Bagi masyarakat pasca modern, plesiran atau traveling merupakan kebutuhan psikologis yang wajib ditunaikan. Karena itu, revenge tourisme (wisata balas dendam) tampaknya bakal ramai pasca pembatasan sosial berakhir.
Berada di rumah saja dan tidak kemana-mana, diakui atau tidak, merupakan siksaan psikologis bagi mereka yang menjadikan traveling atau plesiran ke berbagai tempat sebagai hobi sekaligus kegiatan utama.
Tak usah jauh-jauh pada mereka yang hobi banget traveling, kita-kita yang hobi ngopi di depan rumah saja, misalnya, saat banyak warung kopi ditutup pukul sembilan malam, pasti bakal kebingungan mencari tempat ngopi. Iya kan? Wqwq
Jadi tak perlu heran jika para traveler, atau mereka yang hidup dari jalan-jalan, layak mendaku sebagai sosok paling terdampak dalam menerima pukulan Covid 19. Terlebih, traveler yang sekaligus nyari duit dari jalan-jalan.
Tapi, sadar nggak sih kalau semua orang suka banget mendaku diri sebagai yang paling terdampak? Hmm.
Kamu, temanmu, tetanggamu, atau siapapun yang ada di lingkaran kehidupanmu, diam-diam tentu memendam sejenis wisata “balas dendam” pasca pembatasan sosial berakhir — meski Covid 19 belum hilang.
Masyarakat Bojonegoro atau masyarakat Indonesia secara umum, andai ditanya satu persatu, pasti juga bakal mengatakan bahwa sudah penat di rumah dan pengen berwisata. Pengen jalan-jalan.
Karena seperti dendam, begitu kata Eka Kurniawan, rindu harus dibayar tuntas. Tak terkecuali rindu plesiran dan jalan-jalan. Atau rindu sama dia yang ada di kejauhan dan masih dalam keghaiban. Semua harus dituntaskan.
Di dunia yang makin lama makin kapitalistik ini, apa sih yang tidak meminta ketuntasan? Dari kepentingan ekonomis hingga psikologis, semua harus dituntaskan, bukan?
Karena berada di rumah sesungguhnya menahan diri untuk tidak kemana-mana, jadi wajar jika ada dendam untuk pergi kemanapun. Dendam untuk, misalnya, menuntaskan ngopi di manapun.
Hasil jajak pendapat digelar Skift Research, sebuah firma penerbitan, penelitian, dan pemasaran pariwisata, menemukan bahwa sepertiga penduduk AS berencana berwisata tiga bulan pasca karantina wilayah dicabut.
Sementara awal Mei lalu, setidaknya 85 juta penduduk Cina, termasuk di kota Wuhan, melakukan perjalanan wisata setelah otoritas setempat melonggarkan kebijakan lockdown.
Itu menunjukan bahwa di luar sana, giat-giat berorientasi plesiran aman, sudah mulai dilakukan. Meski tentu saja, bermacam pengamanan — baik personal maupun sosial — tetap terus dilakukan.
Juru Bicara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ari Juliano menyebut, aktivitas wisata baru bisa berjalan normal setelah vaksin Covid-19 sudah ditemukan dan dapat diakses publik. Sebelum kondisi normal itu terjadi, kata Ari, harus tetap ada kewaspadaan tinggi pada potensi penyebaran Covid-19.
“Ketika aktivitas dibuka secara bertahap, yang akan disasar adalah destinasi wisata, karena masyarakat berwisata untuk melepas kepenatan selama bekerja dan tinggal di rumah,” ucap Ari dikutip dari BBC.
Dia mengatakan jika aktivitas pariwisata bakal mulai bergulir secara bertahap, begitu pemerintah mencabut pembatasan sosial. Selain itu, menurut dia, kesadaran masyarakat akan kesehatan juga semakin tinggi — efek samping pahitnya trauma pandemi.
“Tahun 2021, walau vaksin belum ditemukan, aktivitas bisnis kembali dibuka. Kalau saat itu keadaan lebih baik, walaupun kasus Covid-19 belum tuntas seluruhnya, industri pariwisata sudah siap,” ungkapnya.
Nabs, Data dari World Tourisme Organization (WTO) atau lembaga PBB yang ngurusin soal pariwisata mengungkapkan bahwa bisnis travel dan pariwisata menjadi salah satu sektor paling terkena dampak fenomena global Covid-19.
Covid-19 telah memangkas kedatangan wisatawan internasional pada kuartal pertama 2020 menjadi sepersekian dari apa yang mereka dapat setahun lalu. Bahkan, kondisi ini jadi terburuk dalam rangkaian bersejarah pariwisata internasional sejak 1950 silam.
Kuartal Januari – Maret 2020, misalnya, per 20 April, 100% dari semua destinasi di seluruh dunia telah menerapkan pembatasan perjalanan sebagai respon terhadap pandemi.
Dari 97 destinasi, 45 persennya telah menutup perbatasan untuk turis. Sedangkan, 65 destinasi, 30 persennya telah menangguhkan penerbangan internasional secara total. Dan dari 39 destinasi, 18 persen melarang masuknya penumpang dari negara asal tertentu.
Dari data tersebut, kita tahu banyak destinasi merugi. Selain itu, banyak pula masyarakat traveler merasa rugi secara psikologis akibat pembatasan sosial. Dan cukup dengan dua alasan itu saja, kita bisa memprediksi bahwa revenge tourism bakal ramai sepasca pandemi.