Sebuah tulisan, baik itu puisi, cerpen, novel ataupun artikel yang ditulis dengan hati, pasti akan sampai di hati pula.
Bila tulisan itu tentang kebahagiaan, maka pembaca akan ikut bahagia. Namun, bila tulisan itu tentang kesedihan, tak sungkan pembaca ikut menangis.
Bahkan mengeluarkan airmata dlewar-dlewer seperti yang diumpamakan Wahyu Rizkiawan dalam tulisannnya mengenai review cerpen berjudul Tuhan Maha Tahu Tapi Dia Menunggu karya Leo Tolstoy.
Saya belum membaca tulisan Leo Tolstoy itu. Tapi Rizky, melalui reviewnya, mampu menggelitik rasa penasaran saya untuk sesegara mungkin menemukan tulisan karya penulis masyhur tersebut.
Lebih tepatnya, menemukan sekaligus memaknai sendiri pesan yang coba disampaikan penulis dalam tulisannya itu. Siapa tahu, yang dirasakan Rizky tak sama dengan saya atau justru saya akan lebih dlewar-dlewer daripada dia.
Bagi saya, Rizky tak hanya sekadar mereview tapi menularkan virus welas asih dan kelapangan hati. Saya yang tidak membaca buku tersebut, bisa merasakan apa yang dimaksud dengan “Proses Memaafkan” yang dirasakan tokoh utama.
Rizky berupaya menyampaikan pesan dan kesan pembacaan dari cerpen tersebut secara utuh dalam tulisannya. Seperti mengisahkan apa yang pernah dia baca dan rasakan pada orang lain.
Satu paragraf yang membuat saya tersenyum geli, saat dia mengibaratkan proses memaafkan sebagai proses melahirkan. Sebagai seorang lelaki yang pastinya tidak akan pernah merasakan proses tersebut, cukup membuat saya tertawa kecil. Nekat juga lelaki ini memberi perumpamaan itu.
Jika Rizky mengeluarkan air mata dlewar-dlewer saat membaca tulisan Tolstoy tersebut, maka, saya hanya menitikan beberapa tetes air mata saat membaca review yang dia tulis.
Bukan karena saya tak merasakan apa yang coba disampaikan dalam tulisan Rizky. Tapi, karena saya justru sangat memahami apa yang dirasakan Rizky.
Bukankah proses memaafkan itu melegakan hingga tidak perlu lagi ada air mata yang mengalir deras sebagai tanda “Saya Telah Memaafkan Kamu?”