Stadion adalah makhluk hidup yang bisa bercerita tentang kejayaan dan kehancuran sepakbola.
Kapan terakhir kali kamu masuk stadion Letjend H. Soedirman? Mungkin saat ada pertandingan saja. Lalu, ngerasa tidak kalau stadion terasa jauh dan sulit dijangkau? Jika iya, kamu nggak sendirian.
Stadion Letjend H. Soedirman kini terkesan jauh dan murung. Terlebih, saat Persibo Bojonegoro tak mampu bertanding di liga papan atas Indonesia. Padahal, ia punya banyak cerita tentang kejayaan, yang mungkin belum diketahui banyak orang.
Harusnya, meski Persibo hingga kini belum bisa berlaga di liga utama, stadion tetap bisa jadi tempat yang mudah diakses dan dekat dengan pencinta sepakbola Bojonegoro. Sehingga, pemahaman sejarah dan kebanggan tak berhenti begitu saja.
Nabs, sudah selayaknya, Stadion Letjend H. Soedirman bisa dikunjungi sebagai museum — tempat belajar dan mengenal sejarah sepakbola — agar tak hanya dikunjungi saat ada pertandingan saja.
Eduardo Galeano, esais sepakbola asal Uruguay yang menjadi panutan banyak esais bola di dunia, pernah menulis sebuah testimoni yang teramat melankolis tentang stadion dalam bukunya berjudul Soccer in Sun and Shadow (1995).
Dalam tulisan itu, menggambarkan betapa stadion adalah museum yang mampu merekam berbagai macam jejak peristiwa masa lampau — ia hadir sebagai makhluk hidup yang mampu bercerita tentang kehancuran dan kejayaan.
Bagi saya, esai pendek itu sangat menggetarkan. Sekaligus mampu menghadirkan persepsi baru betapa stadion tak hanya stadion. Tapi juga museum yang mampu bercerita dan berkisah.
Pernahkah kau memasuki stadion yang kosong? Cobalah. Berdirilah di tengah lapangan dan dengarkan. Tak ada yang lebih kosong dari stadion yang kosong. Dan tak ada yang lebih bisu daripada tribun yang kehilangan penonton.
Di Wembley, teriakan Piala Dunia 1966, yang dimenangkan Inggris, masih bergema. Dan jika kau dengarkan secara seksama, kau masih bisa mendengar erangan dari tahun 1953 — saat Inggris jatuh ke tangan orang-orang Hongaria.
Stadion Centenario Montevideo mendesah dengan nostalgia kejayaan sepak bola Uruguay. Maracana masih menangisi kekalahan Piala Dunia 1950 Brasil. Di Bombonera Buenos Aires, drum meledak dari setengah abad yang lalu.
Dari kedalaman Stadion Azteca, kau dapat mendengar nyanyian seremonial pertandingan bola Meksiko kuno. Teras beton Camp Nou di Barcelona berkisah tentang Catalan. Dan tribun San Mames di Bilbao, berkisah tentang etnik Basque. Di (San Siro) Milan, hantu Giuseppe Meazza mencetak gol yang mengguncang stadion dengan namanya.
Pertandingan final Piala Dunia 1974, dimenangkan oleh Jerman, dimainkan hari demi hari dan malam demi malam di Stadion Olimpiade Munich. Stadion King Fahd di Arab Saudi memiliki kotak-kotak marmer dan emas serta dudukan berkarpet, tetapi tidak memiliki memori atau banyak hal untuk dikatakan.
Entah kenapa, dulu, saat membaca tulisan itu, saya merinding. Sialnya, saya tak tahu apa yang membikin saya merinding. Saya hanya merasa betapa kuat stadion menyimpan sedih tanpa mengeluarkan air mata. Saya juga merasa betapa hebat stadion menahan bahagia tanpa tertawa.
Nabsky yang budiman, sesungguhnya banyak cara membikin stadion terasa dekat dan kembali ramai. Terlepas di level mana pun sebuah klub bermain. Asal, memang ada momen ketika seorang pendukung klub atau pencinta sepakbola bisa berjumpa dengan stadion kebanggaannya.
Museum dan Football Stadium Tour
Menjadikan stadion sebagai museum atau mengadakan football stadium tour menjadi cara paling ideal untuk mendekatkan sekaligus memberdayakan eksistensi stadion. Terlepas bermain di level manapun sebuah klub.
Nabs, football stadium tour atau jalan-jalan di stadion sepakbola sudah menjadi wisata yang umum dilakukan di beberapa stadion di sejumlah negara. Baik stadion milik klub terkenal maupun stadion milik klub biasa-biasa saja.
Wembley stadium tour, Emirates stadium tour, Etihad Stadium tour, Beijing National stadium tour, Estadio da Luz stadium tour, San Siro stadium tour, Anfield stadium tour hingga Stanford Bridge dan Old Trafford stadium tour menjadi contoh betapa stadium tour sudah wajar dilakukan.
Berwisata maupun tour ke stadion bisa menambah rasa cinta pada klub. Sebab, seorang pencinta sepakbola atau pendukung klub bisa mengenal lebih dekat markas klub kesayangannya. Selain itu, juga dapat merasakan sensasi menjadi pemain maupun pelatih.
Dalam football stadium tour, para pengunjung akan diajak menelusuri seluruh ruangan yang kerap digunakan para pemain dan staf bekerja. Mulai dari ruang ganti, konferensi pers, hingga merasakan aura lorong yang biasa dilalui para pemain dan lawan.
Dalam konteks museum, pengunjung bisa melihat banyak foto dan benda-benda yang menjadi ciri khas klub. Termasuk bisa melihat secara langsung sejumlah trophy prestasi yang pernah didapat.
Nabs, ini penting dan sangat berhubungan dengan Persibo. Sejauh ini, Persibo sudah sering mendapat trophy. Namun, tak jelas di mana trophy itu berada. Bahkan, konon banyak trophy yang hilang dicuri. Seharusnya, dalam stadion, ada ruang khusus untuk menyimpan trophy.
Pemberlakuan museum dan football stadium tour, tak hanya memicu pencinta bola kian dekat dengan stadion. Lebih dari itu, ada unsur bisnisnya juga. Sebab, tiap pengunjung ditarik biaya untuk bisa masuk dan merasakan aura stadion.
Mungkin banyak yang bertanya, apakah Stadion Letjend H. Soedirman punya daya tarik untuk dijadikan museum dan tempat berwisata? jawabannya, tentu punya dan sangat bisa.
Begini, kita memang tidak bisa menyamakan Persibo (dalam hal ini Stadion Letjend H. Soedirman) dengan klub-klub besar di luar negeri. Tapi, bukankah Persibo juga pernah berprestasi dan mewarnai sejarah sepakbola nasional?
Dan betapa disayangkannya, ketika berbagai prestasi dan kontribusi Persibo pada sejarah sepakbola nasional itu dilupakan begitu saja. Karena itu, sudah waktunya Persibo kembali diingat. Meski hanya sejarahnya belaka.