Pembacaan puisi Jumat Agung karya Ulil Abshar Abdalla menuai banyak komentar. Sayangnya, mayoritas komentar justru melenceng dari substansi pembacaan puisi itu sendiri.
TANGGAL 12 April 2020, Duta.co menyajikan berita berjudul “Nahdliyin Geger! Santri Berkopyah NU Baca Puisi ‘Jumat Agung’, Prof Rochmat: Ini Menginjak-injak NU”. Berita terkait viralnya video sejumlah santri berbaju putih—yang laki-laki menggunakan kopiah berlambang NU— membacakan puisi lama Ulil Abshar-Abdalla berjudul “Jumat Agung” yang kontennya terkait perayaan Paskah. Video tersebut bisa ditonton di Youtube.
Sementara itu, berdasarkan penelusuran penulis, ada juga video memuat puisi yang sama dengan tayangan gambar berbeda, diunggah pada 18 Mei 2019 oleh akun #BASTEL.digitalart, sementara puisi “Jumat Agung” sendiri bahkan sudah diunggah oleh liputan6.com pada 14 April 2017 dan kanal3.wordpress.com pada 5 April 2015.
Berita duta.co juga mengatakan “sejumlah kiai dan akademisi NU pun, melempar komentar”, meski yang disajikan hanya dua komentar; komentar pertama dari “salah seorang dosen di Universitas Indonesia (UI) Jakarta” tentang “ini puisi lama, sebenarnya biasa-biasa saja” dan adanya tayangan baru ini sebagai pertanda “liberalisasi di tubuh NU begitu jahat”, komentar kedua dari “Prof. Dr. H. Rochmat Wahab, mantan Ketua PWNU DIY”, menyesalkan lambang NU yang ditampilkan karena membuat seolah-olah NU ikut mem-backup pembacaan puisi tersebut, sementara isi puisi tersebut dipandang tidak sesuai akidah.
Ada juga beberapa laman lain memuat bahasan senada, misalnya pada blog santricendekia.com berjudul “’Jumat Agung’: Puisi yang Menghakimi Agama” ditulis oleh Arif Wibowo, yang juga mempermasalahkan pembaca puisi dalam video tersebut yang merupakan “santri kecil berkopiah NU dan santriwati berjilbab putih seperti yang ada dalam lagunya Nasyida Ria.” Lalu setelah berkomentar sedikit tentang puisi “Jumat Agung” dilanjutkan berpanjang lebar membahas beda pewahyuan dalam Islam dan Kristen.
Klikanggaran.com bahkan memuat berita yang sama dengan versi duta.co pada 14 April 2020. Namun, dilakukan sedikit penyuntingan bagian awal berita dan judul diubah menjadi “Video Viral Catut Nama NU, Rochmat: Liberalisasi di Tubuh NU Begitu Jahat”, ditulis oleh M. J. Putra (Iyan Linggau). Judul itu absurd karena yang mengatakan “liberalisasi di Tubuh NU begitu jahat” bukan Prof. Dr. H. Rochmat Wahab, melainkan sebagaimana disajikan duta.co adalah “salah seorang dosen di Universitas Indonesia”.
Dalam versi klikanggaran.com, bahkan informasi tentang sang dosen ini pun ditambahi sehingga menjadi “salah seorang dosen di Universitas Indonesia (UI) yang enggan disebutkan namanya”.
Beberapa video komentar juga mulai bermunculan di Youtube, termasuk yang diunggah oleh akun Avengers muslim Channel bertajuk “Puisi Jumat Agung? BAHAYA JIL”. Video berdurasi 5.09 menit, menayangkan seorang narator mengutip statemen Prof. Dr. H. Rochmat Wahab sebagaimana yang ditayangkan duta.co lalu memberikan komentar tentang JIL dan tafsir Alquran.
Sebagai tayangan pembacaan puisi, video yang dipermasalahkan bisa dikatakan dikomentari dengan semestinya jika komentar itu berupa analisis teks puisinya atau tayangannya. Dari unggahan-unggahan teks dan video di media daring dan Youtube itu, tampak bahwa kedua opsi itu tidak dilakukan. Komentar-komentar yang diberikan untuk video pembacaan puisi melenceng ke komentar-komentar tentang kebenaran agama, komparasi pewahyuan, tafsir Alquran, JIL.
Komentar-komentar semacam itu jelas tidak layak dibahas dari segi sastra, sementara persoalan apakah ada niatan-niatan tersembunyi di balik pemviralan video pembacaan puisi Ulil Abshar Abdalla ataupun bermunculannya unggahan komentar-komentar tentangnya juga bukan ranah tulisan ini.
