Jauh sebelum Kampus Merdeka digembar-gemborkan. Sekolah Literasi Guratjaga telah melakukan model sekolah yang merdeka.
Menjadi pertanyaan yang amat sering ditanyakan ketika mengapa sekolah harus bayar? Bukankah negara bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan? Namun dalam pengejawantahannya, pendidikan secara umum, dijadikan komoditas dan alat untuk menindas.
Diperparah lagi dengan potret pendidikan era kiwari. Bukan rahasia lagi, ketika ijazah bisa langsung dibeli dan memperoleh gelar akademik yang jauh dari akademik itu sendiri. Obral gelar honoris causa, dan sorak-sorai pendidikan ilmiah namun masih gemar copy paste karya orang lain.
Memang benar, apa kata Jean Paul Sartre, bahwa hidup ini sandiwara. Jadi, amat sangat kurang tepat, jargon Kampus Merdeka, mungkin yang lebih tepat, Kampus Setengah Merdeka.
Sadar atau tidak, hingga sekarang, Indonesia masih terjajah. Namun mode penjajahannya beda. Wabilkhusus di bidang pendidikan. Kondisi yang ada di lokal, tidak bisa lepas dari kondisi nasional, dan kondisi nasional tidak lepas dari dinamika global.
Namun, Nabsky jangan khawatir. Di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini, bukan hanya ada beasiswa untuk selebgram saja, lebih dari itu, ada juga sekolah literasi yang merdeka, Guratjaga.
Sekolah literasi yang dibentuk para pegiat Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah ini, menerapkan pendidikan yang merdeka sejak dalam niat.
Saking merdekanya, bahkan ketika kita tak berangkat sekolah pun, sesungguhnya sudah bersekolah. Sebab, proses belajar bisa dilakukan bahkan tanpa bersekolah.
Belajar tidak hanya di ruangan tertutup plus ber-ac. Seakan-akan membatasi kebebasan berpendapat dan tidak menerima berbagai pemikiran. Di Sekolah Literasi Guratjaga, belajarnya, pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Di teras rumah, ruang tengah, warung kopi, dan lain sebagainya.
Kurikulum pendidikannya juga ada. Bukan kurikulum yang idealis, melainkan kurikulum yang realistis. Kurikulumnya, bukan berasal dari angan-angan, melainkan berangkat dari pengamatan.
Dimulai dari hakikat membaca, menulis, bagaimana cara menyusun ide atau gagasan, dan pendampingan intensif menggurat gagasan dalam rangka melahirkan karya, lalu secara istiqomah menjaga karya itu.
Siapapun bisa ngangsu kaweruh di Sekolah Guratjaga. Apabila pembaca di manapun berada tertarik untuk ngangsu kaweruh bersama di Sekolah Guratjaga, sila menghubungi pendongeng kehidupan plus spesialis cecurhatan, Widodo Ramadhani. Dan saya, jihadis Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Insomniah wa Jurnabiyah.
Hingga saat ini, Sekolah Litersi Guratjaga dihelat saban malam Jum’at. Diawali dengan yasinan, pembahasan materi, sema’an karya, tanya jawab, dan sharing tentang segala sesuatu. Tak jarang, Sekolah Literasi Guratjaga berlangsung hingga dini hari menyapa. Ada kopi, udud, dan uborampe makanan.
Apabila kawan-kawan ingin membuktikan keseruan plus ke-santuy-an Sekolah Literasi Guratjaga, mari ngangsu kaweruh bersama.