Di zatmu di zatku kapal-kapal berlayar. Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh.
Terik siang menerobos teras. Aisyah mendongak. Genteng-gentengnya sudah banyak yang rusak. Tak heran jika hujan mengguyur desa, lantai dari tanah akan jadi becek.
Bahkan tanah-tanah itu seperti membuat lubang dari tetesan hujan. Airnya menggenang bak kolam renang dadakan pada lubang-lubang jalan raya.
Ia duduk di kursi teras rumah. Sejak dua hari percakapan dengan bapaknya berlalu, pikirannya kini bertambah satu hal lagi tentang pemerintah. Ia hendak mengabaikan pikiran itu. Namun apa daya, pikirannya berkecamuk.
“Dengarkan Rakyat Bicara!
Harga-harga semakin menggila
Bukankah kita hidup di sebuah negara
Yang paling ajaib di dunia
Dimana makan atau tidak makan
Hanyalah persoalan biasa….”
Dibacanya sebuah kalimat puisi dalam buku. Buku itu berjudul Dongeng dari Negeri Sembako yang ditulis Acep Zamzam Noor.
Lamat-lamat ia lihat tulisan itu. Negeri ini memang sungguh ajaib. Yang kaya dapat bantuan dana, sedangkan yang miskin dibiarkannya menderita.
Tapi, hidup harus tetap berjalan dan dijalani. Jalan itu berupa syukur dan terus ikhtiar. Dua kata dari bapaknya di sawah terekam jelas di memori otaknya.
“Semoga kita segera kaya agar kita tidak menderita, Pak” Ucapnya lirih.
“Astaghfirullah…” sergahnya segera. Ia sadar, tidak selayaknya menjadi manusia yang terus menyalahkan keadaan. Apalagi bersikap pasrah atas setiap ujian dan cobaan. Dihilangkannya pikiran itu. Pikiran tidak menerima atas segala yang menimpa.
23 menit berselang.
“Assalamualaikum, Nak”
Lelaki tua yang diharapkan Aisyah tiba di teras rumah.
“Wa’alaikumussalam, Pak” sahut Aisyah.
Lelaki tua itu adalah bapaknya. Dalam perjalanan pulang ia melihat anak perempuannya melamun. Persis seperti lamunan saat di sawah. Pandangan anaknya kosong.
“Akhir-akhir ini kamu sering melamun. Gerangan apa yang membuatmu melamun, Nak?” tanya lelaki yang kini duduk di sampingnya.
“Tidak ada, Pak. Ais hanya merenungi kalimat di buku ini,” dilihatkannya buku itu kepada bapaknya. Lelaki yang mulai beruban itu membaca sejenak.
“Harga-harga barang di pasar memang sudah menggila nak. Negeri ini memang melatih penduduknya bukan untuk berproduksi melainkan mengkonsumsi. Oleh karenanya, harga-harga itu tak pernah murah dan melihat rakyat miskin sebagai konsumen yang akan terus membesarkan pundi-pundi mereka” katanya.
Konsumsi gila-gilaan di negeri ini memang menjadi fenomena yang mendarah daging. Rakyat sudah tidak lagi tahu mana produk yang diolah lokal dan mana produk yang sebenarnya bagian dari kapital asing.
Seringkali cibiran, kutukan bahkan umpatan diluncurkan terhadap produk asing, namun pada saat itu pula pelbagai produk mereka dikenakan. Rakyat seperti kumpulan makhluk yang menertawai diri sendiri.
“Lantas apa yang dilakukan pemerintah, Pak? Tega sekali jika membiarkan rakyatnya tercekik?” tanya Aisyah. Matanya tajam menyorot lelaki tua di sampingnya.
“Ais masih ingat perkataan Bapak?” tanyanya balik ke Aisyah
“Tentang pemerintah bukan Tuhan?” suara Aisyah terdengar ragu.
“Betul, Nak.” Lelaki itu menganggukkan kepala.
“Konsumsi adalah kelebihan utama rakyat negeri ini. Itu sebabnya populasi yang besar menjadi sasaran utama semua produk yang berasal dari luar negeri. Penduduk negeri ini jadi santapan dari semua aktivitas perusahaan asing. Selain kelebihan utama, rakyat juga gemar mengkonsumsi, Nak” terangnya.
Suasana lengang. Aisyah berusaha memahami perkataan bapaknya.
“Awal kasus corona, melalui banyak media terutama televisi mengabarkan bahwa harga-harga mulai naik. Mulai masker, sabun, hingga sembako naik drastis bahkan menjadi sangat langka. Pemerintah justru menghimbau rakyat untuk menanam umbi-umbian di rumah agar tetap bisa makan. Ini kesenjangan yang nyata, Nak. Fakta yang tak bisa ditutup dengan sempurna karena kenyataan akan menumpuknya kekayaan pada beberapa orang.” Jelas lelaki itu pada anaknya.
