Bojonegoro memiliki banyak bukti akan peradaban kunonya. Termasuk Gunung Pugawat, tempat pendhermaan Raja Erlangga yang telah lama dilupa.
Jipang (Bojonegoro) dikenal pusat peradaban kuno, yang dicatat sejumlah prasasti secara urut. Di antara prasasti membahas peradaban Bojonegoro adalah; Prasasti Pucangan (1041 M), Prasasti Maribong (1246 M), Prasasti Adan-adan (1301 M), Prasasti Canggu (1358 M), dan Prasasti Pamintihan (1473 M). Meski sempat di-klaim kota lain, semua prasasti di atas, isinya membahas Jipang (Bojonegoro).
Daftar di atas, memberi fakta bahwa sejak era Medang Kahuripan (P. Pucangan), Singashari (P. Maribong), Awal Majapahit (P. Adan-adan), Keemasan Majapahit (P. Canggu), hingga Akhir Majapahit (P. Pamintihan), Bojonegoro merupakan pusat peradaban. Ini belum termasuk prasasti zaman Pu Sindok (929–947 M) yang ternyata juga banyak di Bojonegoro.
Penelitian berbasis kajian pustaka dilakukan Akademi Bumi Budaya, menemukan fakta terkait sejumlah prasasti di Bojonegoro. Bahwa jauh sebelum era Medang Kahuripan (Raja Erlangga), di wilayah Bojonegoro sudah terdapat banyak jejak Kerajaan Medang Kuno (Raja Dyah Sindok Isanawikrama). Tak hanya data literatur, tapi juga batu prasasti.
Baca Juga: Taman Surgawi Gunung Pugawat
Pengaruh Pu Sindok Isanawikrama
Dyaḥ Siṇḍok Śrī Īśānawikrama alias Pu Sindok (929 – 947 M) merupakan raja Kerajaan Medang Kuno, sekaligus leluhur (kakek) dari Raja Erlangga. Meski belum teridentifikasi secara serius, Prasasti zaman Pu Sindok tersebar cukup banyak di Bojonegoro. Di antaranya, Prasasti Pelem di Purwosari Bojonegoro.
![](https://jurnaba.co/wp-content/uploads/2024/10/InShot_20241002_144220460.jpg)
Meski banyak bagian sudah aus, untungnya Prasasti Pelem masih bisa terdeteksi. Dilihat dari sisa huruf, bentuk prasasti, dan bahan batuan prasasti, diduga kuat Prasasti Pelem dibuat pada masa Dyaḥ Siṇḍok Śrī Īśānawikrama (Pu Sindok). Dugaan ini diperkuat data pendukung berupa lencana (replika) prasasti yang pernah dibuat pada masa Kerajaan Majapahit.
Lencana (replika) Prasasti Pelem pernah dibuat pada era Majapahit, dengan nama Prasasti Kamban, bertutur tentang pengesahan “Desa Kamban” sebagai tanah perdikan. Pengesahan ini dilakukan Dyaḥ Siṇḍok Śrī Īśānawikrama (Pu Sindok) pada 19 Maret 941 M. Faktanya, Prasasti Pelem memang berlokasi tepat di utara “Desa Ngambon” yang secara toponimi, sangat mirip dengan Desa Kamban.
![](https://jurnaba.co/wp-content/uploads/2024/10/Screenshot_20241002-002515_Gallery-1.jpg)
Ini memperkuat dugaan bahwa Prasasti Pelem memang dibuat pada zaman Pu Sindok memimpin Kerajaan Medang Kuno (929 – 947 M), sebelum akhirnya dilanjutkan cucunya, Raja Erlangga, pendiri Kerajaan Medang Kahuripan (1019–1043 M). Ada banyak (lebih dari 5) prasasti dengan jenis dan karakter mirip Prasasti Pelem. Mayoritas berada di lereng Gunung Pandan Bojonegoro.
![](https://jurnaba.co/wp-content/uploads/2024/10/Screenshot_20241002-002329_Gallery.jpg)
Prasasti Pelem dan Prasasti-prasasti zaman Pu Sindok yang ditemukan di Bojonegoro, mayoritas berbahan dari batu klastika (batu pasir Bengawan), bukan batu andesit. Padahal lokasinya di lereng gunung. Prasasti-prasasti itu juga ditemukan tak jauh dari aliran air (anak sungai). Ini indikasi kuat tentang dominasi peradaban Bengawan di wilayah Bojonegoro.
Dari banyaknya prasasti zaman Pu Sindok yang sampai kini masih ada tersebut, tampak besarnya pengaruh Pu Sindok (Kerajaan Medang Kuno) di wilayah Jipang (Bojonegoro). Maka bukan kebetulan jika kelak, cucu dari Pu Sindok yang bernama Raja Erlangga, memiliki kedekatan dengan wilayah Jipang (Bojonegoro).
Kedekatan Raja Erlangga pada Jipang, jelas tercatat dalam Prasasti Pucangan. Untuk diketahui, Prasasti Pucangan memiliki dua sisi. Bagian Jawa Kuno dan bagian Sanskerta. Dalam Prasasti Pucangan (Jawa Kuno), terdapat fakta tentang Lwaram (Jipang), sebagai pusat peradaban di wilayah “Utara” Jawa. Data ini, dilengkapi sebuah keterangan yang terdapat di Prasasti Pucangan (sisi bagian Sanskerta).
Gunung Pugawat
Dalam Prasasti Pucangan (bagian Sanskerta), disinggung informasi tentang Gunung Pugawat. Sebuah tempat megah yang jadi lokasi pendhermaan Raja Airlangga. Kern, dalam Verspreide Geschriften (1917 :96), mengulas pembacaannya terhadap Prasasti Pucangan (bagian Sanskerta) ini. Dan di bagian inilah, Gunung Pugawat itu disebutkan.
