Globalisasi telah mendorong terbukanya sebuah pasar dengan penawaran dan permintaan yang tak ada habisnya. Dengan prinsip yang sama dengan bisnis narkoba, perbudakan manusia meningkat dan mungkin akan terus tumbuh sampai melampaui penjualan narkotika.
Diatas adalah sedikit kutipan buku yang menjadi titik terjadinya penjajahan dan eksploitasi tubuh manusia di dunia.
Abad 21 menjadi abad yang penuh dengan teknologi. Kondisi tersebut bisa kita lihat dan diakses di berbagai multiplatform.
Gemilang globalisasi menjadi tantangan penting oleh masyarakat dunia karena kebebasan ekonomi liberal dengan terbukanya pasar bebas, Nabs.
Menyoal tentang pasar bebas menjadikannya wadah para mafia untuk memulai bisnisnya di beberapa tempat-tempat di dunia untuk memperdagangkan perempuan, anak-anak, obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.
Kejahatan terorganisir ini dengan mudahnya masuk dan berkembang sesuai tuntutan zaman dengan menyamar dan strategi yang baru.
Perbudakan seksual terutama halnya, sering dinormalisasi oleh masyarakat karena wacana tersebut usang dan tak patut untuk diperbincangkan.
Oleh karenanya, para mafia semakin memperkuat dan semangat dalam memulai bisnis mereka dan kadang beraliansi dengan para penguasa dan politisi setempat.
Dengan adanya budaya normalisasi tersebut, membuat para korban merasakan dampak psikologi dan konstruk masyarakat dalam memandanginya.
Para perempuan yang bekerja menjadi PSK atau dalam istilah di Indonesia disebut ‘lonte’ seringkali terpaksa dalam mengambil pekerjaan tersebut karena adanya masalah ekonomi.
Kondisi tersebut menjadikan peluang para mucikari/germo untuk menarik, merayu, menggoda para perempuan dan anak-anak untuk bekerja dengannya.
Para mucikari menjadi ibu tiri/ibu asuh/mami dalam bisnis kejahatan ini, ia menempatkan posisi manajer dalam mengelola perbudakan seksual.
Perempuan dijadikan objek pasar dan dieksploitasi besar-besaran tubuhnya. Para klien dalam menjajal perempuan mulai usia 4-30 tahun menggunakan berbagai alat paksa dan sex oral sehingga klien puas, namun para perempuan merasakan kesakitan luar biasa karena normalisasi sex anal yang kadang tak sesuai norma sex yang wajar.
Dalam buku yang ditulis oleh Lydia Cacho yang berjudul ‘Bisnis perbudakan Seksual’ dengan gamblangnya menguak dan membedah perbudakan seksual di beberapa negara di dunia.
Lydia Cacho adalah seorang jurnalis, feminis, aktivis HAM perempuan asal Mexico, ia pernah dipenjara karena menulis buku-buku kriminal, namun hal tersebut tak membuat Cacho patah semangat untuk membuka topeng kejahatan terorganisir.
Dalam penelitian Lydia Cacho, saya menilik beberapa bab saja di buku ini. Dalam penelitiannya ia bepergian dan menelusuri berbagai negara seperti Turki, Thailand ke Israel, Jepang dan Spanyol, Kamboja, Mexico, dan beberapa wilayah di Amerika Latin.
Cacho menilik dan menguak jejak keberadaan mereka mulai triad-tiongkok, mafia rusia, dan yakuza jepang. Hingga ke kartel-kartel Amerika Latin.
Selain menjual tubuh manusia, mereka semua menjual senjata, obat-obatan terlarang, organ tubuh manusia, dan tak luput para mafia ini mempekerjakan menjadi buruh paksaan seperti pengemis, dan kambing hitam jika para korban kedapatan tertangkap oleh relawan.
Para mafia ini kerapkali menggunakan segelintir penguasa, politisi, dan bahkan korban untuk menyuap dengan segelintir uang untuk membumikan bisnis ini.
Normalisasi tersebut menjadi titik temu bagaimana masyarakat wajib berperan memerangi segelintir mafia dalam menjajankan bisnis yang tak senonoh ini.
Kedua, Cacho menjelaskan, di berbagai negara khusus dalam buku ini, ia menelurusi Pakistan, Israel, Kamboja, Birma/Myanmar, ia menilik ada sejumlah faktor merajalelanya bisnis tersebut diantaranya tingkat terbelakangnya pengetahuan masyarakat dan kemiskinan sehingga dalam berpartisipasi dalam melawan, rentan kalah.
