Sejauh apapun kaki melangkah, tempat terbaik untuk kembali dan pulang tetaplah rumah.
Saya ingat betul kata-kata ini. Entah kapan dan siapa yang mengutarakannya, ia terpatri baik dalam benak dan fikiran. Ia seperti lonceng pintu yang berbunyi kala pintu terbuka.
Sesungguhnya ada banyak rencana baik yang telah kita susun. Kegiatan positif sudah kita mulai dan beberapa agenda penting ~bertemu doi~ seperti mudik dan lebaran di rumah masuk di dalamnya.
Namun, pandemi Covid-19 datang dan membabibuta. Ia menggagalkan segala rencana dan niat baik manusia. Sehingga ini membuat kita #DiRumahAja.
Tagar yang penuh makna, terutama bagi perantau yang rindu kampung halaman. Dilema antara pulang atau tetap di perantauan. Sebagian dari mereka memilih pulang, tetapi ada juga yang masih bertahan.
Saya gagal menabung rindu. Tiap hening malam saya mengadu. Pada rumah dan segala hidup di dalamnya menjadi tuju.
Saya memutuskan untuk pulang. Tak ada alasan lain untuk bertahan. Saya gagal oleh suara emak di ujung telepon sepekan lalu. _”Muleh kapan? Aku gak iso turu, Le.”_
Sepertinya hal itu membuat saya beberapa hari terakhir tak bisa tidur nyenyak. Bahkan mata memerah karna rasa kantuk yang amat tapi mata enggan bekerja sama. Pikiran kosong dan hati berkata, pulang.
Akhirnya saya benar-benar pulang. Meninggalkan tanah rantau sejenak untuk membayar rindu yang telah memuncak. Emak anakmu pulang.
Perjalanan pulang selalu menyenangkan. Tapi ini berbeda sekarang. Perasaan gelisah -lebih tepatnya waspada- mengikuti. Semoga kepulangan ini bukan membawa masalah.
Protokol kesehatan yang digaungkan secara masif terlaksana merata. Bahkan d kampung saya, desanya bupati periode lalu mengikuti instruksi dari pemerintah.
Saya melakukan perjalanan menggunakan motor. Bersama teman saya dari desa tetangga, kami menghabiskan waktu kurang dari tujuh jam. Saya memilih menggunakan motor, karna bagi saya, ini kendaraan yang meminimalisir kontak langsung dengan banyak orang.
Saya sedari awal menyetir dari Jember hingga Bojonegoro memilih jalan alternatif dimana tidak banyak orang melaluinya. Tidak jalanan kota yang kini agak lenggang tapi jalanan desa dengan suasana sejuknya.
“Wah.. Enak _tenan_ rasanya motoran. Lewat sawah-sawah mengasyikan” Begitu komentar teman saya ketika melewati hamparan sawah dengan pafi-padi yang menguning.
Tentu, selama perjalanan himbauan mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak aman dan menghindari kontak serta kerumunan orang terlihat di mana-mana. Terutama di gang-gang desa yang kini dijaga beberapa orang.
Air dalam tandon dan sabun depan toko, masjid, dan gang jalan desa seakan berbicara. Gunakanlah aku dengan sebaik-baiknya. Ini pemandangan yang berbeda dengan mudik saya di tahun sebelumnya.
Mudik yang berbeda. Tentu ini sangat berbeda. Sesampainya di rumah, tak ada lagi salam dan cium tangan orang tua. Bahkan setelah mencuci tangan dengan sabun depan rumah, kami saling menjaga jarak aman.
Biasanya jika ada yang pulang dari perantauan, orang-orang akan datang ke rumah untuk sekadar menanyai kabar atau melihat perubahan tubuh. Semakin kurus atau gemuk. Hal ini tak lagi saya lihat kemarin.
Orang-orang memilih menjaga jarak aman. Apalagi terhadap pendatang seperti saya. Bagi mereka yang mudik, diharuskan membuat laporan kepada RT dan desa. Saya pun membuat laporan.
Seharusnya saya melapor di balai desa. Tetapi karena hari libur, cukup melaporkan lewat WA. Sungguh ini meringankan saya dan tentunya ini sebagai upaya menjaga jarak aman.
#isolasidiri #jagajarakaman dan #jagakebersihan. Itulah pesan pihak desa untuk saya. Selama 14 hari tak boleh kemana-mana kecuali jika mendesak. Ini tanda cinta aparatur desa terhadap warganya.
Mudik dan menjadi tahanan kota. Setidaknya selama dua pekan ke depan saya tetap #dirumahaja. Bukan untuk bermalas-malasan, tetapi wujud usaha saling menjaga demi kemaslahatan.
Sejujurnya saya membenci kondisi ini. Tapi bagaimanapun, rindu rumah sudah terobati. Semoga pandemi segera berhenti. Tak ada lagi saling curiga. Lekas mambaik agar kita bisa saling sapa dan tertawa.