Musim politik seperti satu tahun terakhir ini mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan, mulai dari Pemilu hingga Pilkada. Punya euforia yang tak kalah menegangkan atau mungkin juga biasa saja bagi sebagian orang.
Melihat kondisi begini, menurutku tak ubahnya hari lebaran, semua orang yang merantau dan bepergian berebut pulang hanya untuk menentukan pilihan yang sudah disiapkan, sekolah-sekolah pun turut diliburkan untuk suksesi hari yang akan menentukan nasib suatu kalangan dalam rentang 5 tahun kedepan.
Pun, bagi ramai orang momen politik begini sering diidentifikasikan dengan istilah Pesta Demokrasi. Kalau kita printili satu persatu kata ini (Pesta demokrasi), pesta sendiri memiliki arti tentang peringatan, perayaan, atau segala hal yang mencatut kesenangan.
Sedangkan, demokrasi menurut Aristoteles dalam bukunya yang berjudul La Politica (384-322 SM) “Demokrasi adalah suatu kebebasan, prinsip demokrasi adalah kebebasan”.
Secara tidak langsung, kalau coba kita gabungkan kedua istilah ini akan menghasilkan makna, bahwa pesta demokrasi adalah perayaan tentang kebebasan yang membawa kesenangan, bukan?
Tapi bukan ini, sebetulnya ada pertanyaan yang mungkin cukup membingungkan, hanya satu pertanyaan! yang sampai saat ini sedang menghantui pikiran dan perasaan, bahkan hari-hariku juga cukup tersihir lemas, seperti layaknya orang yang lagi kasmaran, wqwqwq.
Pertanyaan itu bakal aku ajukan dan aku jawab sendirian, Benar sih kayak orang linglung. sebab kalau aku tanyakan pada lawan nanti malah dikira orang-orang seperti debat kandidat di kota inisial “B”, bulan kemarin yang sampai di hentikan karena kontroversi atas perbedaan pandangan yang akhirnya menimbulkan kekisruhan dari dua belah pihak yang saling berlawanan.
Pertanyaannya cukup sederhana, apakah musim politik ini adalah betul-betul sebuah pesta demokrasi? Menengok pemaknaan dari pesta demokrasi yang sudah tersampaikan pada paragraf kedua tulisan ini, memberikan kita gambaran kalau segala kebebasan adalah bentuk kesenangan. Kebebasan yang tidak terbatasi hanya pada pilihan 01,02, 03 atau bahkan pada kosong berikut-berikutnya.
Tidak memilih juga termasuk dari pilihan, bukan? kurang sepakat saja dengan tagline “Golput bukan pilihan” dari penyelenggara yang katanya pesta demokrasi ini, wqwqwq.
Sebab memilih untuk tidak memilih adalah bagian dari kesadaran yang terbangun dari berbagai latar yang terkembangkan. Entah karena ketiduran pas waktu pencoblosan, atau sakit sehingga tidak bisa menyumbangkan suara 5 tahunan, atau mungkin saja memang tidak ada pasangan calon yang memenuhi kriteria si pencoblos.
Jadi, kalau di simpulkan, kita tidak harus pusing karena terkotakkan pada pilihan yang sudah terpampang pada kertas suara. Apalagi gambar itu tidak bisa bicara dan memisuhi kita. Tidak memilih pun bagian pilihan cantik dari musim politik.
* Penulis merupakan Mahasiswa Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri Bojonegoro.