“Manusia itu, baiknya saja sebuah keburukan, apalagi pas buruk.” Syaikhina Bahauddin Nursalim.
Pesan populer dari penjelasan Syaikhina Bahauddin Nursalim (yang dinukil dari Kitab Ihya Ulumuddin di atas) menjadi pembahasan teman-teman saat kami bertemu. Seorang kawan, secara ekstrim menafsirinya begini:
“Ketika awakmu ndue inovasi, ndue kreativitas, iku kan sakjane apik to ya. Tapi ngonokui yo elek. Soale nggarai plas-plas atine konconem. Enek sing kuwatir rezekine kalong. Enek sing kuwatir popularitase kegeser goro-goro kue. Pokoe inovasi dan perannem kui nggarai kuwatir, dan iku rentan dadi perkoro sing elek.”
Artinya: ketika kamu punya inovasi, punya kreativitas, itu kan harusnya baik kan ya. Tapi itu ya buruk. Sebab membikin hati teman atau orang lain plas-plas insecure. Ada yang khawatir rezekinya berkurang. Ada yang khawatir popularitasnya tergeser gara-gara kamu. Intinya, inovasi dan peranmu membikin khawatir orang lain, dan itu berpotensi menjadi perkara buruk.
Lalu dia melanjutkan:
“Urip sing wapik banget iku ketika kue gak ndue inovasi dan gak ndue bakat populer. Sehingga konco-konconem gak kuwatir. Ngko lak konco-konconem gak kuwatir karo kehadiranem ning ndunya iki. Ngko lak konco-konconem tambah suweneng karo kue. Makane, gak ndue inovasi dan gak berperan opo-opo terhadap kehidupan kui sakjane apik tur keren banget”.
Artinya: hidup yang baik banget itu ketika kamu gak punya inovasi dan gak punya bakat populer. Sehingga teman-temanmu gak khawatir akan kehadiranmu di dunia ini. Justru teman-temanmu tambah senang denganmu. Makanya, gak punya inovasi dan gak berperan apa-apa dalam hidup iku baik dan keren banget.
Saya mendengar untaian kalimat dari kawan itu dengan penuh seksama. Saya renungkan berulangkali. Berulangkali saya renungi. Dan tiba-tiba, saya ingat sesuatu. Ya, saya ingat sesuatu. Benar-benar mengingat sesuatu. Tapi langsung saya lupakan.
Penafsiran kawan saya itu ada benarnya. Tapi tak benar-benar benar. Karena itu, cukup saya ketahui dan saya pahami sebagai khasanah pemahaman personal. Tapi, saya sangat senang dengan penjelasan Gus Baha di atas.
Kalau tafsiran saya begini, selama masih hidup di dunia, ya akan selalu berurusan dengan keburukan-keburukan sentimentil manusia. Sebab di sanalah letak kekurangan manusia. Tiap manusia punya potensi berbuat tidak baik, bahkan di dalam perbuatannya yang baik pun.
Tak ada kebaikan yang absolut, selama ia masih manusia dan bukan orang pilihan macam kekasih Tuhan. Sebab, namanya saja manusia. Hewan yang berakal. Wajar saat unsur hewannya (kadang) dominan.
Gus Baha, seolah berpesan pada saya agar selalu sewajarnya dan sadar diri. Bahkan saat sedang berbuat kebaikan. Sebab bisa jadi, dalam kebaikan yang diperbuat pun, ada keburukan yang tak sengaja dilakukan.
Berhati-hati. Begitulah. Intinya berhati-hati. Tak koyak dilalap euforia kebaikan, dan tak tenggelam dalam hegemoni kelupaan. Sebab kita berpotensi berbuat buruk kapan saja. Kita selalu berpotensi kepleset kapan saja. Karena itu, wes pokoe hati-hati dan tak boleh berhenti ngaji.
Dalam konsep antropologi sosial, pesan Gus Baha di atas juga mengingatkan saya pada pesan Syaikhina Imam Syairozi Rahimahullah. Suatu saat, Mbah Syairozi nate dawuh: Urip bermasyarakat iku sulit dan karena itu, nilai juang dan pahalanya lebih besar ketimbang seseorang yang memilih uzlah (menyendiri).
Nek wes memutuskan untuk hidup bermasyarakat, kata Mbah Syairozi, kudu siap ngapiki (berbuat baik) orang baik, sekaligus ngapiki orang tidak baik. Sebab selama masih hidup di dunia dan masih bermasyarakat, selalu ada potensi bertemu orang tidak baik. Yang otomatis akan membuat hati kecewa. Dan itu wajar. Sebab di sanalah letak bedanya kehidupan di dunia dan kehidupan pasca di dunia.
“Sok mben ning akhirot isine wong apik-apik thok. Weenak. Tapi saiki ning ndunyo jek kumpul antarane wong apik dan wong elek. Makane dibetah-betahne disik. Disabar-sabarne disik. Targete sing enak kui sok mben.” Begitu kurang lebih pesan Mbah Yai Syairozi.