Anak-anak dan storytelling cukup dekat. Kedekatan itu berdampak pada sikap dan daya nalar kelak ketika dewasa.
Menulis cerita (storytelling) menjadi perkara yang tidak sederhana. Ia mampu memicu berkembangnya imajinasi dan ketelatenan merenung produktif bagi anak-anak. Sayangnya, belum banyak yang tahu.
Padahal, menulis cerita tidak kalah penting daripada pemahaman tentang grammar belaka. Terlebih, jika urusan grammar justru membikin seorang siswa kesulitan menulis cerita.
Esais asal Inggris, Tim Lott, dalam esainya di kolom The Guardian mengungkapkan, menulis cerita adalah kerajinan sekaligus keterampilan yang teramat penting bagi kehidupan. Terlebih untuk anak-anak usia dini.
Sebab, kemampuan menulis cerita berguna untuk berbagai hal. Mulai dari mengungkapkan gagasan, men-transfer maksud dan keinginan, hingga urusan yang lebih serius: bisnis dan perdagangan.
Ditch the grammar and teach children storytelling instead. Writing stories is a craft that is crucial for life — wow, begitu gahar Lott membuka esai-nya ya, Nabs.
Yaps, Pak Lott menganjurkan untuk mengabaikan tata bahasa, jika tata bahasa justru memicu kesulitan anak untuk menulis cerita. Ini nih, asyik banget.
Nabs, bukan tanpa alasan Tim Lott menulis demikian. Perkaranya, ada seorang guru sekolah dasar dan menengah yang mengeluh karena siswanya tahu apa itu adverb, klausa hingga preposisi. Tapi, saat siswanya ditugasi menulis cerita, mereka menangys karena nggak bisa hehe ~
Fakta bahwa menulis cerita (storytelling) bukan sesuatu yang penting membuat Lott mara-mara. Bukan hanya karena memberi penekanan yang lemah pada kreativitas anak. Tapi, menulis cerita (storytelling) merupakan keterampilan penting untuk kehidupan.
Fokus belajar grammar hanya demi persiapan tes, memicu anak-anak kehilangan rasa percaya diri untuk menjadi kreatif. Padahal, tujuan utama belajar grammar tentu untuk memudahkan seseorang menulis cerita.
Keengganan mengajar menulis cerita (storytelling) merupakan kesalah-pahaman mendasar bagi pengajar. Sebab, lebih mementingkan grammar. Padahal, itu buruk jika memicu ketakutan pada anak didik. Karena itu, harus seimbang.
Sesungguhnya, Lott tidak menganjurkan guru mengabaikan tata bahasa, bahkan untuk penulisan kreatif sekalipun. Tapi, mbok ya jangan sampai pelajaran grammar memicu seorang siswa takut menulis cerita.
Lott menekankan bahwa bercerita bisa diajarkan dan diuji, selayaknya pelajaran grammar. Yang keliru adalah tidak mengajarkan seorang siswa menulis cerita (storytelling), dan hanya fokus pada pelajaran grammar belaka.
Seorang guru, kata Lott, tidak seharusnya bertanya tentang adverb, tenses maupun preposisi belaka. Tapi juga tentang struktur tindakan, karakter, perbedaan nyata dan fiksi hingga mengetahui peristiwa dramatis itu seperti apa.
Pemahaman tentang teknik bercerita, menurut Lott, jauh lebih penting dibanding sekadar belajar menirukan orang lain berbicara. Sebab, ia bisa memicu-munculkan kreativitas pada siswa atau anak didik.
“Keahlian (bukan bakat) storytelling dapat diajarkan – dan diuji – dengan cara yang sama seperti grammar,” ungkap esais asal Inggris itu.
Senada dengan Tim Lott, praktisi pendidikan sekaligus pengajar Bahasa Inggris, Ika Nur Indah Sari mengatakan, storytelling teramat penting bagi siswa dan anak didik. Sebab, selain memicu kreativitas, juga meningkatkan rasa percaya diri pada anak-anak.
“Sangat penting karena bisa memicu kreativitas siswa,” ungkap Ika.
Di sekolah tempat dia mengajar misalnya, sebelum aktif pembelajaran, anak anak harus bercerita tentang masa liburannya dulu. Sebab, pada dasarnya, dia meyakini bahwa dengan bercerita, membuat siswa mudah mengekspresikan diri.
“Kami percaya, dengan bercerita, anak-anak jadi tambah percaya diri dalam mengekspresikan diri.” pungkas Ika.