Guru adalah mutiara, sementara orang tua adalah cangkang pelindungnya. Itu pesan penting dalam peringatan Hari Guru Nasional yang diselenggarakan SMP Plus Ar-Ridwan Bojonegoro.
Tembang Man Ana Laulakum lamat-lamat bergemuruh di antara sesenggukan tangis yang lirih terdengar di telinga. Para santri gagal menyembunyikan tangis. Sementara mata ustad-ustadzah terlihat berkaca-kaca menahan tetes air mata.
Momen haru itu terjadi saat santri dan santriwati beserta ustad-ustadzah SMP Plus Ar-Ridwan Bojonegoro bersalam-salaman menutup acara pentas seni dalam rangka peringatan Hari Guru Nasional pada pagi (26/11/2019).
Di SMP Plus Ar-Ridwan Bojonegoro, Hari Guru Nasional tak hanya dirayakan dengan menebar poster ucapan. Para ustad-ustadzah, santri, beserta pengurus pondok mengadakan pentas seni untuk merayakan peringatannya.
Meski dengan persiapan mepet satu hari, para santri bahu membahu menyiapkan sebuah penampilan yang dikemas pentas seni. Perwakilan santri dari kelas 7 hingga 9 menyumbang penampilan.
Sejumlah penampilan seni seperti bernyanyi, pembacaan puisi, pantomim, hingga pertunjukan drama pun ditampilkan oleh para santri SMP Plus Ar-Ridwan Bojonegoro dalam acara tersebut.
Tak jarang, kelucuan para santri membikin para ustad-ustadzah tersenyum malu-malu hingga tertawa terbahak-bahak. Bahkan, beberapa tampak meneteskan air mata karena hampir tak percaya, santrinya teramat lucu dan berbakat.
Dalam acara peringatan Hari Guru Nasional tersebut, tak hanya diisi dengan penampilan-penampilan seni. Tapi juga Mauidloh Hasanah dari pengasuh pondok pesantren Ar-Ridwan Bojonegoro, KH. Tsalis Duha Ridwan.
Dalam Mauidlohnya, Ust. Tsalis sempat mengutip kalimat Syaikhona Maimun Zubair yang berbunyi: Nek gak iso nyenengne guru dengan prestasi, jangan pernah membuatnya kecewa.
Beliau juga sempat bercerita tentang sosok guru beliau di Makkah, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki yang akan membiarkan seorang anaknya dipukul guru, asal guru tersebut mau mengajarkan ilmu terhadap anaknya.
Tentu saja, kisah-kisah yang diceritakan Ust. Tsalis menunjukkan betapa peran guru amat penting bagi santri. Karena itu, sudah sepatutnya para santri memiliki sikap takzim kepada para guru mereka.
“Guru itu mutiara dan orang tua adalah wadahnya (cangkangnya),” ucap KH. Tsalis.
Serupa analogi mutiara dan cangkang, kehadiran guru dan orang tua amat penting bagi perkembangan seorang santri. Jika sikap takzim kepada guru dan orang tua tetap dimiliki para santri, niscaya ilmu yang didapat pun menjadi manfaat.
Momen haru terjadi saat para santri dan ustad-ustadzah bersalam-salaman dan saling meminta sekaligus memberi permaafan. Sepintas, momen itu mirip Idul Fitri: rasa haru bahagia dan sesenggukan tangis hadir secara bersamaan. Terlebih, lagu Man Ana Laulakum yang ditembangkan para santri mampu mempertebal momen tersebut.
Man ana man ana, man ana laulaakum. Kaifa maa hubbukum, kaifa maa ahwakum —- siapalah aku, siapalah aku tanpa bimbingan kalian (guru), bagaimana aku tak mencintai kalian dan bagaimana aku tak ingin bersama kalian.