Membaca buku karya Iskandar (2016:4-5) berjudul “Manajemen dan Budaya Perpustakaan” di Perpustakaan Unugiri, terdapat pembahasan menarik bila ada enam fungsi perpustakaan, salah satunya adalah wahana rekreasi.
Lima –dari enam, fungsi dasar perpustakaan lain yang perlu diketahui menurut beliau adalah sebagai wahana pendidikan, informasi, penelitian, kultural dan pelestarian.
Khusus perihal rekreasi, yang dimaksud bukan sebagaimana diartikan KBBI (2008:1158) dengan piknik –berlibur di tempat wisata, atau pergi hangout ke tempat hiburan agar badan dan pikiran yang asalnya kurang riang menjadi gembira. Atau yang sedang layu menjadi segar kembali.
Perlu diketahui fungsi rekreasi artinya, perpustakaan menyediakan koleksi atau fasilitas yang memiliki unsur-unsur rekreatif atau menghibur.
Secara detail merujuk Iskandar (2016:5), menyebut bila unsur-unsur rekreasi tersebut bisa diidentifikasi bilamana perpustakaan menyediakan buku fiksi, musik, movie, dan lainnya.
Apalagi, hadirnya wahana rekreasi tersebut, pemustaka jadi terhibur, santai, dan bersenang-senang dengan fasilitas rekreatif yang disediakan perpustakaan.
Kita perlu mengerti, bila yang hadir di perpustakaan itu tidak semua senang dengan genre buku yang fokusnya pada keilmuan kaku, membosankan, dan terkadang sulit dipahami apa yang dipaparkan oleh para penulis.
Melalui hadiranya koleksi fiksi, sebagai misal karya Tere Liye “Tanah Para Bandit” (2023), “Matahari” (2023), “Negeri Para Bedebah” (2023), “Pulang” (2022), “Bedebah di Ujung Tanduk” (2022), atau karya fiksinya Ratih Kumala “Gadis Kretek” (2012).
Kemudian koleksi koran cetak, majalah –Aula, Trubus, Risalah dan sebagainya, mampu menghadirkan ragam ekspresi. Meminjam bahasa Bambang Trim (2018:1) entah “ekspresi” gembira, lucu, serta tidak berat menjadi alternatif untuk bisa mengerti apa yang diuraikan sang penulis.
Hadirnya ruang rekreasi –melalui hadinya buku fiksi di perpustakaan, menunjukkan bila perpustakaan juga bisa menjadi ruang yang mengasyikkan.
Ia bisa digunakan untuk membaca hal-hal yang riangan dan tidak berat, sehingga keberadaan perpustakaan tidak sepi. Melainkan, “banyak” digunakan orang untuk membaca terlebih meneliti.
Perihal kata “banyak” yang penulis maksud, kita sebagai pemustaka –atau pengguna perpustakaan, perlu melakukan “lebih” dari yang dilakukan oleh orang biasa.
Alhasil, melalui hadirnya fungsi rekreasi di perpustakaan, akan “banyak” yang membaca, kemudian akan “banyak” yang berkunjung hingga akan “banyak” yang meneliti. Itu karena, perpustakaan menyediakan fasilitas santai melalui penyediaan koleksi yang bisa dibaca secara santai pula.
Bacaan Santai
Membaca santai –melalui buku fiksi maupun koran, hingga majalah yang tersedia di perpustakaan, artinya kita tidak perlu mengerahkan segenap usaha untuk bisa memahami apa yang dibaca. Dalam bahasa Adhim (2015:176), kondisi kala membaca itu kita menunjukkan ekspresi bahagia dan senang melakoninya.
Kondisi di atas tidak bisa terwujud, manakala bahan bacaan buku yang tersedia bahasanya sulit, terlalu tebal, tergolong bacaan berat atau tidak menarik. Sehingga hadirnya bacaan santai, memotivasi kita untuk nyaman dan tanpa tekanan (enjoy) saat membaca. Hal itu menurut Aizid (2011:53), bisa terwujud manakala kita telah mengenal materi apa yang akan dibaca.
Ruang Diskusi
Selain menyediakan buku fiksi –sebagai wahana rekreasi, hadirnya ruang diskusi di perpustakaan turut menjadikannya berfungsi rekreatif. Ruang diskusi di perpustakaan yang dibangun secara santai sesama teman, menjadikan diskusi yang dilakukan betah dengan indikator berlama-lama di perpustakaan.
Itu karena, materi diskusi yang dibahas tidak berat dan asyik karena dapat dilakukan bareng teman (bestie). Jika demikian, rekreasi perpustakaan akan berfungsi manakala spot ruang diskusi kelompok ada dan tersedia.
Sehingga niat awal –tidak hingga antipati ke perpustakaan, oleh karena janjian sering diskusi dilakukan di situ, lama- kelamaan membaca serta meneliti di perpustakaan akanlah terwujud membudaya.
So, fungsi rekreasi itu adalah pemantik mahasiswa –tidak terkecuali dosen dan tenaga kependidikan, agar sregep ke perpustakaan. Hal itu agar jangan sampai terjadi selama hidup di kampus, keberadaan perpustakaan saja tidak mengetahui tempatnya.
*Penulis adalah Pengajar Makul Literasi dan Konten Digital Pendidikan Islam Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah, Unugiri.