Pelatihan advokasi diharap mampu beri bekal para fasilitator sebelum berkampanye tentang pencegahan perkawinan anak.
Tingginya angka perkawinan anak di Bojonegoro, mendorong Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) gelar pelatihan Advokasi Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak secara virtual melalui aplikasi video conference, zoom meeting. Pelatihan ini dilaksanakan selama empat hari, Senin 29 Juni – Kamis 2 Juli.
Pelatihan dimulai pukul sembilan pagi hingga 12.30 WIB diikuti 22 peserta dari empat instansi di Bojonegoro. Mereka terdiri dari dinas, kelompok remaja, perempuan dan laki-laki yang diwakili Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Bojonegoro, Forum Pencegah Kekerasan Anak dan Perempuan (F-PKADP), Gerakan Peduli Perempuan Bojonegoro (GPPB) dan Komunitas Peduli Perempuan dan Anak Bojonegro (KPPAB).
Bertema “Membangun Opini Publik dan Menggalang Dukungan”, kegiatan ini dimaksudkan memberi pemahaman pada fasilitator yang konsen terhadap isu-isu anak yang berkembang di masyarakat seperti perkawinan anak.
Nanda Dwinta Sari, Direktur YKP mengatakan bahwa pelatihan ini bertujuan memberikan pengetahuan advokasi. “Agar mereka juga paham tentang apa, bagaimana dan langkah apa yang harus dilakukan ketika akan mengampanyekan pencegahan perkawinan anak,” katanya.
Ia menjelaskan pelatihan ini sudah direncanakan setahun lalu dengan metode tatap muka, namun di tengah kondisi seperti ini, pelatihan virtual menjadi pilihan tepat.
“Dua pekan yang lalu, kami juga mengadakan pelatihan ini dengan Kabupaten Ponorogo dan Blitar,” jelasnya.
Pelatihan virtual ini merupakan pertama bagi YKP. Walau diadakan secara online, pihaknya berharap ilmu yang disampaikan tetap terserap baik oleh peserta. “Meskipun banyak kendala seperti sinyal yang naik turun, semoga ilmu advokasi kampanye ini sampai dan diserap baik,” harap perempuan yang akrab dipanggil Nanda.
Dony Hendocahyono, pemateri utama pelatihan mengatakan, dalam kampanye bukan hanya sekadar sosialisasi tetapi juga aksi nyata. “Tujuan akhir dari kampanye itu berupa tindakan. Baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu,” katanya.
Ia menjelaskan kampanye harus didukung dengan basis data yang kuat. Dalam kampanye pencegahan perkawinan anak, instrumen hukum yang digunakan adalah Undang-undang No. 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan pasal yang dimaksud adalah pasal 7 tentang usia minimum 19 tahun bagi calon pengantin pria maupun wanita.
“Basis data seperti undang-undang, perma dan permenag menjadi penting dalam kampanye. Jika tidak, maka kita akan kalah argumen dalam mengkampanyekan sesuatu. Sehingga tujuan kampanye dalam bentuk tindakan tidak dapat tercapai,” jelas lelaki yang juga menjabat dosen Fakultas Hukum UGM.
Basis ide berupa penelitian kualitatif dengan metode etnografi juga perlu dipahami dengan benar agar jelas penyebab perkawinan anak di Bojonegoro. Ia menyimpulkan dari hasil diskusi selama pelatihan ada lima sebab. “Pemahaman budaya dan agama yang salah, kurangnya pengetahuan kesehatan, ekonomi yang buruk dan penggunaan teknologi informasi yang tidak tepat menjadikan angka ini masih tinggi di Bojonegoro,” simpulnya.
Menurutnya, kampanye hanya bagian kecil dari tiga proses advokasi. Akan tetapi kampanye merupakan proses terakhir. Proses pertama adalah legislasi dan litigasi berupa pengajuan usul dan konsep. Kedua yakni proses politik dan birokrasi yang mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan. Ketiga adalah proses sosialisasi dan mobilisasi seperti kampanye dan siaran pers.
Untuk metode, ia menyarankan kepada peserta agar merumuskan metode yang kreatif dan tidak imperatif tetapi tepat bagi sasaran kampanye. “Selain itu, media dan pesan yang disampaikan harus jelas, sehingga kampanye berhasil,” tambahnya.
Ia menegaskan ada prinsip advokasi yang harus dipegang teguh bagi setiap peserta yang akan berkampanye pencegahan perkawinan anak yakni menjadi bagian dari penyelesaian masalah. “Jika kita bukan bagian dari penyelesaian, maka kita bagian dari persoalan,” tegasnya.
Sementara itu, salah satu peserta, Nurintias Lestari mengungkapkan dirinya sangat bersemangat mengikuti pelatihan online yang pertama baginya. “Awalnya agak kaku gitu, rada bingung gimana caranya bertanya atau menyampaikan pendapat. Tapi alhamdulillah makin ke hari makin enjoy sama pelatihannya,” ungkap perempuan yang menjabat sebagai ketua F-PKADP Bojonegoro.
Adanya pelatihan ini, ia berharap mampu menyerap ilmu yang diberikan. “Semoga saya dapat menyerap ilmu sebanyak banyaknya dari bapak doni, bu nanda dan semuanya,” harap dara Bojonegoro yang akrab disapa Nurin.