Betapa relasi manusia bisa sangat fluktuatif. Naik turun seperti harga bawang merah di pasar. Dua orang bisa sangat bertentangan namun kemudian menjadi lekat tanpa jarak. Bisa juga sebaliknya.
Tak ada yang kekal abadi di dunia ini. Setiap era yang datang dan pergi silih berganti. Manusia terus berevolusi, tak ada kawan dan lawan yang abadi. Apalagi dalam politik, hari ini oposisi paling keras. Besok sudah jadi satu gerbong.
Pasca presiden petahana, Joko Widodo mengumumkan jajaran menteri di Kabinet Indonesia Maju. Di antara beberapa nama yang memang mengejutkan, ada satu yang paling mencengangkan. Yakni nama Prabowo Subianto yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Kamu ingat Nabs, sejak bulan Maret hingga Agustus lalu masyarakat Indonesia seperti terpecah suaranya. Ada yang mendukung pasangan capres-cawapres 01 dan 02. Ada pula yang memilih untuk tidak memilih.
Sebagai negara demokrasi, rasanya kita dipaksa untuk terbiasa dengan kondisi tegang kala pemilihan umum. Tumpah ruahnya media untuk menyampaikan pendapat serta dukungan.
Serta bebasnya akses masyarakat untuk memilih informasi yang diinginkan. Membuat ketegangan antar pendukung semakin kental terasa.
Beberapa orang bersikap laiknya pendekar pembela kebenaran. Membela capres-cawapres yang didukung. Bahkan kadang tak ragu untuk melontarkan kata yang tidak pantas untuk menjatuhkan pendukung calon sebelah.
Netizen Indonesia pun terlibat dalam perang cebong vs kampret. Tidak hanya dituangkan dalam layar gawai. Namun juga perdebatan di dunia nyata. Beberapa pendukung seakan kehilangan akal untuk membela junjungannya mati-matian.
Kini, kedua tokoh saling berlawanan itu mantap menduduki gerbong yang sama. Lalu, apa guna para pendukung fanatik berteriak dan membela?
Runtuhnya Gunung Es dari Kedua Tokoh
Usai pengumuman pemilu, tensi perdebatan di masyarakat belum juga turun. Beberapa kelompok masyarakat bahkan secara ekstrem mengutarakan pendapat untuk tak mengakui hasil pemilu. Lebih jauh lagi, tak mengakui presiden yang bukan calon yang didukung.
Hingga kemudian pada satu momentum, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu mantan calon presiden Prabowo Subianto. Kala itu di Stasiun Lebak Bulus MRT pada Sabtu (13/7/2019).
Seperti yang dilansir Kompas, Jokowi sengaja merancang pertemuan di MRT untuk dua alasan. Pertama untuk berdiskusi serius. Kedua karena Prabowo belum sempat mencoba MRT.
“Alhamdulilah pada pagi hari ini kita bisa bertemu dan mencoba MRT, karena saya tahu pak prabowo belun pernah coba MRT. Sebetulnya pertemuan di manapun bisa. Di MRT bisa. Mau di rumah Pak Prabowo bisa di istana bisa,” ucap Presiden asal Solo tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Prabowo juga berkomentar. Bahwa pertemuan ini memang terlihat seperti pertemuan santai. Tapi obrolan yang dihasilkan sangat krusial untuk Indonesia kedepannya.
“Walaupun pertemuan ini seolah-olah tidak formal tetapi saya kira memiliki suatu dimensi dan arti yang sangat penting,” kata Prabowo yang kala itu mengenakan baju seragan dengan Jokowi, yaitu kemeja putih.
Rasanya ini bukanlah suatu ketidaksengajaan, Nabs. Seperti sebuah pertanda alam yang mengisyaratkan bahwa kedua tokoh akan berada dalam satu gerbong. Secara arti harfiah maupun politisnya.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Nabs, mari kita bayangkan bersama-sama. Ada dua orang yang sebelumnya tak saling mengenal. Karena suatu medan magnet dari alam semesta, keduanya saling terikat dalam frasa jatuh cinta.
Waktu perkenalan dan jalin kasih dijalani. Badai bisa menerpa dan berembus kapan saja. Keduanya terlibat ketidakcocokan di satu dan lain hal. Kemudian mereka memutuskan untuk tak lagi berhubungan.
Akhirnya, mereka kembali pada tahap awal mula. Menjadi dua manusia asing dengan ingatan mendalam tentang satu sama lain. Kiranya, begitulah kamu mengenang mantan dan gebetan yang gagal jadian ya, Nabs.
Ilustrasi cerita tersebut rasanya tepat untuk menggambarkan betapa relasi manusia bisa sangat fluktuatif. Naik turun seperti harga bawang merah di pasar. Dua orang bisa sangat bertentangan namun kemudian menjadi lekat tanpa jarak. Bisa juga sebaliknya.
Apalagi jika berbicara tentang politik, Nabs. Konstelasi politik adalah arena pertarungan paling licik dan penuh intrik. Tak ada yang benar-benar menjadi kawan maupun lawan. Yang ada hanyalah kepentingan untuk diutamakan.
Kita bisa mengacu pada teoretikus politik dan hubungan internasional, Carl Schmitt. Ia menulis tesis tentang membedakan kawan dan lawan dalam konstelasi politik. Ia menuliskan bahwa dalam urusan politik, kawan dan lawan harus dipahami dalam pengertian konkret dan eksistensial.
Lawan ada ketika tokoh politik dihadapkan pada perbedaan ide dan kepentingan secara kolektif. Artinya, definisinya bukan dalam arti pribadi-individualistis sebagai ekspresi psikologis dari emosi dan kecenderungan pribadi.
Kawan dan lawan dalam politik dipisahkan dengan alasan-alasan pribadi. Jadi, salah kaprah jika netizen nyinyir mengomentari penampilan untuk mendebat oposisi. Perdebatan seharusnya bertumpu pada tataran ide, gagasan, dan kepentingan itu sendiri.
Jika bisa disimpulkan dari permukaan, Nabs. Kini dua tokoh berlawanan yang sudah bertarung dua kali di panggung pemilu presiden telah menjadi kawan dalam politik. Dapat dikatakan keduanya mencapai titik temu dalam kepentingan. Semoga kepentingan yang baik bagi masa depan bangsa Indonesia juga ya, Nabs.