tersebut. “Imam al-Syafii juga sangat semangat sekali kok ketika menikmati hidangan yang disajikan Imam Ahmad bin Hanbal. InsyaAllah roti cane yang halal dan thayyib ini menjadi obat bagi kami, amin,” gumam bibir saya. Selepas menikmati roti cane ala Brunei tersebut. Sepuas-puasnya.
Ternyata, selama empat hari di Bandar Seri Begawan, kami benar-benar “dimanjakan” dan “dilayani dengan luar biasa” oleh tuan rumah dan keluarga. Selama lima hari tersebut, kami diajak menikmati Brunei Darussalam: mengunjungi sederet tempat wisata di negeri itu. Antara lain ke ke kampus Universiti Brunei Darussalam, Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin (masjid megah dengan arsitektur Islam modern yang menjadi ikon Brunei Darussalam), Masjid Jame’ Asr Sultan Hassanil Bolkiah (masjid yang juga dikenal dengan sebutan Masjid Emas ini terkenal dengan arsitekturnya yang megah, kubah emasnya yang berkilauan, dan menjadi salah satu masjid terbesar di Asia Tenggara), Kampong Ayer (desa terapung terbesar di dunia yang terletak di Bandar Seri Begawan), Balai Khazanah Islam Sultan Haji Hassanal Bolkiah (museum warisan Islam dari berbagai negara Islam), Museum Regalia (museum yang menyimpan koleksi benda-benda bersejarah dan peninggalan kerajaan Brunei Darussalam), dan Istana Nurul Iman (istana megah ini merupakan salah satu istana terbesar di dunia dan menjadi simbol kemegahan kerajaan Brunei Darussalam).
Tak hanya itu, kami juga diajak mengunjungi Pasar Pelbagai Barangan, dan bersilaturahmi ke keluarga Ustadzah Siti Liha. Entah mengapa, kami merasa, keluarga yang baru kami kenal itu seperti keluarga yang telah kami kenal. Mereka sangat ramah menyambut kami. Kami juga diajak menikmati ambuyat di sebuah resto terkenal di kota Bandar Seri Begawan. Ambuyat adalah makanan khas Brunei Darussalam yang terbuat dari sagu. Teksturnya lengket dan kenyal, mirip dengan papeda yang ada di Indonesia bagian timur. Ambuyat ini disajikan bersama sup ikan berkuah kuning gurih, opor ayam, dan lauk pauk lainnya. Cara makan ambuyat cukup unik. Orang Brunei menggunakan alat bantu seperti sumpit yang terbuat dari bambu untuk melilitkan ambuyat, kemudian dicelupkan ke dalam kuah sup atau bumbu lainnya. “Oh, sulit juga memakan ambuyat ini,” gumam bibir saya, ketika pertama kali berusaha mengambil ambuyat.
Selain itu, kami juga diajak kluyuran ke perbatasan Brunei-Malaysia, dengan menikmati Jembatan Sultan Omar Ali Saifuddin: jembatan terpanjang di Asia Tenggara dengan Panjang sekitar 30 kilometer. “Ustadz Rofi’. Itu lokasi baru Universiti Islam Sultan Sharif Ali,” demikian ucap Ustadzah Siti Liha, Ketika mobil yang kami naiki melintasi lokasi baru kampus universitas Islam tersebut di Temburong.
Yang membahagiakan kami, selama lima hari di Brunei, kami juga bertemu dengan saudara sepupu saya dan putra-putrinya, Bilal Maghfur. Bilal ini adalah putra kedua seorang paman saya, Prof. Dr. K.H. Maghfur Usman (pernah menjadi dekan di Universiti Brunei Darussalam dan mantan Mustasyar PBNU). Di kota Bandar Seri Begawan, ia mengelola empat outlet kedai Old Klang Rd. Currypuffs yang didirikan oleh ibunya. Selain itu, kami juga mendapat kunjungan dua sahabat. Yang pertama, Dr. Cecep S. Kurniawan, seorang pensyarah di Universiti Islam Sultan Ali Sharif. Alumni Universitas al-Azhar, Kairo ini meraih gelar Ph.Dnya dari universitas di Brunei tersebut dan kini menjadi pensyarah di universitas yang sama. Yang kedua, Prof. Dr. K.H. Anis Malik Thoha, seorang profesor di universitas yang sama. Ilmuwan yang pernah menjadi Rektor Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ini pernah menimba ilmu di Universitas Islam Madinah dan meraih gelar Ph.Dnya di Universitas Islam Internasional Islamabad, Pakistan. Betapa gembira hati saya dapat bertemu dengan para ilmuwan tersebut. Apalagi, saya mendapat oleh-oleh buku berjudul Tren Pluralisme Agama dari profesor yang masih keluarga kiai-kiai di Kajen, Pati, Jawa Tengah itu.
Lima hari berada di Brunei telah memberikan wawasan dan pandangan baru tentang negeri yang kecil tapi indah itu. Ketika kami meninggalkan negeri itu, doa dan ucapan terima kasih pun kami haturkan kepada Ustadz Masruh Ahmad dan Ustadzah Siti Liha serta keluarga, “Matur nuwun sekali atas undangan panjenengan berdua dan keluarga. Undangan dan sambutan yang luar biasa. Matur nuwun sanget, nggih. Jazakumullah ahsanal jaza’.”