Pengemil dan perokok sesungguhnya sama. Sama-sama boros dan konsumtif. Bedanya hanya kesan luarnya. Tapi dua hal itu bisa jadi wahana untuk melatih sikap bijaksana dan penuh toleransi.
Saya memang bukan perokok, tapi bukan berarti saya benci perokok. Yang saya benci adalah ketika tempat atau waktu merokok yang menurut saya tidak tepat.
Karena tidak merokok, sebagai gantinya, saya ahli nyemil, bukan tanpa alasan kenapa saya sangat menyukai kegiatan yang satu ini.
Orangtua saya adalah pedagang kecil di pasar yang kecil, di kota kecil pula. Banyak orang yang tidak tahu kota kelahiran saya, dibanding yang tahu.
Ketika di kota besar kemudian berkenalan dengan orang baru, biasanya saya bilang saya berasal dari Cepu. Padahal saya hanya dekat saja dari Cepu. Tapi kebanyakan langsung paham dan bilang “Oh, itu Jawa Tengah ya?”.
Bagaimana bisa orang lebih tahu Kota Kecamatan daripada Kota Kabupaten? Tapi memang Cepu lebih dikenal karena faktor minyak sih. Yang lain saya kurang ilmu untuk menjelaskannya.
Baik, kembali ke cerita tentang orang tua saya yang pedagang kecil. Setiap pagi buta, selalu berangkat ke pasar untuk menjual dagangannya.
Setelah dagangan habis dan waktunya pulang, beliau selalu beli jajanan pasar untuk kami di rumah. Eh, tapi entah itu beli atau barter jajanan, saya kurang tahu juga sih.
Hal itu masih berulang sampai sekarang. Itu yang menjadi alasan utama saya menjadi tukang ngemil. Suka jajan yang receh, murah dan pasaran. Karena memang lidah saya sudah sangat terbiasa dengan makanan-makanan itu.
Nongkrong di warung kopi pun ketika yang lain sedang nikmat-nikmatnya mengisap rokok, saya pasti sedang menikmati cemilan yang tersedia. Apapun itu yang penting bukan dari keju, lidah pedesaan meronta-ronta ketika bertemu yang satu itu.
Meski seorang pengemil, bukan berarti saya tak pernah merokok. Dulu, saat masih bujang dan tinggal sekamar dengan Wahyu Rizky, saya juga sempat merokok. Ahaha
Ada satu hal amat penting yang saya pelajari dari ngemil. Pengemil, sesungguhnya lebih boros daripada perokok. Bedanya hanya kesan luar saja. Pengemil terlihat lebih rapi dan sopan. Tapi sesungguhnya sama-sama konsumtif.
Saat ngopi di warung kopi dan memilih ngemil sesuatu, sementara kawan-kawan lain merokok, sesungguhnya bukan hal mudah. Sebagai orang yang tidak merokok, saya harus menahan untuk tak berkomentar buruk tentang rokok.
Untungnya saya punya kawan-kawan perokok yang bijak dan berperadaban. Yang tahu kapan harus merokok dan kapan harus tidak merokok. Di luar sana, tentu masih banyak perokok yang tak menghargai pengemil seperti saya.
Karena itu, saya sangat salut pada perokok yang punya adab saat merokok. Tahu kapan harus merokok dan kapan harus tidak merokok. Paham kemana arah menyemburkan asap rokok saat di depan ada pengemil yang tak merokok.
Sebaliknya, saya juga tak suka pada orang yang tidak merokok, tapi sok beradab dengan memandang buruk para perokok. Mereka harus tahu bahwa tidak merokok justru lebih dekat dengan sikap hasud, suka rasan-rasan dan sombong.
Memilih ngemil saat kawan-kawan sedang merokok bukan hal mudah. Ia butuh sikap toleransi yang tak sederhana. Begitupun, perokok yang ngopi dengan pengemil, butuh sikap toleransi yang tidak sederhana.
Pengemil dan perokok sesungguhnya sama. Sama-sama boros dan konsumtif. Tapi dua hal itu bisa jadi wahana untuk melatih sikap bijaksana dan penuh toleransi.