Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Ratu Beruk, Truntum, dan Seni : Ketika Kerinduan menjadi karya Seni

Alfi Saifullah by Alfi Saifullah
31/05/2025
in Cecurhatan
Ratu Beruk, Truntum, dan Seni : Ketika Kerinduan menjadi karya Seni

Berbicara mengenai batik, bukan sekadar tentang kain atau busana semata. Ia adalah puisi visual―narasi yang tak pernah lekang ditulis oleh sejarah, seni, dan peradaban. Dan puncaknya, pada 2 Oktober 2009, UNESCO telah mengakui batik sebagai warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage). Pengakuan ini telah menempatkan batik sebagi karya seni berskala internasional.

Dari sekian motif batik, Truntum menempati posisi yang istimewa. Bukan hanya indah dan menampilkan keunikan estetika tersendiri―motif ini lahir dari kesepian seorang permaisuri, ditenun dari kerinduan yang nyaris patah, dan kemudian menjadi simbol cinta yang tumbuh kembali. Motif Truntum adalah adikarya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencana atau Ratu Beruk, permaisuri Sunan Pakubuwono III, raja Surakarta yang memerintah pada tahun 1749-1788.

Inilah secuil kisah tentang karya seni yang dibalut sepi, rindu, dan harapan!

Ratu Beruk dan motif Truntum

Ratu Beruk lahir dengan nama kecil Rara Mulasih. Ia putri Ki Jagasura (Ki Wirareja), seorang petani miskin dari Desa Palar, Klaten (Endang, 2020). Ketika Beruk masih didalam kandungan, Ki Jagasura kerap memohon kepada Tuhan agar anaknya diberi keselamatan. Dari hasil berdoa, suatu hari Ki Jagasura bermimpi melihat cahaya kukuwung (pelangi) mengalahkan Cahaya bulan. Lantas cahaya tersebut bersatu dengan cahaya matahari menjadi sebuah Bintang.

Arti mimpi itu kurang lebih, bayi yang dikandung akan mendapat anugerah dari Tuhan.Terbukti dikemudian hari Rara Mulasih menjadi permaisuri raja. Sebelum menjadi permaisuri, Rara Mulasih berprofesi sebagai penjual arang di Kampung Coyudan, Solo. Setelah itu ia mengikuti ayahnya menjadi abdi dalem Kraton Kasunanan sebagai penari bedhaya. Alhasil, Sunan Pakubuwono III tertarik dengan kecantikannya, dan memilihnya sebagai istri―bahkan sebagai permaisuri. Rara Mulasih diberi gelar Ratu Beruk karena aksi-aksi sosialnya yang kerap memberi beras kepada faqir miskin menggunakan beruk (batok kelapa).

Dalam tradisi Jawa, lazimnya seorang raja memiliki dua macam istri, garwa padmi (permaisuri) dan garwa ampeyan (selir). Jumlah istri raja sampai 40, atau bahkan lebih. Raja harus menggilir istrinya satu persatu. Karena itu, tempo giliran satu istri dengan istri lain bisa sangat lama. Hal ini membuat Ratu Beruk merasa kesepian. Ia acapkali menyendiri di halaman Kaputren sambil memandangi hamparan bintang di langit.

Sesekali perhatian Ratu Beruk tertuju pada daun-daun pohon tanjung (Mimusops elengi) yang berguguran di halaman kaputren. Hingga pada suatu hari ia memperoleh inspirasi untuk menuangkan daun-daun tanjung dan Bintang ke dalam lembaran-lembaran kain berwarna hitam. Segera ia mengambil canting berikut peralatan membatik lainnya. Perlahan-lahan Ratu Beruk  menuangkan sketsa daun tanjung dan sinar bintang ke dalam kain. Dari goresan sederhana Ratu Beruk terciptalah sebuah motif yang dikenal dengan Truntrum.

Ketika giliran Sunan Pakubuwono III datang ke Kaputren Ratu Beruk, segera lembaran-lembaran batik Tuntrum itu dihaturkan kepadanya. Sang raja bergembira atas hasil karya sang permaisuri―hingga terucap kata-kata,

“Kembang-kembang Tanjung iku kaya nggambarake rasa tresnaku marang dhiajeng kang tansaya nruntum ana ing ati” (Bunga-bunga Tanjung itu seperti melukiskan rasa cintaku terhadap adinda yang selalu tumbuh di dalam hati) (Hamid, 2017).

