73 tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, Soekarno menawarkan gagasan terkait dasar negara Indonesia merdeka di hadapan anggota sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Itu embrio lahirnya Pancasila.
Pancasila, adalah hasil serangkaian upaya pendiri bangsa untuk terbebas dari belenggu kekuasaan yang lian. Dan berdiri atas cita-citanya sendiri.
Pada momentum itu, Pancasila lahir dan ditawarkan sebagai dasar negara yang merdeka. Pancasila kemudian diolah dan dirumuskan bersama para pendiri bangsa yang lain, hingga disahkan pada 18 Agustus 1945, dalam Pembukaan UUD 1945.
Tidak berhenti sampai lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Nabsky. Pancasila kembali menggema di telinga dunia internasional pada sidang PBB di New York, 30 September 1960.
Pada sidang tersebut, Soekarno mengkritik konstelasi dunia yang konfliktual, dan ketidaksanggupan PBB untuk memberi solusi. Karena itu, kondisi dunia harus diubah. Sesuai tajuk pidatonya kala itu: To Build a New World. Untuk membangun peradaban baru.
Soekarno menyuarakan Pancasila, yang ia sebut sebagai intisari dari peradaban Indonesia selama dua ribu tahun lalu. Meski lahir dari perjalanan panjang sejarah Indonesia, Pancasila berisi kebenaran universal yang dapat diterima setiap bangsa. Dan lahir dari nurani manusia atau social conscience of man.
Saat ini, 2018, adalah 58 tahun pasca Pancasila menggaung sebagai suatu jawaban atas carut marutnya dunia.
Menurut Prof. Anita Lie dalam momentum Seminar Internasional Pancasila yang diadakan oleh Bakesbangpol Jawa Timur dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, pada 3-4 Desember 2018 lalu, Pancasila telah melewati masa-masa penggalian dan perumusannya yang diwarnai dengan kontestasi kepentingan dan pengorbanan diri-kelompok demi kepentingan bangsa.
Pancasila juga sudah mengalahkan ancaman dari ideologi lain, serta bertahan dalam represi rezim Orde Baru. Pada periode Reformasi dan Pasca Reformasi, euforia kebebasan seakan-akan menenggelamkan Pancasila.
Saat ini, dengan mudahnya akses informasi dan komunikasi, banyak bermunculan tawaran ideologi baru yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Ideologi tersebut tidak hanya muncul melalui gerbong politik, sosial, ekonomi, bahkan agama.
Tidak jarang loh Nabs, bahasan ini jadi bahan perdebatan baik di sudut warung kopi, di ruang seminar dan diskusi, maupun di kolom komentar sosial media. Dalam perdebatan tersebut, banyak yang justru saling menyalahkan, menganggap ideologi A lebih baik daripada ideologi B, dan seterusnya. Rasa-rasanya, kita seakan lupa bahwa Pancasila adalah ideologi pemersatu kita.
Dalam paparan pada panel bertajuk Pancasila Soft Power Kebangkitan Indonesia, Prof. Akh. Muzakki mengkisahkan seorang kaya raya yang diberi tahu juru nujum, bahwa ia akan menemukan harta karun di suatu tempat.
Kemudian ia menjual harta bendanya sedikit demi sedikit untuk mencari, keliling dunia untuk menemukan harta karun tersebut, hingga pada akhirnya ia meninggal dalam keadaan miskin di suatu tempat entah berantah.
Selang beberapa waktu, tetangga-tetangga sekitar orang kaya tersebut mencangkul tanah untuk menggarap sawah yang dulu ia miliki, lalu menemukan harta karun di sana. Ternyata, harta yang selama ia cari ternyata ada dirumahnya sendiri.
Prof. Akh. Muzakki menggunakan analogi kisah tersebut untuk menggambarkan kegalauan kita, Indonesia. Kita mencari, dan menggali ideologi dari segala penjuru dunia, hingga membuat kekalutan dimana-mana, tanpa menyadari apa yang dicari sudah ada di rumah sendiri.
Tidak perlu berdebat menyatakan diri kanan atau kiri, liberal atau sosialis, modernis atau konservatif. Nyatanya, lima sila yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang menjadi jawaban atas segala pencarian jati diri kita, Nabsky.
Dari analogi kisah tersebut, kita perlu untuk memperluas gema Pancasila di ruang-ruang publik kita. Pertanyaannya, Pancasila seperti apa nih, Nabs?
Menurut paparan Joko Susanto dalam panel Pancasila Penangkal Radikalisme dan Populisme, kita harus menilik pada sila keempat Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Pertama, Pancasila adalah rumah besar bagi tumbuh kembang gagasan-gagasan kerakyatan yang inklusif dan deliberatif. Inklusif dalam hal ini adalah mencakup kebhinnekaan dan nilai-nilai budaya Indonesia tanpa terkecuali.
Untuk mendukung tercapainya ekosistem yang inklusif tersebut, dibutuhkan ruang komunikasi yang deliberatif, yaitu memunculkan kembali budaya musyawarah untuk mufakat. Karena kita harus ingat, Nabs… Demokrasi yang dijunjung Indonesia mengedepankan value atau nilai, yang hanya bisa dicapai melalui mufakat, bukan berdasarkan suara mayoritas.
Kedua, bukan kebetulan bahwa kata kerakyatan dalam Pancasila hadir bersama kepemimpinan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Menurut Joko Susanto, melalui kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, demokrasi rakyat berpeluang menemukan bentuknya yang paling deliberatif. Melalui hikmat kebijaksanaan yang terbuka bagi permusyawaratan dan perwakilan, demokrasi rakyat diharapkan berkembang secara inklusif.
Dengan mengedepankan kerakyatan yang menjunjung karakter yang inklusif dan deliberatif, Pancasila tidak hanya menjadi tameng untuk menangkal apa yang disebut dengan ancaman ideologi-ideologi yang destruktif.
Pancasila dapat menjadi soft power khas Indonesia yang ditawarkan ke dunia sebagai obat dari carut-marutnya konflik ideologi.
Pancasila merupakan titik pertemuan dari berbagai ideologi yang pernah berjaya di masa lalu, dan menampilkan karakter yang khas sebagai sebuah ideologi, gagasan atau cara pandang tentang kehidupan kolektif atau berkebangsaan.
Kita patut bersyukur bahwa kita memiliki ideologi negara yang berwatak terbuka, toleran dan menampilkan diri sebagai “titik pertemuan” gagasan negara-bangsa modern. Kita sepatutnya bangga untuk menggaungkan Pancasila sebagai ideologi yang berkembang sesuai dengan kebutuhan untuk menjembatani semua pemikiran politik yang tumbuh di abad modern, itulah Pancasila.