Di hadapan sifat bebal, intelektualitas kadang tak berguna. Di sinilah peran dan tugas satire yang sesungguhnya.
Akhir-akhir ini komentar, balasan, dan kutipan di media sosial lebih sering berbentuk satire. Meski mungkin tidak semua faham apa itu satire, bagaimana menggunakannya, dan apa makna di balik itu semua, satire adalah bagian dari teknik komunikasi tingkat atas.
Misalnya ketika ada calon bintara polisi mengadu karena merasa dicurangi dan viral. Lalu kepolisian menyatakan bahwa tidak ada praktek kecurangan, semua sudah dilakukan secara benar sesuai dengan prosedur. Coba cek komentar dan balasan netizen, baik di Twitter, Instagram, Tiktok, Facebook. Lucu dan menggemaskan, bukan? Bukaan.
Contoh lainnya ketika kejadian Puan Maharani mematikan mikrofon saat pembacaan pandangan fraksi. Netizen tidak mencaci. Mereka malah menghitung jam, mengucapkan kalimat apresiasi, dan memuji. Sebab, tak semua orang punya keberanian mematikan mikrofon di tengah sidang parlemen.
Karena itu dia layak mendapat pujian. Dipuji untuk contoh yang buruk. Seolah memuji, padahal ironi. Itulah satu di antara gaya satire para netizen. Sebentuk protes, kekesalan, bahkan perlawanan terhadap tirani yang bebal. Berlebihan?? Tidak.
Seperti yang dituturkan Patrick Chappatte, seorang kartunis berkebangsaan Swiss-Lebanon. Satir sejatinya cara untuk melawan. Sebuah perjuangan untuk mewujudkan kebebasan.
Melalui karya-karya visualnya, Patrick telah menghadirkan banyak satirikal yang terkenal. Karya-karya yang menampakkan kebusukan penguasa. Hingga mampu mengguncang dan tumbang. Satu di antaranya menggerus kegilaan Donald Trump.
Budaya timur sepatutnya sudah lebih dulu. Satire konon lahir di pulau Jawa. Sebab sindir menyindir adalah bahasa sehari-hari. Satir adalah komunikasi yang bertumpu pada konteks, bukan teks yang terbaca mentah-mentah.
Kembali pada konteks kekinian, satir menjadi bentuk perlawanan para kaum tertindas yang tak bisa melawan secara frontal. Rakyat yang dijajah secara sistematis dan kultural hingga tak berdaya untuk melawan, tak berkutik untuk mengkritik.
Satire lahir dengan tugas mengawal kebebalan. Kebebalan tak bisa dilawan dengan kecerdasan. Di hadapan sifat bebal, intelektualitas kadang tak berguna. Di sinilah tugas satire yang sesungguhnya.
Satire adalah pemain bangku cadangan yang tugasnya khusus mengawal kebebalan. Ia tak segan men-tekling kebebalan dengan cara lebih bebal, tapi tetap elegan.
Analogi Satire
Mengusir nyamuk dengan tulisan “Dilarang Menggigit”, tentu tak akan diindahkan. Dengan sikap bebal, nyamuk akan terus menggigit kulit kita meski jelas-jelas ada tulisan di atas. Nyamuk adalah contoh sikap bebal. Ia yang tak bisa diberi tahu dengan tulisan.
Nah, mengusir nyamuk paling ampuh ternyata dengan memujinya. Tiap kali ada nyamuk, coba langsung beri pujian. Beri apresiasi. Apresiasi dan pujian, ampuh mengusir nyamuk. Buktinya, banyak nyamuk mati justru karena diberi tepuk tangan. Ini contoh betapa mematikannya satire.
Tanpa satire, kritik dan protes akan berujung intimidasi. Sebab, terlalu frontal dan vulgar. Sehingga memancing intimidasi. Sialnya, kadang intimidasi yang kekanak-kanakan. Misalnya foto bersama musuh dianggap musuh. Foto bersama anti pemerintah dianggap sebagai penentang.
Padahal kalau mau cerdas dikit, musuh paling berbahaya justru musuh yang posisinya berdekatan. Dengan IQ standar, kita bisa memahami bahwa yang dekat belum tentu bersahabat. Yang jauh belum tentu musuh. Tapi butuh IQ standar untuk memahaminya.
Satire sudah mulai menjadi bagian dari kehidupan kita untuk “melawan”. Mengkritik sambil bercanda. Menegur sambil merangkul. Sayangnya tak semua faham satire. Meskipun memang itu yang dibutuhkan. Tapi sangat menyebalkan ketika pemimpin tak faham satire. Tak faham konteks, hanya bisa membaca teks.
Rocky Gerung yang sedang tenar karena kritik satirnya menyebut pemimpin semacam ini dengan istilah dungu. Pemimpin dungu. Plonga plongo. Dan ini menular pada para pengikutnya. Sama-sama reaktif pada teks, bukan makna di balik teks (kontekstual).
Pada level lokal, penguasa daerah malah terkadang lebih lucu. Penguasa lokal yang gampang tersinggung, hanya dengan melihat status Whatsapp atau Instagram story. Tak tahan dengan komentar yang nggak sesuai harapan. Akhirnya hapus komen dan blokir adalah jalan ninja yang ditempuhnya.
Sejatinya satir adalah satu di antara sekian banyak cara untuk mengkritik, memprotes, dan memberikan sudut pandang berbeda. Baik kepada penguasa maupun terhadap fenomena, budaya, dan tradisi yang buruk di masyarakat.
Semoga Bojonegoro tidak begitu. Sebagai masyarakat agraris yang harmonis, hidup di Bojonegoro selalu manis. Sebagai daerah pemilik anggaran terbesar di antara kabupaten se-Indonesia, Bojonegoro selalu rendah hati. Saking rendahnya sampai ngga kelihatan.
Masyarakat yang terdidik dengan pemimpin yang cerdik cendikia adalah gambaran Bojonegoro. Kota Bojonegoro punya pemimpin yang santun, terbuka, bijak dan nggak baperan. Bojonegoro punya pemimpin yang dewasa, tidak pendendam, dan tak mudah sakit hati.
Kalau masih nggak faham satir, sering-seringlah mampir ke warung-warung para aktivis. Warung tempat bertukar pikir para pemikir, tempat merasakan hidup yang getir. Tempat paparazi beroperasi. Tempat pengintai-penjilat menyamarkan diri. Tapi di sana aromanya tidak enak, bau kopi yang terlalu kuat, dibalut asap tebal yang menyayat mata.