Jika hidup adalah pilihan. Aku memilih menghindari sebuah pertemuan yang akan dingin dalam perpisahan.
Tubuhku menggigil kedinginan, hujan sering jatuh di kotaku dengan semangat rintik yang pecah dikepalaku. Berisiknya kepala bagaikan mesin kereta yang sunyi ditinggalkan stasiun kota. Aku harus secepatnya pergi, menghindari para pengemis yang bekerja dengan mentalitasnya.
Aku tahu, matahari akan segera redup di balik jendela-jendela rumah milik perusahaan kain dekat adipura, begitu pun mereka akan pulang ke keluarganya masing-masing, kemudian bangun pagi mengumpulkan nasib yang sama. Itu pun akan selalu terulang seribu tahun lagi.
Bagaimana dengan pabrik rokok yang membius ruang-ruang perkampungan sebagai simbol yang tidak terduga sebelumnya. Sungai-sungai kecil yang dipenuhi tumpukan sampah, air keruh hingga tidak terurai warna dan sengatan bau sampai ke lorong-lorong paling mengerikan sepanjang negeri dilahirkan ditangan penjegal.
Tidak terasa jarak dan waktu. Bus yang kutumpangi sampai di terminal, aku pun turun menuju sebuah perkampungan yang pernah viral beberapa tahun belakangan, karena mendapatkan penghargaan dari pemerintah provinsi sebagai kampung yang bersih dan sehat.
Semua itu kulakukan bukan soal pembenaran, atau mencari ilustrasi yang paling mengerikan, tentu tidak, ini cuma sekedar perjalanan panjang untuk memenuhi kebutuhan memori kenangan kian hari semakin habis diterjang keadaan dan realitas kebohongan.
Aku akan segera menuju kampung hingga sampai di sebuah perumahan elit kota. Ketika kudiperlihatkan dengan irigasi jalan yang meluapkan emosi dengan air. Bagaimana bisa terjadi, apa aku yang sedang salah jalan atau kebingungan menafsirkan tentang hujan.
Gerimis pun tiba, topi hitamku basah dikepala, kaos dan celana menghindari penjemuran sore itu, mendung yang linglung membawaku ke sebuah warung kopi yang jarang terjamah oleh pelajar-pelajar sekolah.
**
Pukul lima sore aku melihat seorang perempuan yang kelihatan terburu-buru menuju tempatku istirahat. Mungkin ingin menemui pacar, teman, bahkan mantan. Ah, terlalu berlebihan menafsirkan dan menyimpulkan.
Selesai perempuan itu menyandarkan sepeda motornya pinggir jalan. Ia menyapa seorang lelaki yang sedang duduk sendirian di beranda warung.
“Hy Rangga sudah lama kamu menungguku?”
“Lumayan, tapi tidak apa-apa lah, memang nasib kita selalu sama, dilahirkan tanpa berharap, dan tidak pernah mempercayai pertemuan.”
“Silahkan duduk Lis”
Lisa duduk menghadap Rangga dalam keadaan wajah dingin agak kebingungan, tentang apa maksud dari perkataan yang disampaikan barusan, tentang tidak pernah ada pertemuan. Padahal mereka berdua janjian dan bertemu di warung kopi yang sama. Tapi kenapa Rangga berbicara perihal tersebut.
Selang beberapa menit seorang penyaji kopi berbadan kurus memakai topi hitam memakai kaos putih menghampiri mereka berdua.
“Kira-kira ingin pesan apa mbak?”
“Es teh saja mas!”
“Baik mbak!”
Perbincangan dingin akan segera dimulai, sisa-sisa hujan masih berjemur di bawah meja mereka berdua, dan ia sama sekali pun nyaman dengan keadaan yang sesederhana itu.
Lisa ingin memulai pembicaraan, namun Rangga masih saja menyibukkan diri dengan nasibnya yang sudah terlanjur nyaman di dalam ponsel pintar genggamannya.
“Apakah kita sekarang sedang bertemu, Rangga?”
“Adakah yang lebih penting dari pertanyaan itu, Lisa, atau jangan-jangan, kamu mengigau.”
Perbincangan tentang pertemuan, masih menjadi teka-teki bagi Lisa, apa maksud Rangga berbicara perihal itu, kenapa ia tidak mengakui eksistensinya. Walaupun itu klise.
Kemudian Rangga mencoba bertanya kepada Lisa.
“Lisa apakah kamu masih percaya dengan pertemuan?”
“Tentu!”
“Alasanmu?”
“Kita kan berdua disini, dan aku sedang menemuimu, sebelum aku disini kita kan janjian tadi siang”.
“Apa kamu akan percaya begitu saja tentang pertemuan?”
“Faktanya, aku sudah sampai ditempat ini, semeja denganmu, kenapa aku tidak mempercayai kejadian ini. Aneh memang kamu ini”.
“Ow… Ow… Aku aneh, apakah kamu tidak lebih aneh dariku, Lisa.?”
“Kamu yang lebih aneh, bukan aku.”
“sampai kapan kamu akan selalu percaya tentang pertemuan yang menyakitkan ini, Lisa.?”
“Maksud, kamu. Sudahlah aku ingin pulang saja, kamu sangat menyebalkan bagiku.”
“Silahkan, kalau ingin pulang sekarang. Kamu tahu pertemuan adalah hal penderitaan yang selalu terulang di dalam kehidupan manusia. Apakah cinta akan selalu mengharapkan pertemuan, bukan kah perpisahan adalah akhir dari sebuah perjalanan cinta yang menyakitkan, dan kebahagiaan itu pun ilusi dan klise.”
Perselisihan dua sepasang kekasih tersebut, begitu menggelitik suasana, tegang yang saling berebut ruang dan kursi di satu meja terbakar amarah ketakutan kehilangan yang berlebihan.