Berikut potret muram perpustakaan daerah di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini.
Sebagai pribadi yang gemar membaca tumpukan buku dan memiliki kondisi finansial yang di bawah garis kesejahteraan atau biasa disebut miskin, saya teramat sering mengunjungi perpustakaan daerah.
Salah satu perpustakaan daerah yang karib penulis sambangi adalah Perpustakaan Daerah Bojonegoro yang dari depan tampak kusam dan loyo.
Dalam beberapa kali kunjungan ke perpustakaan selalu ada perasaan nyaman yang muncul bak anak kecil menyambut pekan liburan.
Melihat unggunan koleksi buku dengan beragam genre yang berbaris rapi dan anggun dalam rak perpustakaan adalah sebuah kebahagiaan terselubung setelah lelah seharian diperkosa kehidupan.
Menghidu aroma kertas yang menguar dari tiap-tiap halaman barangkali adalah secuil kenikmatan surgawi yang dengan sengaja dititipkan pada kehidupan duniawi.
Meraba huruf-huruf timbul pada permukaan sampul seakan memantik birahi diri untuk dengan segera membredeli busana buku agar segenap pikiran padanya tertuju.
Sederet kesenangan-kesenangan tadi lumrah saya temui dalam sebuah tempat yang disesaki bermacam-macam buku dengan beraneka tema di dalamnya.
Bahkan Luis Joe Borges, penulis ternama Argentina, mengimajinasikan perpustakaan sebagai suatu nirwana yang nyata, Nabs.
Sayangnya ilustrasi keindahan-keindahan tadi tidak mampu ditangkap secara genap oleh indrawi para penduduk bumi.
Betapa banyak rak usang yang telah lama kesepian sebab tak ada tangan yang membelainya penuh kelembutan.
Betapa banyak lembaran-lembaran yang telah kehilangan harapan agar seseorang secara tak sengaja menggapainya dengan keriangan.
Perpustakaan tak ubahnya telah menjadi semacam pekarangan sunyi yang ditinggalkan para penghuni.
Oh, jangan salahkan para khalayak umum yang tak pernah menyempatkan diri untuk berkunjung.
Sebab banyak perpustakaan oleh pemerintah daerah hanya dijadikan semacam formalitas tanggung jawab bahwa mereka memang telah menunaikan amanat undang-undang untuk turut mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Ibarat biduan tua dalam organ tunggal ia tak lagi laku di pasaran dan nyaris dianggap gagal.
Sebab sang mandor orkestra lupa dan abai untuk memoles sang biduan agar tetap prima dan menggoda selayaknya saat muda.
Begitu pun dengan perpustakaan, ia telah ditampilkan sebagai suatu pertunjukan yang ketinggalan zaman dan sudah saatnya untuk dimuseumkan.
*Agar Hidup dan Tak Meredup*
Beberapa terobosan harus diajukan dan dijalankan demi menjaga muruah perpustakaan sebagai pangkal peradaban.
Sebagaimana ungkapan dari Milan Kundera, seorang penulis dari Prancis mengatakan, “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradabannya, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.”
Sejarah pernah membuktikan bahwa inovasi zaman pernah macet dan sekarat sewaktu pasukan Mongol membakar dan membumihanguskan Perpustakaan Kota Baghdad.
Buku sudah selayaknya diasosiasikan sebagai teman diskusi alih-alih benda mati.
Paling tidak ia harus dimengerti dan dipahami oleh segenap pengelola perpustakaan.
Bagaimana bisa menjadikan perpustakaan sebagai pangkal peradaban jika pengelola perpustakaan saja tak dihinggapi kecerdasan bacaan.
Harus ada semacam diskusi bedah buku yang diselenggarakan pihak perpustakaan agar semangat membaca terus berpendar dan menyala.
Penyempurnaan sistem layanan perpustakaan juga harus dilangsungkan. Agar tak ada lagi pengunjung yang frustasi dan depresi saat hendak menanyakan keberadaan koleksi.
Berapa kali saya mendapat jawaban tak mengenakkan seputar keberadaan suatu buku yang hendak saya pinjam.
Nyata-nyata ia tersedia dalam menu layanan namun raib dari deretan buku di rak perpustakaan.
Harus ada sinkronisasi dan integrasi antara sistem layanan dengan kondisi riil di lapangan.
Perluasan jam buka operasional perpustakaan juga harus diperhatikan. Selama ini jam buka operasional perpustakaan daerah disamakan dengan jam kerja dari aparatur negara.
Masalahnya jika hendak menyasar anak-anak sebagai target utama amanat mencerdaskan kehidupan berbangsa, maka jam buka ini cenderung tertutup dan tak ramah terhadap anak-anak sekolah.
Pada kisaran jam buka perpustakaan daerah (perpusda) mulai dari pukul 8 pagi hingga 4 sore kebanyakan anak-anak masih disibukkan dengan kegiatan pengajaran.
Demikian juga dengan pilihan hari yang tersedia pada jam buka perpustakaan menjadi persoalan yang menjengahkan.
Nabs, perpustakaan buka setiap hari Senin sampai dengan Jumat, di mana pada hari tersebut anak-anak masih menjalankan prosesi belajar mengajar dengan khidmat.
Maka mau tak mau pihak perpustakaan harus sadar diri dan terbuka hati untuk memperlebar hari operasional.
Hal ini sudah dicontohkan oleh perpustakaan nasional yang membuka diri mulai setiap hari. Hasilnya konkret, para anak muda yang pada hari aktif masih terkendala pelajaran menjadikan akhir pekan ke perpustakaan sebagai suatu kegiatan yang menyenangkan.
Maka wahai segenap pengelola perpustakaan daerah segeralah mawas diri agar perpustakaan tidak semakin sekarat dan menuju kematian.