Para pengidap bucin, alias budak cinta yang sudah lama berpacaran harus tahu. Dari kisah Laila Majnun, Romeo and Juliet, Jack and Rose, Zainuddin dan Hayati, hingga Great Gatsby: harapan kerap diboncengi kesedihan-kesedihan berbasis cinta yang teramat nelangsa.
Setioko Bayu terlihat malu-malu melangkahkan kaki memasuki sebuah cafe di bilangan Jalan Panglima Polim. Saking hati-hatinya, dia sampai sempat terpeleset keset bertulis “welcome” di depan pintu cafe tersebut.
Di pinggir pintu, dia mengucap salam sambil menggerak-gerakkan tangan kirinya ke belakang — yang tampaknya kedinginan. Sepintas, dia mirip kucing yang menggerak-gerakkan ekornya, sambil malu-malu manusia, tentu saja.
Wajahnya langsung memerah kala mbak penjaga cafe menjawab salam dan melempar senyum kepadanya. Seperti mendapat izin, Bayu mantap melangkahkan kaki masuk ke dalam cafe tersebut. Ngobrol sebentar dengan mbak penjaga cafe, lalu duduk manis.
Dia duduk manis. Bayu duduk amat manis sekali. Bagaimana manusia membuat frasa “duduk manis”?, sementara duduk tak mungkin bisa dikecap lidah? Duduk manis, bisa jadi hanya akal-akalan manusia untuk menutupi pahitnya hidup.
Sesekali Bayu menatap wajah mbak penjaga cafe dari kejauhan. Dan berkali-kali dia tampak melamun sambil senyum-senyum sendiri, seperti ada yang dia ajak berbicara; padahal tidak.
Mbak penjaga cafe menghampirinya. Meletakkan kopi pesanan Bayu di meja, sambil tentu saja meletakkan banyak kesempatan sekaligus tanda tanya pada Bayu, untuk menggerakkan sayap khayal lebih dalam lagi.
Bayu dan mbak penjaga cafe itu tak berbicara sedikitpun. Mereka berdua saling menyembunyikan senyum di balik punggung masing-masing. Saya tahu, karena saya berada di belakang mereka berdua. Hehe ~
Saya tentu tak akan mengganggu lamunan Bayu dengan pertanyaan basa-basi khas salesman produk ketampanan. Saya, entah kenapa, hanya sangat suka memperhatikan gerak-gerik orang yang jatuh cinta.
Seseorang yang sedang jatuh cinta, bagi saya menjadi semacam guru. Banyak perihal yang bisa dipelajari dari mereka yang sedang jatuh cinta. Mulai dari bagaimana mereka berupaya, hingga bagaimana mereka berupaya melupa, akibat disayat luka.
Melihat gelagat fenomena jatuh cinta Setioko Bayu, sepintas mengingatkan saya akan dua orang kawan dekat yang serupa saudara saya, yang entah kenapa, punya kemiripan nama dengan Bayu. Namanya mengandung kata “setia”.
Dari kisah Laila Majnun, Romeo and Juliet, Jack and Rose, Zainuddin dan Hayati, hingga Great Gatsby: harapan kerap diboncengi kesedihan-kesedihan berbasis cinta yang teramat nelangsa. Dan dua orang saudara saya, mempertebal itu semua.
** **
Dua orang kawan dekat sekaligus saudara itu adalah Oyits (P. Setyiono) dan Hamas (H. Setiansyach), dua orang kawan terdekat semasa kuliah, yang persahabatan kami sudah serupa saudara sendiri.
Oyits menjadi kawan terdekat selama saya berada di Surabaya. Dan saya banyak belajar dari Oyits. Terutama tentang ketegarannya menghadapi kenyataan hubungan percintaan.
Oyits tentu lelaki paling matang diantara kami kala itu. Saat kami semua masih sering grogi saat bertemu perempuan, Oyits sudah punya pacar. Oyits dan pacarnya adalah sepasang kekasih yang teramat serasi.
Dari pertama saya ndaftar kuliah sampai saya DO lalu saya ndaftar kuliah lagi, Oyits tak pernah sekalipun ganti pasangan. Seperti namanya, Oyits adalah lelaki setia. Padahal di saat yang sama, banyak perempuan yang gandrung padanya.
Oyits dan pacarnya sudah mantap untuk menikah. Mereka menjalin hubungan selama 6 tahun. Kau tahu, itu waktu yang dibutuhkan seorang anak untuk mengubah status dari siswa SD menjadi siswa remaja SMP.