Dan truntum bermanifestasi menjadi bahasa sang permaisuri, bagaimana ia menautkan luka dengan cinta, harapan dengan keabadian. Seperti kata Truntum yang berakar dari kata “Tumaruntum”, yang berarti “tumbuh lagi” menyiratkan sebuah harapan bahwa cinta tak ubahnya bintang-bintang di langit malam, akan selalu muncul meski gelap menggelayuti cakrawala.

Truntum, antara filosofi dan seni

Dalam prakteknya, motif truntum acapkali dikenakan orang tua pengantin dalam pernikahan adat Jawa. Bukan tanpa alasan. Ia menjadi simbol restu. Sebuah isyarat bahwa dalam bahtera rumah tangga, restu orang tua bagaikan lentera (Wulandari, 2011).

Ada filosofi yang menyelimuti di balik elemen-elemen motif Truntum.

Bintang-bintang―yang tersebar harmonis di seluruh bagian kain, melambangkan kedekatan hamba kepada Tuhan. Dibalik gemerlapnya motif bintang, terselip sebuah pesan: bila pertengkaran datang, jangan hanya bersandar pada ego―kembalilah kepada Sang Maha Lembut (Al-Latif), tempat segala kasih bermula.

Bunga Tanjung―menyuarakan wibawa Perempuan. Wanginya yang lembut menjadi simbol kekuatan dalam diam. Seperti Ratu Beruk yang merindu, tapi tak berteriak. Ia memilihberdoa, bukan menuntut. Dalam Jawa, bunga Tanjung sering dibuat simbol bahwa seorang istri, meski kerap disakiti, bahkan dikhianati, tetap menjadi pelabuhan sejati.

Belah ketupat―melambangkan sedulur papat kalima pancer―empat saudara gaib, amarah, Sufiyah, mulhimah, dan Mutmainah. Yang menemani manusia sejak dalam kandungan. Filosofinya sederhana, dalam hidup tidaklah sendiri. Bahkan dalam sunyi sekalipun, ada penjaga tak terlihat yang berusaha mengharmonisasi batin.

Secara artistik, motif truntum adalah estetika repitisi subtil. Pola bintang kecil yang tersebar telah menciptakan ritme visual yang tenang dan kontemplatif. Tidak mengejutkan mata seperti motif parang rusak atau mega mendung, tapi justru menenangkan. Kata Winarso Kalinggo, “ini refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada Bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan dibalik kesulitan. Sekecil apapun kesempatan, ia tetap kesempatan” (Andi, 2021). Dalam kacamata seni kontemporer, motif Truntum menciptakan estetika keseimbangan dan harmoni―dua nilai yang dijunjung tinggi dalam tradisi Jawa.

Lebih dari itu, batik Truntum adalah bentuk seni relasional―menghubungkan antara manusia dan Tuhan, suami dan istri, masa lalu dan masa depan. Dalam dunia yang acapkali menempatkan tradisi tak lebih sebagai halaman akun medsos, batik Truntum bisa menjadi pengingat akan pentingnya keterhubungan dan kontinuitas. Itupun jika kita memaknainya, bukan sekadar memakainya.

Pada akhirnya, dalam setiap helaian batik Truntum tersirat sebaris doa. Setiap elemen motifnya menyimpan makna yang tak lekang oleh zaman. Generasi bisa berganti, gayapun bisa berubah, tapi selama kita menjaga esensinya, Truntum akan terus “tumbuh kembali”. Wallahu a’lam

Tags: Ratu BerukTruntum Seni
Previous Post

Pelancar Aliran Air Selokan, Warga Ngantulan Lakukan Kerja Bakti

Next Post

BI Dorong Pengarusutamaan Ekologis dan Energi Bersih dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

BERITA MENARIK LAINNYA

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital
Cecurhatan

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

14/06/2025
Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran
Cecurhatan

Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

12/06/2025
Raja Baletung dan Spirit Ekologi Bojonegoro
Cecurhatan

Raja Baletung dan Spirit Ekologi Bojonegoro

11/06/2025

Anyar Nabs

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

15/06/2025
Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

14/06/2025
‎Kampus PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

Kampus ‎PerDikAn: Mandala Kadewaguruan Transformasi Sosial

13/06/2025
Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

Bahasa Kualat: Antara Mitos, Dogma, dan Kesadaran

12/06/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Penerbit Jurnaba
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • PUBLIKASI
  • JURNAKOLOGI

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: