Dalam utang piutang terkandung unsur saling tolong menolong di dalamnya.
Nabs, dalam bahasa Arab, istilah utang piutang disebut sebagai qarad yang artinya adalah “potongan”. Maksudnya adalah potongan dari harta muqrid (orang yang membayar) yang diberikan pada muqtaid (orang yang diajak akad qarad)[1].
Dalam Al Qur’an, kata utang sendiri disebut sebagai dayn. Seperti yang disebutkan dalam surat al Baqoroh ayat 282 yang artinya “…. jika kamu melakukan utang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya”[2].
Secara terminologis, utang piutang adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari.
Menurut Firdaus, al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literatur fiqih, qardh dkategorikan dalam akad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil[3].
Utang piutang merupakan perjanjian antara pihak satu dengan pihak lainnya dan objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah uang. Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang memberikan pinjaman, sedangkan pihak yang lain menerima pinjaman uang[4].
Dasar Hukum Utang Piutang
Utang piutang merupakan perbuatan kebajikan yang telah disyariatkan dalam Islam. Dasar hukum utang adalah sunnah. Akan tetapi bisa berubah menjadi wajib apabila orang yang berhutang sangat membutuhkannya. Sehingga utang piutang sering diidentikkan dengan tolong menolong[5].
Hal ini diatur dalam Q. S. Al- Maidah ayat 2, yang artinya:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”[6].
Sebagaimana diketahui, bahwa al-qard merupakan salah satu bentuk transaksi yang dilakukan dengan cara hutang piutang dalam bermuamalah. Dalam al-qard terdapat unsur saling tolong menolong antar sesama.
Yang kaya menolong yang miskin, yang mempunyai kelebihan memberi pertolongan pada yang kekurangan atau yang membutuhkan. Dalam hukum Islam, dasar hukum utang piutang terdapat dalam Al Qur’an surat al Baqarah ayat 245, Nabs.
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nyalah kamu kembali”[7].
Selain dasar hukum dari Al Qur’an di atas, terdapat pula hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah sebagaimana berikut:
“Rasulullah SAW bersabda: pada malam aku di-isra-kan, aku melihat di atas pintu surga tertulis ‘sedekah akan dikalikan menjadi sepuluh kali lipat, dan memberi pinjaman dengan delapan belas kali lipat’. Maka aku pun bertanya: “Wahai Jibril, apa sebabnya memberi hutang lebih utama ketimbang sedekah?” Jibril menjawab: “Karena saat seorang peminta meminta, (terkadang) ia masih memiliki (harta), sementara orang yang meminta pinjaman, ia tidak meminta pinjaman kecuali karena ada butuh” (H.R. Ibnu Majah: 2422)[8].
Berdasar hadits tersebut, memberikan hutang kepada orang yang lebih membutuhkan bahkan kedudukannya lebih mulia daripada bersedekah. Sedangkan bagi orang kaya, hutang harus dibayar tepat waktu dan tidak boleh ditunda-tunda.
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa dari Ma’mar dari Hammam bin Munabbih, saudaranya Wahb bin Munabbih bahwa dia mendengar Abu Hurairah RA berkata: Nabi saw bersabda: Menunda pembayaran hutang bagi orang kaya adalah kedzaliman”. (H.R. Bukhori: 2225)[9].
Hukum utang piutang menjadi haram jika kita memberi hutang untuk keperluan maksiat dan atau perbuatan makruh, misalnya untuk membeli narkoba dan lain sebagainya.
Nabs, diharamkan pula memberi hutang dengan mensyaratkan tambahan pada waktu pengembalian akan hutang yang diberikan. Sebab dalam hutang piutang bukanlah salah satu sarana untuk memperoleh penghasilan, Nabs.
Oleh karena itu, diharamkan bagi pemberi hutang untuk mensyaratkan tambahan dari hutang yang dia berikan. Akan tetapi apabila itu inisiatif atau kehendak ikhlas dari orang yang berhutang sebagai bentuk balas jasa yang sudah diterimanya, maka yang demikian itu bukan termasuk riba dan diperbolehkan. Karena itu terhitung sebagai al-husnul al-qada’ (membayar utang dengan baik)[10].
Perpanjangan Waktu Pelunasan Hutang Piutang
Dalam Surat Al Baqarah ayat 280, menyebutkan:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Perintah ayat di atas menerangkan apabila kondisi orang yang telah berhutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka orang yang memberi hutang dianjurkan untuk memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai orang yang berpiutang mampu untuk membayar hutangnya.
Nabs, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, dapat kita simpulkan bahwa utang piutang adalah salah satu tindakan kebaikan di antara sesama manusia. Bahwa adanya akad utang piutang harus dilandaskan pada sikap tolong menolong dan tidak ada tujuan untuk mengambil keuntungan atas akad tersebut.
Sehingga, kita dibolehkan, bahkan sangat dianjurkan untuk memberikan kelonggaran penundaan pembayaran dan bahkan menyedekahkan (seluruh atau sebagaian dari utang tersebut) bagi orang yang sedang mengalami kesulitan (ekonomi).
Oleh karena itulah bagi pemberi utang, akan mendapatkan pahala/imbalan berlipat ganda dari Allah Swt dan kedudukannya juga lebih mulia dari sedekah.
Daftar Referensi
[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal 151.
[2] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, hal 70
[3] Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal 178
[4] Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), hal 9
[5] A. Khumedi Ja’far, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis, (Bandar Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Raden Intan Lampung), hal 166
[6] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2006)
[7] Ibid, hal 39
[8] Aplikasi Hadis: Lidwah Pustaka, dalam kitab Ibnu Majah nomer 2422.
[9] Aplikasi Hadis: Lidwah Pustaka, dalam kitab Bukhori nomer 2225.
[10] Muhammad Syafi’I, hal 33.
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya angkatan 2021 (Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)