Bojonegoro punya sanad kemiskinan sohih, yang bernasab sejak mbah-mbah dan buyut-buyut kita. Jadi jangan heran jika sampai saat ini, kemiskinan selalu jadi isu nan ramai di Bojonegoro.
C.L.M. Panders, siapa dia?
Agak mencengangkan memang ketika sejarah kemiskinan di Bojonegoro justru diulas secara mendalam oleh orang asing yang notabene bahkan belum pernah secara langsung berkunjung ke Bojonegoro.
C.L.M. Panders yang nama lengkapnya adalah Christiaan Lambert Maria Panders adalah seorang Doktor Sejarah dari Queensland University, Australia.
Nabs, dilihat dari jejak akademik, C.L.M. Panders tentunya tidak ‘asing’ akan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan Indonesia. Dalam karya disertasi doktornya di Australian National University yang berjudul, “Colonial Education Policy and Practice in Indonesia 1900-1942” Panders mengungkapkan dengan teliti dan presisi terkait kebijakan pendidikan Pemerintah Hindia Belanda terhadap daerah jajahannya yang sekarang bernama Indonesia.
Oleh karena itu, menurut ‘jejak akademik’ tersebut maka dituliskannya buku berjudul Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia.
Tidaklah mengherankan, selain karena penelitian disertasi Panders juga berkaitan dengan Indonesia, bidang kajian dan rentang tahun yang dikaji oleh Panders pun juga sama, yaitu pada tahun 1900-1942.
Jadi tidak kaget ketika Panders menulis buku Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia, karena memang Panders memiliki pengalaman dan keahlian di bidang tersebut.
Namun dari aspek ‘locus’ penelitian buku Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia yang dia tulis layak mendapat pertanyaan ini.
Mengapa harus Bojonegoro yang dijadikan studi Panders mengenai potret kemiskinan endemik? semiskin itukah Bojonegoro masa lalu?
Pertanyaan singkat ini sejatinya mengungkapkan kegelisahan masyarakat (terutama masyarakat Bojonegoro) terhadap buku yang Panders tulis. Yang justru mengungkap secara komprehensif potret kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro pada kisaran 1900-1942.
Apalagi, dalam pengantar buku tersebut, Panders menyatakan bahwa ia belum pernah sekalipun berkunjung ke Bojonegoro. Panders menegaskan bahwa salah satu sumber utama dalam penulisan buku tersebut adalah banyaknya kepustakaan, arsip, bahkan dokumen-dokumen Pemerintah Kolonial Belanda yang menceritakan tentang daerah-daerah termiskin di Jawa pada waktu itu.
Sepopuler dan se-bersanad itu ya, Nabs, kemiskinan di Bojonegoro? Wow hmm sekali.
Bahkan dalam kata pengantarnya, Panders menyatakan bahwa, “Periksalah timbunan arsip di gudang penyimpanan milik Departemen Tanah Jajahan (Department van Kolonien) di Jalan Leeghwaterstraat, Den Haag, terutama data tentang sejarah ekonomi regional Jawa pada masa akhir kolonial, maka arsip yang paling tebal ialah tentang daerah-daerah termiskin”.
Berdasar apa yang disampaikan Panders di atas, sejatinya dapat disimpulkan bahwa alasan Panders menulis buku Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia didasari atas dua alasan utama.
Pertama, secara akademik dilihat dari penelitian disertasi doktoralnya, maka Panders memiliki kualitas dan kapasitas untuk meneliti mengenai kebijakan kolonial Hindia Belanda hingga potret kemiskinan di Indonesia pada tahun 1900-1942.
Kedua, berdasarkan penuturan Panders mengenai banyaknya timbunan arsip di gudang penyimpanan milik Departemen Tanah Jajahan (Department van Kolonien) khususunya yang berkaitan dengan daerah termiskin.
Maka dapat disimpulkan bahwa pada 1900-1942 Bojonegoro merupakan salah satu daerah termiskin di Jawa (bahkan mungkin di Hindia Belanda?) sehingga memiliki catatan dan arsip yang jumlahnya cukup melimpah di Departemen Tanah Jajahan (Department van Kolonien).
Oleh karena itu, wajar jika kemudian Panders mampu menggambarkan kemiskinan endemik yang terjadi di Bojonegoro dalam kurun waktu 1900-1942 secara komprehensif karena didukung oleh sumber-sumber pustaka maupun arsip yang berada di Departemen Tanah Jajahan meskipun Panders belum pernah ke Bojonegoro secara langsung.
Terlepas dari pemaparan Panders yang sangat komprehensif mengenai potret kemiskinan endemik di Bojonegoro dalam kurun waktu 1900-1942, namun di akhir pengantarnya dalam Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia, Panders menjelaskan bahwa, “Penggambaran dan analisis dampak kebijakan-kebijakan kolonial terhadap kaum petani, serta interaksi kelas penguasa kolonial dengan kaum tani. Jarang sekali ditampilkan adegan dan peristiwa dari sudut pandang rakyat jelata”.
Selanjutnya, Panders menambahkan bahwa, “Diharapkan kajian ini akan memicu para cendekiawan lain yang berposisi lebih dari saya untuk mengisi detail-detail yang masih kosong, serta untuk mengangkat sejarah Bojonegoro hingga masa kini”.
Dari pengantar Panders tersebut dapat disimpulkan bahwa buku di atas didasarkan pada ‘perspektif kolonial’ sehingga perlu ada kajian-kajian selanjutnya yang lebih komprehensif dan holistik dari perspektif lokal masyarakat. Baik oleh masyarakat biasa, akademisi, hingga pegiat sejarah di Kabupaten Bojonegoro dan Indonesia pada umumnya.
Nabs, buku “Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java- Indonesia” yang ditulis oleh C.L.M. Panders ini diterbitkan pada tahun 1984 oleh Penerbit Gunung Agung, Pte. Ltd: Singapore (versi asli/ Bahasa Inggris diterbitkan di Indonesia oleh PT. INTI IDAYU PRESS) dan diterjemahkan oleh Albard Khan pada tahun 2008.
Apa yang terjadi saat ini memang tak pernah jauh dari generasi sebelum-sebelumnya. Dan, ya, Bojonegoro punya sanad kemiskinan yang sohih sejak mbah-mbah dan buyut-buyut.
Jadi jangan heran jika sampai saat ini, kemiskinan selalu jadi isu nan ramai (dan diramai-ramaikan) di Bojonegoro. Lha wong kemiskinannya bernasab dan bersanad secara sohih gitu kok.
Tentu saja tulisan ini bersambung….
Dicky Eko Prasetio merupakan Tim Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan (PKHP) Universitas Negeri Surabaya, Staff DPPO FKMB UNESA)