![](https://jurnaba.co/wp-content/uploads/2024/10/images.jpeg)
Dari 34 bait Prasasti Pucangan (bagian berbahasa Sanskerta), keterangan terkait keberadaan dan ciri-ciri Gunung Pugawat terdapat dalam bait ke 31 – 33. Berikut ini bait Prasasti Pucangan (Sanskerta), hasil pembacaan dari Kern yang dimuat dalam Verspreide Geschriften (1917 :96).
31. pūrvvädidigvijayinam hatasarvvaçatru- mekätapatramavanerjalalańgadevam nänyannirīkşitumalam subhujopapida- ngädhamparişvajati samprati rājalakşmiḥ
32. nirjityātha ripünparākramadhanāt chauryyairupāyairapi çaktyākhanditayā khalu vratitayā vā devatā rādhanai rantuñjātamahänṛpassa kurute puṇyāçramam çrimataḥ pārçve pügavato girernarapatiççrīnīralańgähvayaḥ
33. çrəvanto rājakīyāçramamasamamimannandanodyānadeçya ngacchantassantatantepyahamahamikayā vismayālolaneträ(h) mälädipritikärässtutimukharamukhā mukhyametannṛpāņä- mmānīnammanyamänä manumiva mahasā mānaniyavvruvanti
Artinya:
31. Kini, setelah menaklukkan Timur, Selatan, dan Barat serta mengalahkan semua musuh, setelah menjadi penguasa tunggal seluruh negeri, Yang Mulia Erlangga berada di dekat Keberuntungan kerajaan, yang tak seorang pun dapat melihatnya ditekan.
32. Setelah menaklukkan musuh-musuhnya dengan semangat yang besar, dengan tindakan kepahlawanannya, serta dengan segala macam kenegaraan, Yang Mulia Er-langga, setelah ia menjadi pangeran besar, menetap di lereng Gunung Pügawat yang megah untuk mendirikan pertapaan suci, baik untuk menunjukkan kekuatannya atau karena kesetiaannya yang tak terpatahkan pada sumpah untuk menenangkan dan memuaskan para dewa.
33. Mendengar pertapaan kerajaan yang tiada tara ini, yang tidak kalah dengan taman Dewa Indra, tak henti-hentinya masyarakat berlomba-lomba untuk pergi ke sana dan menatap (segalanya) dengan mata gemetar takjub; mereka membawa karangan bunga, dll., sebagai tanda kesenangan mereka, dan penuh pujian untuk pangeran yang luar biasa ini.
Nama kuno Gunung Pandan
Bait ke 31 Prasasti Pucangan Sanskerta di atas, jelas menyebut Raja Erlangga “mampu mènguasai wilayah Timur, Selatan, dan Barat”. Keterangan ini tentu menunjukan informasi penting. Bahwa posisi Raja Erlangga saat prasasti itu ditulis, sedang berada di wilayah Utara. Yaitu di daerah tidak jauh dari Lwaram (Jipang/Bojonegoro), yang merupakan sisi “Utara” Jawa.
Bait ke-32 Prasasti Pucangan Sanskerta di atas, menjelaskan Raja Erlangga “menetap di lereng Gunung Pügawat yang megah untuk mendirikan pertapaan suci”. Keterangan ini menunjukan bahwa Gunung Pugawat yang dimaksud, tak lain adalah Puncak Kendeng yang lokasinya dekat dari Lwaram (Jipang/Bojonegoro), yaitu Gunung Pandan. Faktanya, di sekujur lereng Gunung Pandan dipenuhi banyak prasasti era Mpu Sindok (kakek dari Raja Erlangga).
Bait ke-33 Prasasti Pucangan Sanskerta di atas, diketahui bahwa “Gunung Pugawat menjadi lokasi pertapaan suci yang megah, di mana, masyarakat dari berbagai penjuru berdatangan sembari membawa ketakjuban dan rasa senang yang luar biasa”. Saking megahnya, tempat ini disebut menyerupai Taman Dewa Indra. Faktanya, sampai abad 19 M, Gunung Pandan dikenal sebagai “Puncak Kendeng” yang dipenuhi arca Brahmana. Ini berdasar data Nederlands Oost Indie (1857).
Dalam laporan Nederlands Oost Indie (1857), terdapat tulisan Roorda Eysinga yang mencatat bahwa di Gunung Pandan telah ditemukan jejak penganut agama Brahminian. Ini terlihat dari berbagai patung dan benda yang dipersembahkan untuk Brahma. Eysinga menulis, di puncak Gunung Pandan, berdiri patung setinggi 14 meter yang dikelilingi 8 pohon jambe.
Kesimpulan
Gunung Pugawat yang disebut sebagai tempat pendhermaan megah buatan Raja Erlangga — dengan kemegahan yang tak kalah dari Taman Dewa Indra— diduga kuat adalah Puncak Kendeng, yang kini dikenal Gunung Pandan. Gunung Pugawat adalah nama kuno Gunung Pandan, tempat pendhermaan para Raja Jawa yang dibangun Raja Erlangga, seperti disebut dalam Prasasti Pucangan Sanskerta (1041 M).
Nama Gunung Pandan diduga baru muncul pada zaman Prasasti Pamintihan (1473 M). Saat di mana Bhre Pandansalas Majapahit (Raja Dyah Suraprabhawa) melakukan pendhermaan di Gunung Pugawat. Sejak Bhre Pandansalas berdherma di sana, lokasi yang sebelumnya bernama Gunung Pugawat itu, dikenal dengan Gunung Pandan.