Suatu malam, Oyits memberitahu saya bahwa keluarga Oyits dan keluarga kekasihnya sudah bertemu. Oyits juga sempat memberi cincin perak pada kekasihnya itu. Dan masing-masing keluarga sudah punya visi yang sama.
Tapi takdir, kau tahu, kadang serupa pisau bermata limabelas. Ia tak hanya tanpa izin, tapi ngawur saat menebas-nebas. Belum juga Oyits melaksanakan pernikahan, perkara besar terjadi. Kekasih Oyits berubah pikiran. Dia mengembalikan cincin perak dari Oyits, karena mengenal lelaki PNS.
Tentu Oyits terkapar dalam kehancuran. Oyits menemui saya dengan derai air mata yang teramat menyedihkan. Saya tak bisa banyak berkata. Melihat Oyits menangis sudah cukup membuat lutut saya bergerak tak beraturan.
Saat itu, yang bisa saya ingat, saya dan kawan-kawan ikut menangis menenangkan hati Oyits. Kisah Oyits serupa kisah novel Great Gatsby — seorang lelaki teramat baik yang bernasib sial karena perempuan.
** **
Hamas juga serupa Oyits. Dia menjalin kisah bersama seorang perempuan, yang bahkan satu alumni dari pondok pesantren dia menimba ilmu. Mereka menjalin kisah selama 5 tahun. Sejak Tsanawiyah, Aliyah, hingga kuliah.
Kedua belah pihak keluarga juga sudah bertemu untuk memikirkan masa depan anaknya. Beberapa bulan menuju pernikahan, kekasih Hamas berbelok hati pada lelaki lain. Lelaki yang, sialnya dikenal Hamas.
Hamas mengalami rasa sakit yang luar biasa. Sebagai pemuda yang dekat dengan filsafat, respon Hamas terhadap patah hati agak berbeda dengan Oyits. Sebagai teman terdekat Hamas, saya pun merasakan respon itu.
Hamas mendatangi saya bukan dengan tangisan layaknya Oyits. Tapi dengan bermacam keanehan khas pemuda filsafat yang kuat di luar tapi rapuh dan bosok di dalamnya. Saya tak tega melihat Hamas. Kemana-mana, saya berusaha menemaninya.
Hamas memang seorang pengamal dzikir. Saat dia patah hati, bahkan sempat mengganti nama Tuhan dengan istilah unik. Yang ketika dia berdzikir, dia bisa merasa tenang. Dan mungkin, waktu itu amat wajar. Sebab saya tahu, betapa sakit yang diderita Hamas.
Serupa Oyits, Hamas lelaki baik, tampan dan banyak yang menyukainya. Namun dia memilih setia. Tapi sialnya, kesetiaan Hamas dikhianati. Dan kegetiran Hamas begitu sangat saya rasakan. Saya tak ingin kawan baik saya itu kenapa-napa.
Saya, berbulan-bulan lebih tak pulang ke rumah karena menemani Hamas. Saya menemaninya menenggak berbotol bir dingin, menemaninya berdoa hingga berkunjung ke beberapa kota, agar hatinya tentram. Saya tak ingin kawan baik saya itu kenapa-napa.
** **
Beberapa tahun setelah kami lulus kuliah dan bermacam episode hidup yang telah terlintasi, saya menemui dua orang Great Gatsby itu kembali. Saya menemui Oyits dan Hamas—- dua orang kawan baik bagai saudara saya tersebut.
Mereka berdua, sudah berbahagia dengan pasangan hidup yang memang jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Dan saat berjumpa saya, sudah bisa menertawakan masa lalu sambil sesekali mengumbar pesan nasehat.
Mereka berdua berulangkali berpesan pada saya yang kala itu masih jomblo, pacaran tak perlu lama-lama. Jodoh tak diukur dari seberapa betah berpacaran, tapi seberapa kuat melawan goda menuju pernikahan.
Perempuan, kata Oyits dan Hamas, tak hanya punya hati selebar dan sedalam samudera, tapi punya fitrah perubahan visi secepat kedipan mata. Karena itu, jangan lama-lama berpacaran. Seorang lelaki harus segera menutup potensi buruk sebuah ikat kesetiaan dari seorang perempuan.
** **
Kalau saya punya momentum berbicara pada Bayu, tentu satu hal yang ingin saya sampaikan kepadanya. Serupa apa yang disampaikan Oyits dan Hamas kepada saya: jangan lama-lama berpacaran. Sebab dalam waktu berpacaran, bermacam potensi bisa datang bermunculan. Masih bucin kah kamu?