Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu.
…………………………………….
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni-tulis Sapardi Djoko Damono dalam puisinya—dengan kalimat yang nyaris tak bersuara, tak menggugat. Lirih seperti cinta yang tak menuntut balasan—seperti pengorbanan yang tak minta pengakuan. Bulan Juni adalah bulan ganjil dalam almanak bangsa ini, bukan sekadar penanda musim—ia seperti sunyi yang penuh gema.
Karena hanya bulan Juni yang bergelar bulannya Bung Karno. Bukan tanpa alasan—ada banyak peristiwa terjadi di bulan ini, terutama yang berhubungan langsung dengan sang proklamator tersebut.
Tanggal 1 Juni adalah hari dimana Sang Putra Fajar berpidato di depan anggota BPUPKI. Dengan judul Lahirnya Pancasila, pidato Bung Karno yang menggelegar itu mengakhiri perdebatan panjang tentang dasar negara. Tanggal itu selanjutnya diperingati sebagai hari lahir Pancasila.
Dus, Pancasila merupakan dasar negara yang kokoh. Digoyah dengan negara Islam versi DI/TII Kersoewirjo dan Komunisme ala PKI, Pancasila tetap bertuah. Dan sejatinya, Pancasila merupakan ideologi Ketauhidan Islam yang diselimuti corak-corak ke-Indonesiaan.
Tapi, mari sejenak kembali pada hujan bulan Juni. Hujan yang turun tidak pada musimnya—menuruti kemestian. Di bulan juni ia seharusnya tak ada. Tapi turun juga. Mungkin ini seperti Bung Karno—tiba-tiba muncul di tengah kolonialisme yang merasa dirinya abadi.
Bung Karno bukanlah suara yang tunduk pada musim. Ia hujan deras di tengah-tengah kemarau sejarah. Dus, Juni layaknya hujannya yang penuh misteri, bertransformasi menjadi ruang kontemplasi. Menghadirkan serangkaian pertanyaan untuk dijawab, Apakah kita masih menghayati Pancasila secara utuh—seperti dalam konstruksi pemikiran Bung Karno? Atau sebaliknya, sekadar jargon upacara dan formalitas tahunan?
Lima hari setelahnya, tanggal 6 Juni, merupakan milad Soekarno. Bung Karno adalah anak manusia terlahir pada 6 Juni 1901 dari seorang ayah bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo bin R. Hardjodikromo bin R. Danuwikromo bin R. Mangundiwiryo (Pangeran Haryomangkudiningrat) bin Sri Sultan Hamengkubuwono II bin Susuhan Amangkurat IV bin Susuhunan Pakubuwono I bin Susuhunan Amangkurat I bin Sultan Agung Hanyokrokusumo bin Panembahan Hanyakrawati bin Panembahan Senopati bin Ki Ageng Pemanahan bin Ki Ageng Henis bin Ki Ageng Sela bin Ki Ageng Getas Pendowo bin Raden Bondan Kejawen bin Prabu Brawijaya V.
Sedikit bergeser ke samping. Jika ditilik dari garis neneknya, istri R. Hardjodikromo bernama Raden Mas Nganten Hardjodikromo. Terbentuklah sebuah genealogi, Raden Mas Nganten Hardjodikromo binti Raden Tumenggung Haryokusumo bin Pangeran Serang. Pangeran Serang beristrikan Nyai Ageng Serang salah satu pahlawan Nasional.
Jika ditarik ke atas, Nyai Ageng Serang binti Panembahan Notoprojo bin Panembahan Wijil bin Pangeran Ronggo Notoprojo bin Panembahan Ronggo bin Panembahan Kaniten bin Panembahan Semarang bin Sunan Hadikusuma bin Kanjeng Sunan Kalijaga. Dus, dalam amanatnya pada peringatan Nuzulul Qur’an di Kota Demak pada tahun 1958, Bung Karno mengatakan bahwa dirinya merupakan keturunan (trah) Sunan Kalijaga. Dan genealogi diatas adalah buktinya.