Sejak berakhirnya orde baru, kelompok miskin tak lagi menjadi kelompok yang utuh, akan tetapi dipecah menjadi komponen-komponen kecil (perempuan, anak jalanan, pembantu rumah tangga, minoritas, dan lain-lain) yang perjuangannya bukan lagi berfokus pada upaya merebut sistem. Jauh dari itu, mereka berusaha bertahan dalam kondisi hidup yang penuh kesenjangan.
Pemerintah abai terhadap rakyat. Dipilihnya para pejabat yang sekaligus sebagai pemimpin perusahaan, pengusaha atau pedagang. Ini berarti bahwa selain dibayar dari pajak rakyat, mereka juga menjadi jutawan dari proyek-proyek mulus hasil lobby pemerintah dengan perusahaan mereka.
“Nak…” Lelaki itu memegang pundak Aisyah.
“Kita harus mempersiapkan diri berada dalam kondisi yang paling buruk. Hal itu tak akan datang beberapa tahun lagi, Nak. Bukan. Karena mulai sekarang kemungkinan buruk itu sudah berada di depan kita. Pemerintah bukan Nabi, apalagi Tuhan yang setiap janji akan selalu ditepati. Mereka tetaplah kumpulan manusia yang selalu punya kepentingan.”
Itu benar. Mempersiapkan kemungkinan paling buruk menjadi agenda penting di situasi seperti ini. Bertahan hidup di tengah pandemi yang entah kapan akan berakhir. Nampaknya akan lama pandemi ini usai. Terlihat sikap dan respon pemerintah yang hanya mementingkan para penguasa.
Sedang rakyat tak pernah dianggap bagian penting dari pemerintah. Padahal jika mau jujur, justru rakyat lah yang menjadi subjek melakukan perubahan di negeri ini. Tapi apa mau dikata, demokrasi tidak menjadikan rakyat sebagi subjek, melainkan objek perhelatan yang tiap lima tahun berganti.
Aisyah mengangguk setuju perkataan bapaknya. Ia seakan tak berdaya menghadapi kemungkinan buruk masa depan. Dipikirannya memang hanya ada satu. Ia ingin bapaknya tak lagi susah-susah bekerja di sawah di masa-masa tuanya. Ia ingin sukses sebelum bapaknya tiada. Tersenyum bangga melihat Aisyah membalas jasanya.
“Ais tidak ingin menjadi konsumen, Pak. Ais ingin jadi produsen yang juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan pak. Terutama bagi kaum miskin seperti kita. Menjual produk-produk yang murah, yang sesuai dengan kantong rakyat. Bukan menjadi penguasa yang haus kekayaan hingga menjerat kaum miskin.” Ucap Aisyah.
“Itu sungguh mulia, Nak. Lantas pesan bapak tetap sama. Kamu harus belajar yang teguh dan rajin. Mau jadi apa pun kamu di masa depan, kepentingan rakyat terutama kaum miskin jangan pernah diabaikan. Karena mereka adalah tiang negara ini. Jika rakyat masih miskin, negara ini akan semakin terpuruk bahkan hancur. Tak ada lagi kata merdeka jika mereka terus dijajah oleh pemimpinnya sendiri” pesan bapak lantas berdiri.
“Bapak mau mandi. Diselesaikan bacaanmu. Jika kamu suka puisi, lawanlah penguasa melalui puisi seperti Chairil Anwar, Wiji Thukul, atau WS Rendra. Belajar banyak hal dari mereka melalui puisi” Sekejap tubuh lelaki itu telah hilang ditelan pintu rumah meninggalkan Aisyah yang dipenuhi pertanyaan besar.
Bapaknya benar. Perlawanan terhadap ketidakadilan harus terus dikobarkan. Cita-cita kemerdekaan harus terus diperjuangkan.
Aisyah tertegun. Bapaknya memang malaikat tak bersayap yang memberinya banyak bekal hidup ke depan. Ia kembali ingat syair Chairil Anwar untuk Bung Karno, bahwa kemakmuran, kemerdekaan dan perjuangan membela keadilan harus dilugaskan kembali.
“Ayo! bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji. Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu.
Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu. Aku sekarang api aku sekarang laut. Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat. Di zatmu di zatku kapal-kapal berlayar. Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh”
(Chairil Anwar, Persetujuan dengan Bung Karno)
Teras Rumah, 26 April 2020