Lampu Abang Ijo tak sekadar tempat pemberhentian. Ia laboratorium antropologis yang membuat saya mengenal banyak jenis manusia beserta kepentingannya.
Hampir setiap hari, sebagai ‘pekerja keras’ yang selalu pulang jelang malam, saya kerap berhenti di persimpangan jalan “lampu abang ijo”. Bukan sekadar berhenti, tapi juga belajar banyak tentang hidup.
Lampu abang ijo selalu memberikan cerita bagi saya ketika pagi dan sore menjelang maghrib. Di hari yang mulai gelap saya selalu melihat berbagai model masyarakat di hiruk pikuk Kota Surabaya.
Mulai dari pekerja keras seperti saya dengan jok belakang yang kosong dan mungkin saja sudah mulai dihinggapi oleh jaring laba-laba karena terlalu sering menjomblo atau tidak kunjung mendapat jodoh.
Beberapa biji pekerja ojek online yang sedang mengantar penumpangnya dan kadang joknya seperti meronta-ronta karena terlalu subur badan penumpangnya.
Hingga sebuah mobil mewah yang sering saya temui seperti Mini Cooper dengan pengendara seumuran saya yang gayanya sangat stylish.
Dalam hati, mungkin mereka ini mau berangkat party, sebab di sore hari biasanya orang sudah terlihat lusuh dan capek, namun mereka justru sangat bersemangat dan bergairah.
Di lampu abang ijo selalu dapat membuat saya bergumam dalam hati sambil membuat cerita untuk setiap pengendara yang saya amati satu per satu. Seolah olah saya dibawa ke dalam cerita mereka masing-masing sambil menikmati lantunan musik dengan sangat kencang di earphone yang saya gunakan ketika berkendara untuk menjaga mood agar selalu tetap stabil dan tidak emosional di jalan raya.
Benar jika Lampu Abang Ijo tak sekadar tempat. Ia laboratorium antropologis yang membuat saya mengenal banyak jenis manusia beserta kepentingannya.
Di situ saya menyadari bahwa apa sih yang perlu diirikan dengan keadaan dan nasib seseorang? Toh ketika saya melihat satu per satu kadang saya membuat apologi terhadap sisi gelap yang dimiliki setiap orang yang mungkin menurut kita sepele namun bagi orang lain bisa saja terlampau berat.
Dan di situ juga saya selalu diingatkan untuk menyadari bahwa saya harusnya menikmati setiap apa yang saya miliki dalam hidup ini alih-alih saya harus iri dengan manusia seumuran saya yang sedang mengendarai Mini Cooper. Iri dengan pasangan seusia saya yang sudah menikah dan memiliki banyak uang.
Namun tentunya pemikiran ini tidak didapat seketika ketika saya berada di persimpangan lampu abang ijo. Perlu adanya serentetan cerita maupun kejadian hidup yang dialami seseorang sehingga tiba pada pemikiran tertentu yang unik seperti yang dikatakan oleh Daniel Kahneman, seorang psikolog yang meraih Nobel di bidang Ekonomi.
Pemikiran ini didapat tatkala saya kadang berbicara deep talk dengan orang yang saya pikir hidupnya jauh lebih enak dari saya namun ternyata tidak lebih nikmat dari hidup saya.
Semua orang tidak perlu harus kaya, jadi dokter, atau jadi pengusaha sukses. Coba pikirkan, apa yang dipikirkan oleh mbak-mbak yang naik ojek online tersebut. Jika abang ojek online tidak ada. Mungkin mbak-mbak itu sekarang harus berdesakan di angkot yang menurut saya rawan copet dan pelecehan seksual. Namun di sisi lain dengan adanya ojek online, pengendara angkot sekarang harus beralih kerja lainnya agar dapat menyambung hidup.
Jadi sebenarnya hidup ini tak lebih dari sekadar untuk mencari posisi di mana kita seharusnya berdiri. Untuk menjadi versi yang terbaik di mana kita berdiri dan seperti apa peran yang kita mainkan dan berusaha semaksimal mungkin.
Jika saja tidak ada sperma, mana mungkin sel telur dapat terbuahi? Entitas pembawa sperma harus tahu perannya, begitu pula entitas pembawa sel telur agar dapat meneruskan keturunannya dan mengisi slot yang disediakan alam semesta agar mereka dapat berjalan seimbang. Tidak ada yang lebih baik dari keduanya, tidak ada emansipasi maupun yang lebih unggul, semuanya setara.
Mainkan peran kalian sesuai dengan apa yang kalian miliki dan nikmati. Sebab saya yakin kiper terbaik akan merasa bodoh jika tiba-tiba ia diminta untuk menjadi striker meskipun dibayar 10 kali lipat gajinya.
Mungkin awalnya dia tergiur dengan gajinya yang besar itu, namun dia tidak tahu bahwa itu bisa menghancurkan karirnya sebagai pemain bola terbaik dengan posisi kiper dan selanjutnya karirnya mulai meredup. Namun hal tersebut tidak akan mudah terjadi apabila ia dapat segera sadar dan kembali mengembangkan dan menikmati tentang apa yang ia miliki sehingga dia bahagia dalam hidupnya.
Mari kembali ke persimpangan jalan lampu abang ijo. Bisa saja masing-masing individu di sana iri dengan apa yang mereka lihat. Si ojek online iri dengan pengendara Mini Cooper, sedangkan si pengendara Mini Cooper iri dengan seorang bapak yang berboncengan dengan anaknya sambil bercerita panjang lebar tentang sekolahnya.
Saya pikir tidak akan ada habisnya, siapa pun orang yang memikirkan tentang hal ini akan selalu menginginkan sesuatu yang lebih, ingin merasakan kebahagiaan yang orang lain rasakan dengan sesuatu yang tidak dia miliki, padahal dia belum tentu bahagia dengan sesuatu yang ia inginkan itu. Jadi, berhentilah, cukup.
Coba lihat ke dalam diri, apa yang kalian punya dan nikmati. Jika ada yang tidak enak, sadarilah kalian bukanlah satu-satunya, jangan bodoh. Kalian hanya manusia biasa, bukan nabi yang nasibnya lebih menderita. Kalian hanya manusia biasa, sama seperti manusia lainnya yang dapat merasakan bahagia dan derita dari waktu ke waktu.
Lalu pada akhirnya mungkin beberapa orang akan berkata, “Hati-hati terjebak ke dalam comfort zone”. Saya akan menjawab dengan sederhana, jika dengan keluar dari comfort zone itu akan membuat saya menderita yang tak berkesudahan lebih baik saya akan tetap pada comfort zone.
Fucked up dengan anggapan orang lain bahwa saya bukan orang sukses, menikmati hidup lebih baik daripada dianggap orang lain sukses bukan? Jika kalian tidak sepakat dengan opini saya ya tidak apa-apa. Silahkan ikuti apa yang menurut kalian benar jika itu bisa membuat kalian bahagia dan dapat menikmati hidup.
Definisikan ulang sukses menurut personal diri kalian, jangan hiraukan omongan orang lain kecuali itu berkaitan langsung dengan kehidupan personal kalian. Memang benar, hidup cuma sekali dan jangan lupa untuk menikmatinya.
Lalu yang terakhir, bagaimana kita bisa tahu itu membuat kita bahagia? Cobalah. Tidak ada kata yang lebih baik dari cobalah setelah kata belajar. Setelah itu buat keputusan. Hidup memang perlu dinikmati dan bahagia, namun bahagia hanya untuk orang yang mampu mengambil keputusan yang berisiko untuk menemukan kebahagiaannya.