“Ya Rabb. Mugi kawulo kiyat ngrampungaken karya meniko.”
Tiba-tiba, saya bergumam pelan demikian, kemarin pagi. Ya, bergumam demikian, ketika saya sedang “membatik” 1002 bait terjemah Kitab Alfiyyah Ibn Malik. Ternyata, ketika tangan saya sedang “membatik” karya tersebut, benak saya “disergap” kebosanan berat. Ya, sangat bosan.
Bagaimana gak bosan?
Hampir dua minggu, saya kembali menjadi “pertapa”. Saya hanya keluar dari “pertapaan”, eh, ruang kerja, ketika perlu dan penting saja. Konsentrasi pikiran saya sepenuhnya terarah pada kitab itu. “Waduh, kondisi ini bisa berlangsung lama! Andai ini bukan karya kakek, tentu pengembangan kitab ini sudah saya tinggalkan,” keluh saya.
Konsentrasi saya saat ini adalah “membatik” kitab tersebut. “Membatik” yang saya maksudkan adalah: menulis ulang kitab itu yang huruf-hurufnya ditulis “seukuran semut”, menulis dan memahami terjemahan kitab itu dalam bahasa Jawa tahun 1900, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia modern, dan menjelaskan kandungan setiap bait kitab itu yang tersusun darin1002 bait dalam bahasa Arab. Benar-benar membosankan, karena semua itu saya kerjakan sendirian. Tanpa dibantu siapa pun!
Usai berkeluh kesah demikian, tiba-tiba kepala saya menunduk: malu. Pertama, malu tidak menghargai jasa kakek, seorang kyai yang telah berjasa dalam mengembangkan gramatika Arab di Indonesia. Kedua, malu kepada Prof. Dr. Ahmed Shalaby, Tuan Guru yang sangat saya hormati dan selama sekitar enam tahun membimbing saya selama menimba ilmu di Kairo, Mesir.
Usai berkeluh kesah demikian, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” jauh. Ke Kairo pada akhir 1979.
Sore itu, seusai bimbingan di Universitas Kairo, profesor sejarah dan peradaban Islam kondang itu berkata kepada saya, “Ahmed (itu panggilan saya oleh beliau)! Saya ingin bercerita kepadamu tentang Prof. A.J. Arberry, ketika saya sedang ambil program Ph.D di Universitas Cambridge, Inggris.
Suatu saat, ketika pakar di bidang peradaban Islam itu sedang menerjemahkan sebuah karya sastra Persia ke dalam bahasa Inggris, beliau kebingungan dalam menerjemahkan satu kosakata Persia dalam bahasa Inggris. Ternyata, untuk bisa menerjemahkan satu kosakata itu secara tepat, beliau melakukan riset selama berbulan-bulan.
Sikap beliau yang sangat cermat, teliti, sabar, tidak tergesa-gesa, ulet, dan ikhlas sepenuh hati itu perlu kau ikuti dan teladani. Ikutilah jejak langkah Prof. A.J. Arberry itu, kelak jika kau meniti dunia ilmu pengetahuan. Dengan sikap yang demikian, insyaAllah kau akan meraih kebahagiaan dalam meniti dunia ilmu dan menikmati keindahan ilmu!”
Deg! Teringat pesan indah itu, semangat saya untuk mengolah kembali terjemah Kitab Alfiyyah itu pun bangkit kembali. “Matur nuwun, Tuan Guru. Semangat yang Tuan Guru pesankan itulah yang membuat muridmu ini meniti dan meneladani jejak langkahmu. Matur nuwun, Tuan Guru. Jazakumullah ahsanal jaza’.”