Dalam hal apapun, kesederhanaan adalah kemewahan… asal pesan yang dimaksud bisa tersampaikan.
Pemburu Aksara membuktikan pada kita bahwa ukuran (ketebalan) memang tidak menentukan kualitas sebuah buku. Untuk ukuran buku, Pemburu Aksara teramat tipis namun kesan yang disajikan berlapis-lapis.
Pemburu Aksara, Nabsky, ditulis dengan cepak tapi daya magisnya begitu berdampak. Ditulis dengan biasa-biasa saja, namun respon pembacaannya teramat luar biasa.
Buku berjudul lengkap Pemburu Aksara (sepilihan fiksi mini) ini hanya memiliki ketebalan 132 halaman. Tiap halamannya, hanya berisi paragraf-paragraf pendek. Dari satu paragraf sampai maksimal lima paragraf saja.
Tapi, entah unsur magis apa yang coba dikirim si penulis, ada kebersahajaan yang elegan di tiap tulisannya. Sesekali menggelikan dan kerap kali mencengangkan.
Aku tidak punya masalah apa-apa dengan telur ceplok. Merekalah yang menatapku dengan mata membeliak penuh ketakjuban, ketakutan. (halaman 19)
Di antara cara-cara bunuh diri: kembalilah ke masa persis pada saat pembunuhanmu, lalu cegahlah. (halaman 30)
3452, 3453, 3454 … Agar bisa tidur ia menghitung banyaknya jumlah pria (sambil membayangan mereka melompati gerbang) yang tak pernah menjadi pacarnya. (halaman 44)
Paragraf-paragraf kecil itu, kau tahu, mengisi satu lembar halaman. Tentu, paragraf yang sangat pendek namun menghentak bukan? Jika kamu belum merasakannya, coba baca dengan seksama dan rasakan sekali lagi.
Bagaimana? Sudah terasa? Ada kecaman-kecaman kecil yang mampu membikin rontok sanubari. Dalam buku ini, perkara-perkara sederhana disajikan secara sederhana, namun dampak pembacaannya tidak sederhana.
Untuk urusan genre fiksi mini, si penulis, Ana Maria Shua memang teramat lihai menghadirkan premis-premis yang membikin bulu bergidik.
Tidak berlebihan jika El Pais mengatakan bahwa Ana Maria Shua adalah pencipta terbaik di genre fiksi mini. Sementara Clarin menjulukinya sebagai Ratu Cerita Mikro.
Harus diakui, genre fiksi mini memang belum begitu populer di Indonesia. Kalaupun ada, masih belum tergarap secara serius. Masih sekadar fiksi mini ala medsos twitter.
Karena itu, belum banyak yang tahu jika ternyata, fiksi mini mampu menjadi genre yang teramat menghentak, asal digarap dengan serius. Pemburu Aksara adalah satu contohnya.
Baca juga: Bazar Buku Bojonegoro, Upaya Peningkatan Minat Baca Masyarakat
Ana Maria Shua, si penulis Pemburu Aksara, memang bukan penulis sembarangan. Perempuan yang lahir pada 1951 di Buenos Aires itu, menggebrak dunia sastra pada usia 16 tahun melalui kumpulan puisi El sol y yo (1967) yang meraih dua penghargaan nasional.
Kini, ia melahirkan puluhan buku dalam berbagai genre: puisi, novel, cerita pendek, fiksi mini, dan humor.
Beruntunglah, pada 2018 lalu, Ronny Agustinus, melalui penerbit Marjin Kiri menerjemahkan Pemburu Aksara yang merupakan satu dari sekian banyak karya Ana Maria Shua yang teramat menghentak tersebut.
Tanpa peran Ronny Agustinus dan Marjin Kiri, saya kira pembaca Indonesia mungkin bakal kesulitan mencerna karya yang teramat spektakuler ini.
Aku ceritakan kepada seorang teman mimpiku yang ada dia di dalamnya. Kau harus jelaskan penutupnya padaku, ujarya, seolah-olah mimpi punya penutup, seolah-olah aku sendiri yakin bahwa ini sudah bukan mimpi. (halaman 27)
Luis melihat seorang pria di lantai, berpikir bahwa orang itu mati, “Dia mati.” “Bukan,” sahut ibunya. “Dia cuma tidur.” “Tak ada orang yang tidur menggeletak seperti itu. Tidak nyaman,” kata Luis. “Dia capek sekali. Kadang aku pun juga ingin: tidur persis seperti itu!”.
Luis dan ibunya semestinya memelankan suara mereka sebab orang itu bukan tidur atau mati melainkan tergambar di halaman buku, dan mendengar jelas segala yang mereka perbincangkan tentang dirinya.(halaman 83)
Bagaimana, sudah terasa ada kengerian sekaligus kegelian yang saling berkelit-kelindan bukan? Dan uniknya, kengerian, kegelian dan perasaan absurd itu hanya di-stimulasi oleh sebuah paragraf pendek yang tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan proses pembacaannya. Hmm
Nabs, dalam buku yang teramat tipis ini, ada sebanyak 114 fiksi mini yang dibagi menjadi 6 bab. Hampir semua kisah disajikan sangat pendek. Tidak panjang. Dengan plot kisah teramat padat.
Dengan ide cerita yang tidak terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari. Bagi pembaca seperti saya, di situ lah letak keunikan fiksi mini karya Ana Maria Shua.
“Dalam prosa yang padat ini, taka da ruang bagi kegenitan sastrawi. Namun, ada keindahan yang elegan dan lugas dari kesahajaan ini.” Coal Hill Review
Baca juga: 5 Buku Tentang Cinta yang Cocok Dijadikan Hadiah untuk si Dia
Tentu benar belaka, apa yang dikatakan Coal Hill Review. Dalam tiap tulisan di buku ini, benar-benar tidak mengizinkan kegenitan sastrawi untuk bermunculan. Dia disajikan dengan cara sederhana namun butuh permenungan mendalam untuk merasakan kejutan-kejutannya.
Nabs, buku ini memang mengajarkan pada kita bahwa dalam berkisah, kita tidak perlu bertele-tele. Sebenarnya, tidak hanya dalam berkisah. Tapi dalam hal apapun.
Mencintai seseorang misalnya, harusnya tidak perlu bertele-tele. Mencintai dengan sederhana, asal pesan cintanya bisa tersampaikan, tentu lebih bermakna daripada bertele-tele tapi pesannya tidak dipahami.
Selain itu, buku ini juga mengajarkan pada kita bahwa ukuran (ketebalan) buku tidak menjadi penentu seberapa bagus kualitas buku tersebut. Sebab kesederhanaan, justru lebih mampu menghadirkan kemewahan.
Daripada ketidaksederhanaan yang kerap membikin bingung pesan yang mau disampaikan. Kesederhanaan adalah kemewahan, asal pesan yang dimaksud bisa terpahami.
Intinya, Nabsky, kesederhanaan bisa menjadi sesuatu yang mewah asal tersampaikan dengan baik.