Mestakung, konsep diri dalam mengeluarkan kemampuan dan gerakan yang tidak terduga saat berada di posisi sulit, tertekan, dan di ujung tebing jurang. Seperti yang pernah dialami para pemuda pejuang dan kini sedang dialami Ole.
Bencana. Horor. Kejadian yang tidak terlupakan dan termaafkan. Kira-kira begitulah respons pendukung Manchester United setelah akhir pelan lalu kalah telak lima gol tanpa balas dari rival abadinya, Liverpool.
Tidak hanya itu, kekalahan tersebut teejadi di kandang sendiri: Teater Impian. Komplit bukan.
Menyusul kemudian ramai menyorot posisi Ole Gunnar Solskjær (OGS) sebagai manajer Manchester United (MU). Masa indah bagi OGS setelah menerima perpanjangan kontrak sebagai manajer MU selama tiga tahun, tampaknya akan segera menemui ujungnya, setelah kekalahan tersebut: Pemecatan.
Namun, sampai hari ini, OGS masih diberi kepercayaan untuk menjadi nakhoda kapal bernama MU yang sedang tidak baik-baik saja.
Aku teringat Semesta Mendukung (Mestakung), karya tulis dari Prof Yohannes Surya yang kubaca lebih dari satu dasawarsa silam. Secara sederhana Mestakung adalah konsep diri yang mengeluarkan kemampuan, kekuatan, energi, daya, dan gerakan yang tidak terduga saat berada pada posisi sulit, tertekan, terpojok, dan di ujung tebing jurang.
OGS sering berada di ujung tanduk dan sasaran kritik dari delapan arah mata angin. Posisinya sebagai manajer Manchester United terancam dibebastugaskan. Namun, berkali-kali pula, OGS mampu keluar dari posisi yang tidak memihaknya.
OGS secara meyakinkan mampu membalikkan analisis, kritikan, dan cemoohan publik. Itu tidak sekali, bahkan menjadi sebuah siklus. Hasilnya, OGS berhasil keluar dari keterjepitan. Semesta berpihak di belakang OGS.
Namun, tampaknya, untuk kali ini, kesempatan yang diberikan manajemen MU ke OGS tidak seleluasa sebelumnya. Tiga pertandingan beruntun adalah penghakiman atas jalannya kontrak OGS di MU.
Jika tiga pertandingan dilalui dengan kemenangan dan skema permainan meyakinkan, maka kontrak akan bertahan hingga akhir musim. Sebelum penghakiman lain dijatuhkan: Dapat trofi atau tidak?
Imajinasi Kemerdekaan
Rata-rata usia para pemuda-pelajar adalah 20 tahunan. Di usia yang masih belum masuk kategori dewasa dan matang, mereka dengan kesadaran yang tersublim berani menggelorakan perjuangan untuk meruntuhkan tembok besar bernama kolonialisme. Tidak hanya berani, mereka mampu menghujamkan keyakinan imajinatif: Indonesia merdeka akan hadir.
“Kekuasaan Belanda di tanah jajahan akan berakhir. Persoalannya bukan ya atau tidak, tetapi, waktunya cepat atau lambat.” Kalimat ini adalah bagian dari pledoi Muhammad Hatta di Mahkamah Agung Amsterdam tahun 1928. Usianya baru 26 tahun, namun dengan mantap menusukkan kalimat menyakitkan di jantung kolonialisme.
Tahun 1924, organisasi yang digeluti Mohammad Hatta dan kawan-kawannya para pemuda-pelajar di Negeri Belanda mengubah namanya dari Indonesische Vereeniging menjadi Perhimpunan Indonesia. Indonesia, kala itu, menjadi imajinasi bersama nama sebuah negara baru yang dicita-citakan.
Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin akan muncul nyinyiran berikut: “Masih muda memiliki ide gila ingin mewujudkan negara merdeka. Terus kalau sudah merdeka, memang bisa mengelola begara merdeka? Punya pengalaman apa? Kalau punya impian ya jangan kebablasan.”
Blok sejarah yang kita kenang hari ini bernama Sumpah Pemuda adalah penegasan imajinasi tanah air, bangsa, dan bahasa bernama Indonesia. Tujuh belas tahun kemudian imajinasi itu terwujud dan terbukti: Indonesia merebut kemerdekaan dari Belanda.
Indonesia pada awalnya berasal dari istilah “indu-nesians” yang diperkenalkan oleh sarjana Inggris bernama George Windsor Earl tahun 1850. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh James Richardson Logan sebagai wilayah geografis yang berupa kepulauan.
Di tangan pemuda-pelajar dua puluhan tahun, istilah ini menjadi cita-cita imajinatif yang hidup dan dengan penuh pikiran, tenaga, dan waktu diperjuangkan.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Bagaimana hal itu bisa terjadi? Para pemuda hadir dengan ledakan imajinasi dan perjuangan yang menderu? Barangkali ada jawaban yang berbeda, logis, dan memenuhi dahaga pengetahuan kita.
Namun, izinkan saya memberi tafsir ini: Kesadaran yang tumbuh dari proses pendidikan berbenturan dengan kondisi nyata rakyat bumiputera yang terbelakang, bodoh, miskin, dan sengsara menghadirkan kondisi “tidak ada jalan mundur” untuk meruntuhkan tembok kolonialisme.
Keterbatasan dan ketertinggalan ilmu, pengetahuan, dan teknologi antara bumiputera dan kolonial dapat dieliminasi dengan penginsafan atas penderitaan rakyat yang berpuluh-puluh tahun diderita. Mestakung, eh?