Oleh sebagian besar umat Hindu Bali, Bung Karno mendapat predikat sebagai titisan Hyang Wishnu. Bukan karena ia anggota NU, seperti joke dari KH. Yasin Yusuf Blitar—Wisnu, artinya Wis NU. Bukan. Atau kedudukannya sebagai Presiden, lantas dikaitkan dengan cerita raja-raja titisan Dewa Wishnu— seperti Angling Dharma atau Prabu Jaya Baya.
Ibunya bernama Nyoman Rai Sarimben binti Nyoman Pasek bin Made Tangkas bin Nengah Tangkas bin Nengah Ade bin Made Gelgel bin Ketut Pasek bin I Wayan Dangin Netra (Buleleng) bin Jro Mangku Langsir (pemangku pura Bale Agung) bin I Gde Pasek Baleagung (Pasek Penataran, Bale Agung) bin I Gde Pasek Tatar bin Khayi Gusti Pasek (Lurah Tatar) bin Arya Tatar bin Mpu Purwa bin Mpu Purwanata (pertapaan Ponowijen) bin Mpu Wiranata (Tumapel) bin Mpu Wiradyana bin Mpu Gni Jaya Sang Brahmana Pandita (Gunung Lempuyang Bali) bin Hyang Gni Jaya (Gunung Lempuyang) bin Hyang Pasopati (Gunung Semeru). Genealogi Bung Karno dari ibu merupakan strata tertinggi dalam Hindhu, Kasta Brahmana.
Dan, 15 hari berikutnya adalah hari wafat Sang Proklamator, 21 Juni 1970. Ia menghembuskan nafas terakhir di RSPAD Gatot Subroto lantas disemayamkan di Wisma Yaso, kediaman Dewi Sukarno, istrinya. Sebelum meninggal, putra fajar meninggalkan pesan agar dikebumikan di bawah pohon rindang yang bersebelahan dengan sungai. Tempat yang dimaksud terletak di Istana Batu Tulis-Bogor (Hing Puri Bima Sakti). Karena rezim yang berkuasa tidak menghendaki, alhasil jasad Bung Karno dikebumikan di Blitar, bersebelahan dengan makam kedua orang tuanya.
Meski telah wafat, rezim Orba khawatir akan bangkitnya sisa-sisa pengaruh putra fajar. Karenanya, mereka memilih Blitar yang notabene jauh dari Ibukota, daripada Bogor yang relatif lebih dekat. Kendati demikian, bau harum Bung Karno tidak pernah pudar. Dan rindu rakyat tak pernah bisa dibatasi. Blitar menerima keberkahan. Pusara Bung Karno menjadi medan magnet, menarik peziarah untuk datang ke Biltar. Menjadi berkah tersendiri bagi warga sekitar.
Bung Karno merupakan Waliyullah dari Indonesia, demikian keyakinan saya terhadap founding fathers Indonesia itu. Siapapun boleh setuju atau tidak. Bebas. Tidak masuk di ranah Ushuluddin—yang jika salah berujung dengan predikat kafir. Keyakinan bahwa Bung Karno Waliyullah merupakan implementasi kecintaan saya terhadap bapak bangsa ini. Setidaknya Bung Karno pernah mendapat predikat waliyul amri adz-dzaruri bis syaukah dari KH. Baidlowi Abdul Azis Lasem dan ulama lain. Dan siapa tahu—dia tidak hanya Wali dalam konteks politik kenegaraan, tetapi benar-benar Waliyullah.
Maka, resapi bulan Juni layaknya membaca puisi Sapardi Djoko Damono—pelan-pelan, dengan hati yang terbuka. Karena dalam hujan bulan Juni, akan kita temukan rindu yang belum usai—jejak Sang Proklamator yang belum sempat kita jalani. Bukan melalui nama jalan atau sekadar wajah di uang kertas, tapi nilai yang ia perjuangkan: kebangsaan, kemanusiaan, dan keberanian bermimpi besar. Wallahu a’lam.