Ada satu tali yang pertemukan Pizza, Drama Korea, dan Merdeka. Apa itu, mari kita cek bersama.
Huruf terkahir di setiap kata dalam judul memiliki kesamaan. Semuanya adalah huruf A, huruf pertama dalam abjad. Adakah makna dan maksudnya? Saya jawab dengan tegas: Tidak ada.
Kalaupun ada, itu hanyalah untuk kepantasan. Lebih estetis dan berima. Itu saja.
Pekan lalu, saya resmi mengenalkan anak saya makanan yang menjadi ciri khas Italia: Pizza. Itulah kali pertama lidah anak saya merasakan makanan dengan berbahan dasar tepung tersebut.
Dua tahun lalu, kami pernah mendapat oleh-oleh pizza dari salah seorang teman saat meet up di Surabaya. Namun, saat itu usia anak saya belum genap 2 tahun.
Dua puluh tahun lalu, sesuai ingatan saya yang terbatas, adalah kali pertama saya meraskaan makanan bernama pizza ini. Salah satu gerai pizza di pusat kota Yogya adalah tempat pertama kali saya menikmati makanan itu. Iya, saya sangat menikmati. Lebih-lebih karena saya ditraktir teman SMA yang berulang tahun. Benar-benar nikmat.
Dua puluh tahun lalu, hanya di kota-kota besar saja kita akan menemukan gerai pizza. Kini gerai pizza banyak hadir di kota dan kabupaten. Sebuah tanda bahwa dunia selalu bergerak. Tidak hanya bergerak, tetapi menuju ke arah kemajuan. Meski tidak selalu simetris dan berjalan dengan kecepatan yang sama antar daerah.
Sempat antipati dengan Drama Korea kini, kurang lebih, sejak awal tahun 2021, saya menjadi salah satu penikmat karya kreatif dari negara di Asia Timur ini. Drama Korea pertama yang saya tonton melalui layanan streaming berbayar adalah Memmories of the Alhambra. Drama ini berkisah tentang seorang gim augemnted reality, sebuh kemajuan terkini dalam industri gim.
Pekan ini saya masih mengikuti Drama Korea dengan tema detektif yang menghadapi kasus pembunuhan: Stranger Season 2. Ada salah satu prinsip dasar yang ditekankan di awal drama ini: Perlakukan istimewa karena koneksi, kenalan, dan kedekatan hubungan adalah bentuk kecil dari ketidakadilan dalam hukum. Ujungnya adalah penyelewengan dan korupsi. Mengena sekali, bagi saya.
Tentu saja, awal pekan ini, kita semua sleutuh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan Indonesia. Bilangan tahun tujuh puluh enam adalah jarak proklamasi Dwitunggal Soekarno dan Hatta dengan generasi kita hari ini. Rentang yang cukup tua jika dinilai darinusia manusia, namun tidaklah tua untuk ukuran negara, apalagi bangsa.
Merdeka adalah kado terbesar bagi generasi terdidik dan tercerahkan di awal abad ke-19. Sekolah dan pendidikan adalah embrio awal yang meletupkan semangat perjuangan untuk melawan ketidakadilan.
Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa menyebut, salah satu golongan elit terdidik pertama yang merasakan penderitaan dan ketidakadilan pribumi adalah guru.
Salah satu Bapak Bangsa, Bung Hatta, yang terlibat aktif dalam perjuangan meraih kemerdekaan dan mendirikan negara ini, telah mewanti-wanti: Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir. Melainkan sebuah awal untuk menciptakan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, dan kedamaian. Oleh karenanya, sekolah, guru, belajar, dan pendidikan telah dan terus menjadi kunci untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
** **
Pizza, drama korea, dan merdeka. Penduduk dunia, berasal dari negara manapun, mengakui pizza sebagai makanan cita rasa dunia asal Italia. Begitupun, Drama Korea menjadi fenomena yang menggejala dengan sebutan Korean Wave. Pengakuan negara-negara lain menjadikannya eksis dan diakui.
Kemerdekaan juga sama. Pengakuan dari negara lain adalah syarat utama dan pertama bagi sebuah negara yang baru merdeka. Penerimaan negara lain menjadi kondisi untuk berinteraksi antarnegara di dunia.
Diplomasi berton-ton beras yang dilakukan Sjahrir di awal-awal merdeka, juga road show para pemimpin bangsa ke beberapa negara adalah upaya untuk memeperoleh pengakuan dari negara lain.
Kita sekarang ini, sedang masa pra-kondisi untuk menjadi warga negara dunia, Global citizen. Interaksi dengan warga negara dunia, perlahan-lahan, mulai merembes ke berbagai belahan dna sudut dunia.
Makanan, pakaian, tontonan, dan kecerdasan bisa menjadi bagian yang amat cair dalam interaksi antarwarga dunia. Kualitas, kompetensi, dan juga kepedulian adalah nilai-nilai yang akan menentukan tingkat determinasi dalam percaturan tersebut.
Siap tidak siap. Kata temanku: Mbuh piye carane, pokoke kudu siap.