Terutama dalam negara yang berkutik dan sering terjadi konflik besar-besaran seperti Pakistan, Palestina maupun Israel digunakan wadah kesempatan untuk memperluas dan bebas memulai jaringan bisnis ini karena banyaknya korban terbelit dalam masalah perlindungan dari luar terkhusus negara, bahkan keluarga sendiri yang kerapkali masih ortodoksi terhadap ajaran yang dogmatis.
Selanjutnya, dalam negara Kamboja dan Birma, faktor ekonomi menjadi landasan untuk memasuki bisnis tersebut, sehingga memancing pelaku untuk merayu dan sok peduli dalam menawarkan iming-iming kepada mereka, bahkan keluarga sendiri kerapkali menjual anak mereka, keponakan mereka, dan beberapa sanak keluarga yang masih berusia belia, sungguh paradoks yang membuat hati ini terasa pilu.
Dalam hal ini, Cacho memberi data yang sungguh membuat saya terkejut; hampir sekitar 43 persen gadis terselamatkan dan mengaku telah dijual oleh keluarganya sendiri, bahkan disini disebutkan ibunya sendiri yang menjualnya (hal 75).
Bagaikan rumput yang tak pernah gusar dan terus merambat, bisnis ini semakin tumbuh dalam negara tersebut, karena polisi, tentara, para pelindung yang seharusnya melindungi, ternyata ikut masuk dan menjadi pelanggan dalam bisnis ini, bahkan mereka menormalisasi dan menutup mata rapat-rapat mengabaikannya karena sudah menjadi aliansi dan sekutu para mafia dan mucikari sehingga jaringan tersebut saling dekat.
Para pengantar pelanggan biasanya mengendarai ojek dan tuk-tuk Thailand, ia juga menjadi bagian dari jaringan yang busuk ini.
Dalam bab selanjutnya, Cacho menguak jejak mafia, pencucian uang, para pelanggan dari tentara dan lainnya, para mucikari, angka kepanikan moral, dan apa yang kita perdebatkan.
Cacho membuka kedok mafia dalam beberapa orang yang menjajal bisnis tersebut. Para mafia mempunyai cara tersendiri untuk mempromosikan bisninya melalui para politisi, penguasa, dan para mucikari di dunia.
Entah disadari atau tidak, budaya normalisasi tersebut membuat para mafia semakin melebarkan sayapnya secara bebas, karena dengan adanya legalisasi bisnis tersebut.
Para mafia mengaduk psikologi korban supaya korban tunduk dan berprasangka ia ditakdirkan seperti ini, dan tak ada HAM untuknya, sehinnga kerapkali korban pasrah atas kondisinya saat ini, alih-alih masyarakat memberantas bisnis tersebut, kerapkali para agamawan bahkan menjadikannya contoh khutbah haramnya hal tersebut yang mengakibatkan masyarakat bahkan keluarga sendiri membuang, mengucilkan, bahkan mengusir korban agar tak kembali ke tempat tinggalnya.
Menurut kantor PBB urusan narkoba dan kejahatan (UNODC), dalam laporan global tentang perdagangan manusia yang menghimpun data dari 155 negara, sebanyak 79 persen perdagangan manusia ditunjukkan untuk eksploitasi seksual.
Semakin banyak perempuan dalam situasi kemiskinan, kelaparan, dan ketimpangan masuk ke jurang perdagangan seks (hal.210).
Saya pikir perlu dibedakan antara perdagangan manusia dan kerja seks. Berhenti menyebut pekerja seks dengan pelacuran asalkan tidak mengandung paksaan. Kegiatan-kegiatan klandestin harus dibikin jadi terang dan diatur, seperti juga halnya bisnis obat terlarang hal tersebut merupakan perspektif Meksico Marta Lamas, antropolog Mexico.
Lalu, bagaimana kita sebagai manusia memperjuangkan dan memberikan hak-hak para korban ini? Cacho memberi saran untuk menyumbang dana ke lembaga-lembaga penampungan korban, atau kita bisa memberikan informasi lewat tulisan untuk menguak tabir bisnis gila ini. Tentunya kita harus sama-sama memerangi dan membuang budaya normalisasi budaya ini dengan memberikan kemerdekaan tubuh perempuan dan menjadikannya subjek bukan objek yang dinormal dan dieksploitasi oleh mafia, mucikari, dan budaya patriarki.
Entah disadari atau tidak, gemilangnya abad 21 tentunya menjadikan para penjajah tubuh untuk mengendalikan ekonominya bahkan melampaui bisnis-bisnis lainnya. Apakah benar-benar betul liberasi dan kapitalisasi di dunia yang menyebabkan ini semua? Seharusnya, kita membuka mata lebar-lebar, bukan menutupnya lebar-lebar bahkan mengabaikannya dalam menilik bisnis ini.