Jamak kita temui yang beredar di masyarakat, bagaimana pelanggengan stereotip buruk terkait pendidikan seksualitas dengan menyamarkan nama-nama alat reproduksi menjadi nama hewan atau pelesetan anomali.
Sehingga menjadi hal tabu yang terus berkelanjutan dari setiap sendi-sendi kehidupan keluarga dan lingkungan.
Masyarakat terlalu hipokrit membicarakan seksualitas, hanya sebatas selangkangan laki-laki maupun perempuan. Padahal, Pendidikan seksualitas diperlukan sedari dini, agar anak-anak mampu memahami dengan sederhana sebagaimana belajar perihal kecil yang ada dalam dirinya dan lingkungan, sehingga keingin tahuan yang subur pada pikiran, imajinasi, dan pengetahuan kasat mata tidak menjadi menakutkan untuk di jawab.
Pembelajaran yang hendak diberikan itu cukup baik dan benar, mengenahi dengan nama-nama alat produksi secara benar dan jujur walaupun itu bagian-bagaian sensitif pada tubuh manusia.
Begitupun tentang bagaimana orang tua mengajarkan kesehatan reproduksi dan fase-fase yang akan dialami anak—didiknya seperti waktu mentruasi maupun mimpi basah agar ia tidak menjadi kagetan, bahkan kebingungan.
Sebelumnya saya menilik buku tersebut bagaimana cover dan judulnya agaknya bisa menjadi referensi untuk menyampaikan kediri sendiri sekaligus kepada publik. Buku dengan judul sebab kita semua gila seks bisa menjadi rujukan ilmu pengetahuan bagi pegiat komunitas sematta sastra dan masyarakat pada umumnya.
Berbicara seksualitas cukup rumit dan pelik, akan tetapi semua persoalan dapat diselesaikan dengan baik, kita bisa membaca buku, mendiskusikan buku, menulis ulang informasi-informasi baru yang sekiranya mampu memberikan dampak positif bagi kehidupan.
Kita masih menyadari sampai hari ini, bahwa pendidikan seksualitas masih tabu di kalangan masyarakat, apalagi membicarakan tentang seks, pasti stigma buruk yang akan didapat.
Sebelum memasuki isi buku, perkenalkan dulu, saya berstatus pelajar yang masih duduk di bangku sekolah tinggi yang ada di kabupaten bojonegoro.
Setelah mengikuti agenda Bedah Buku pertama, kemudian minggu berikutnya saya memberanikan diri menjadi pemateri tentang keresahan akan maraknya isu seksualitas yang hanya dikonstruksi oleh masyarakat sebagai perihal tabu dan mengancam bagi keberlanjutan dan pergaulan.
Padahal Kesehatan seks seharusnya lebih diutamakan untuk mencegah kejadian-kejadian tidak diinginkan.
Dari buku “Sebab Kita Semua Gila Seks”, dipaparkan bahwa di satu sisi perempuan memang banyak dirugikan untuk permasalahan seks.
Ada yang menganggap perempuan memang sudah takdirnya untuk menerima perlakukan laki-laki yang bajingan karena perempuan dianggap lemah, sekaligus dirasa tidak bisa mengubah apapun jika sudah terjadi balada seks.
Namun hal yang sering diabaikan ketika dua individu melakukan seks adalah kesehatan seks. Misal menggunakan media kondom yang dipahami dapat mencegah kehamilan, padahal kondom tidak selamanya menjamin keamanan dan mengurangi resiko kehamilan.
Perempuan memang suka dengan perkataan laki-laki yang manis apalagi kalau dituai pujian, duh merasa paling bahagia seantareo jagad raya, apalagi ketika dalam keadaan sange dan laki-laki melancarkan janji serta kata-kata peningkat gairah seksual.
Laki-laki yang hanya memikirkan kenikmatan orgasme sendiri, merayu kalau pakai kondom tidak enak lebih enak secara langsung tanpa ada penghalang. Demikian itu dianggap lumrah dan obrolan seks dan mengkaitkannya dengan penjelasan yang logis
Membicarakan seks memang butuh partner yang tepat. Untuk sharing mengenai kesehatan seks dan perilaku seks memang butuh teman yang memiliki pemikiran terbuka dan tidak menganggap tabu sedikit pun.
Padahal sudah sewajarnya perbincangan seks dipahami dan dibutuhkan untuk bekal kehidupan seks dan pendidikan seks untuk anak di masa depan.
Pentingnya Pendidikan Seks pada Anak Sesuai dengan Usianya
Beriringan dengan saya membaca buku ini, juga banyak kasus yang ditemukan terkiat kekerasan seksual pada anak. Sungguh miris, dan data tersebut naik selama pandemi berlangsung, bahkan saya juga pernah menemui korban kekerasan seksual secara langsung disekitar saya.
Usia anak juga menentukan pengenalan edukasi seks. Mulai dari pengenalan bagian tubuh, dan bagian tubuh mana saja yang tidak boleh disentuh orang lain. Kemudian pengenalan istilah yang benar, jangan menyebutkan vagina adalah kacang, dan penis adalah pisang.
Sebut saja dengan lugas vagina milik perempuan dan penis milik laki-laki. Apalagi anak muda, masa dimana penasaran2nya. Kalau rasa ingin tahu lebih tinggi tapi kurang akan ilmu seks itu.