Satu-satunya poin terkait tulisan ini adalah komentar bahwa ditampilkannya lambang NU dalam tayangan tersebut bisa memunculkan kesan (1) liberalisasi di tubuh NU begitu jahat (kata “salah seorang dosen Universitas Indonesia”) atau (2) NU mem-backup pembacaan puisi tersebut (kata Prof. Dr. H. Rochmat Wahab).
Komentar semacam itu merupakan bentuk tafsir sangat dasar tentang representasi simbol dalam sebuah tayangan. Meskipun demikian, apa yang lebih menarik untuk dibahas dalam tulisan ini justru alasan kenapa kehadiran simbol itu bisa tidak diharapkan kehadirannya, yakni komentar bahwa isi puisi tersebut dipandang tidak sesuai akidah.
Untuk membahas komentar menarik ini mari beranjak lumayan jauh ke masa ketika Plato—melalui mulut Socrates—dalam risalah Ion, menyematkan kelahiran puisi pada “berkat transenden” (divine gift). Dalam pandangannya, ketika penyair melisankan baris-baris puisi yang memukau maka bukan dia yang berujar melainkan “yang transenden”, Muse, ia sendiri berada dalam kondisi trans, nirintelek; penyair hanya digunakan oleh para dewa sebagai “pelayan” mereka dan untuk itulah maka pada momen itu intelek mereka dihapus, seperti orakel.
Berhubungan dengan kepercayaan itu, dalam ranah sastra ada istilah invocation, “seruan”, merujuk pada permintaan tolong yang diajukan penyair kepada Muse atau sosok transenden lainnya yang dipercaya memiliki otoritas dalam bidang seni. Dalam puisi penyair Yunani Homer, Iliad, kita temukan misalnya baris pembuka “Nyanyikanlah, Dewi, murka Achilles”. Dari zaman lebih terkemudian dari penyair Romawi Ovid (43 SM-18 M), Metamorphoses, kita temukan baris pembuka “Tentang raga-raga yang berubah ke bentuk beragam, aku bernyanyi/O Dewa-dewa, yang darinya lahir keajaiban-keajaiban ini.”
Tradisi semacam itu juga kita temukan jejaknya dalam puisi penyair Persia Nizami Ganjavi (1141-1209), Layla dan Majnun, baris pembukanya memuat “seruan”: “Saki, engkau tahu kepada anggur aku memuja;/izinkan piala lezat itu kumiliki saja”. Saki, sang pembawa piala anggur, dalam puisi Persia analog dengan Muse dalam puisi Yunani. Pelekatan pembuatan puisi pada kondisi mabuk anggur juga analog dengan kondisi trans penyair yang disinggung Plato.
Pandangan bahwa puisi bersumber dari yang transenden dan bahwa penyair adalah sosok yang dirasuki juga bisa ditemukan dalam tradisi Arab masa awal Islam. Di dalam Alquran disebutkan bahwa orang-orang Arab yang menolak dakwah Nabi Muhammad mengatakan “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahkan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”
“Penyair gila”, Sya’ir Majnun. Secara etimologis “majnun” bermakna “dirasuki jin”.
Dengan demikian, dalam ungkapan tersebut ada perbandingan antara “penyair yang dirasuki” sebagai lebih rendah dari ilah mereka disebabkan hierarki dua sosok transenden dalam keyakinan mereka: jin dengan “ilah”.
Perbandingan ini mengingatkan kita pada konsep Plato tentang penyair sebagai peniru tiruan. Puisi adalah tiruan dari hal-hal tertentu dalam dunia yang bisa diindra yang pada gilirannya merupakan tiruan dari Bentuk-bentuk ideal.
Tiruan yang meniru tiruan secara hierarkis berada jauh di bawah Kebenaran (Bentuk-bentuk ideal), sebagaimana orang Arab masa Pra-Islam meyakini “kebenaran” yang ditawarkan penyair yang dirasuki jin jelas berada jauh di bawah kebenaran tertinggi “ilah” mereka.
Di dalam ayat lain dalam Alquran disebutkan bahwa Allah menjawab tuduhan itu, “dan bukanlah ia (yakni Alquran) perkataan seorang penyair”. Menarik melihat bahwa Alquran juga kemudian mencela para penyair yang “mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan-(nya)”, dan sebaliknya memuji para penyair “yang beriman dan beramal saleh serta mengingat Allah (dan menyebut nama Allah swt.) dengan banyak.”
Penyair dalam tradisi Arab pra-Islam adalah juru bicara kabilah, dikagumi karena kemampuan retorika mereka.
Orientasi puisi mereka, dengan demikian, bersifat sosial, sebagaimana juga ditunjukkan dengan puisi-puisi beberapa penyair mereka yang menyerang Nabi Muhammad sebagai pembawa ajaran agama baru yang bagi mereka merusak tatanan sosial. Alquran, sebagaimana dikatakan oleh Adonis dalam buku monumentalnya, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam mengubah orientasi puisi, mengaitkannya dengan agama.
Puitika Islam awal berdasarkan Alquran tersebut analog dengan pandangan Plato dalam Republik bahwa “puisi yang diakui dalam kota kita hanya himne-himne para dewa dan encomia [nyanyian pujian] terhadap orang-orang baik.” Ketika menyinggung perihal jauhnya puisi dari kebenaran, Plato juga mengisyaratkan fungsi didaktis puisi tak mungkin tercapai jika puisi tidak mengatakan kebenaran. Pandangan Plato yang menakar “kebenaran” puisi dengan “kebenaran filosofis” analog dengan puitika Islam awal yang menimbang “kebenaran” puisi dengan takaran moral.
Satu hal yang mesti diingat, kedua pandangan tersebut lahir pada konteks yang berbeda dengan Indonesia tahun 2020. Tradisi puisi didaktis pada zaman Plato masih kuat sebagai warisan dari tradisi lisan, puisi di Yunani pada masa itu memiliki peranan utama dalam pendidikan bagi anak-anak muda; sementara dalam kabilah-kabilah Arab pra-Islam, penyair memiliki posisi sosial tinggi sebagaimana tergambar dari kebanggaan satu kabilah ketika memiliki seorang penyair di tengah-tengah mereka, hal tersebut juga dipandang menaikkan reputasi kabilah mereka di antara kabilah-kabilah lain.
Aspek didaktis puisi melekat pada tradisi lisan didorong semangat zaman kelisanan ketika publikasi tulisan belum dimungkinkan sementara masyarakat membutuhkan sarana yang memudahkan mereka mengingat pengetahuan, baik itu berupa sejarah ataupun hikmat.
Tulisan memiliki kelebihan mengekalkan apa yang dikandungnya, pada masa tradisi lisan peran tersebut diemban oleh puisi. Ketika tradisi tulisan muncul, peranan puisi sebagai perekam sejarah ataupun penyampai hikmat yang efektif dan efisien kemudian diambil alih oleh tulisan.
Pada masa kini, ketika buku-buku pelajaran dalam bentuk prosa bisa dicetak sebanyak-banyaknya, memaksakan konten puisi harus selalu bersifat didaktis terlihat naif: ia mungkin saja—dan tentu saja tidak haram—didaktis, tetapi pertama-tama ia mesti dipandang sebagai karya sastra.
Kini, baik buruknya karya sastra dinilai menggunakan teori sastra yang diimplementasikan dalam kritik sastra. Keduanya, bersama dengan sejarah sastra, merupakan bagian dari Ilmu Sastra. Puisi, dan juga genre sastra yang lain, tidak bisa dinilai dengan takaran-takaran yang berlaku hanya di luar Ilmu Sastra.
Ketika peranan puisi sebagai sarana edukasi yang mesti menyampaikan “kebenaran” filosofis ataupun agama sudah digantikan oleh sarana-sarana lain (buku teks, kitab prosa), menilai bagus tidaknya puisi berdasarkan takaran “kebenaran” filosofis atau agama yang dikandungnya pun menjadi malapraktik.
Betul bahwa pada masa kini pun masih ada orang-orang yang menonton pembacaan puisi, menghabiskan uang banyak untuk membeli buku puisi, atau meluangkan waktu untuk membaca baris-baris puisi, tetapi orang-orang semacam itu biasanya mengakrabkan diri dengan puisi karena ingin merayakannya, bukan karena ingin meributkannya.
Karena itu, ironis jadinya ketika kita menemukan bahwa mereka yang kini meributkan puisi dengan landasan perbandingan kebenaran dalam konten puisi dengan kebenaran religius justru merupakan mereka yang selama ini jarang terdengar suaranya merayakan puisi. Tentu kita boleh berharap bahwa tidak demikianlah yang terjadi.
Kita juga boleh berharap bahwa ke depannya kita semua bisa lebih bijaksana menyadari posisi kita masing-masing; bahwa menilai baik atau buruk dan meributkan puisi adalah tugas kritikus sastra, sementara tugas kita sebagai audiens umum yang tidak belajar Ilmu Sastra adalah merayakan puisi dengan gempita jika kita menyukainya atau sebaliknya berdiam diri jika kita tidak menyukainya. Salam.
Yogya, 15 April 2020