Saya tidak suka kamu menghubunginya lagi. Untuk yang kemarin masih saya maafkan. Untuk kali ini, kali kesekian kamu menyakiti saya.
Gadis berperawakan ‘lencir’ itu menutup teleponnya. Segelas beng-beng hangat mengepul di depannya. Sekian detik sebelumnya, Ali, pelayan di kedai itu menyuguhkan dengan nampan plastik berwarna kuning.
“Beng-beng hangat rasa cinta Kak.” Ucapnya sambil meletakkan minuman itu di meja. Meja yang terbuat dari kayu jati.
Sekian kedai di kota ini menawarna tampilan nuansa kayu jati lengkap dengan ornamen-ornamen seperti lesung dan tenggala bekas kerbau. Nuansa tradisional ingin dihadirkan tapi terkadang playlist musik yang diputar tak mewakili perasaan tradisi itu sendiri.
“Terimakasih Al.” Sedikit kata yang diucapkan gadis itu.
Ia menuangkan sedikit demi sedikit beng-beng di ‘lepek’ agar sedikit lebih cepat menghilang panasnya. Begitu ia teguk yang pertama matanya memejam menikmati minuman coklat itu. Embusan angin dari sawah menanggalkan penat dan capeknya.
Beberapa kali telepon genggamnya bergetar. Panggilan di WhatsApp. Ia tak menggubris. Kini diambilnya sebuah buku bacaan dari rak yang berada di kedai. Sepertinya sebuah buku berisi kumpulan cerita pendek karya Kuntowijoyo.
“Hemm.. dilarang mencintai bunga-bunga.” Ia berbicara sendiri sambil melihat sampul buku tersebut.
Aku juga teringat. Beberapa bulan yang lalu pernah membaca buku itu. Bukunya tebal. Cerpen di bagian depan sangat sulit kupahami. Begitu sampai tengah, cerita-cerita ajaib seperti tersaji dan aku semakin menikmatinya. Kadang di malam sebelum tidur atau sore yang hujan juga di kedai kopi ini.
Ia membaca cerpen pertama di buku itu. Beberapa kali ia menarik napasnya dalam-dalam. Aku berharap agar jangan sampai ia berpikir makna dari “dilarang mencintai bunga-bunga” itu adalah peringatan bagi para laki-laki agar tidak mencintai banyak perempuan. Sungguh bukan!
Yang aku sukai dari beberapa cerpen karya Kuntowijoyo di buku itu adalah persahabatan yang tak kenal usia. Seperti anak kecil dengan seorang kakek. Aku pikir, aku menyukai kakek-kakek yang mungkin di masa mudanya adalah seorang berandalan. Mereka jauh lebih banyak punya cerita dan nasihat.
Ketika ia akan berdiri dan ingin mengembalikan buku itu ke tempat asalnya, aku berdiri dan menahannya. Aku memintanya agar tidak usah mengembalikan buku itu karena akan kubaca. Ia memberikannya. Ia kembali duduk dan aku kini berpindah tempat duduk di hadapannya.
Telepon genggamnya kembali berdering, tapi ia tidak menghiraukan sama sekali. Ia malah melirikku dan melayangkan ucapan, bukunya tebal dan tulisannya berat.
Kami terlibat perbincangan yang panjang. Kereta lewat beberapa kali dan di saat itulah pembicaraan kami terjeda untuk beberapa detik. Hujan menambahkan suasana jadi indah di kedai ini.
Ia berdiri dan memesan minuman lagi. Aku masih meneguk sedikit demi sedikit kopi yang kupesan sejak sampai di kedai ini. Banyak orang tertahan di kedai ini karena hujan. Tanpa musik, kedai ini dan seisinya begitu khusyuk menghayati lagu hujan.
Setelah itu perbincangan kami terjeda begitu lama. Kami sibuk dengan urusan masing-masing. Ia sibuk dengan telepon genggamnya dan aku sibuk dengan buku Kuntowijoyo dan membalas sapaan orang-orang di kedai. Bukan orang asing, kebanyakan pengunjung kedai ini adalah kawan-kawan yang bisa dikatakan senasib.
Posisi kami masih berhadapan. Sangat dekat dan jelas untuk mendengarkan perbincangannya dengan seorang laki-laki di jauh sana. Tapi aku sebenarnya bukan seorang penguping, kecuali tak sengaja kudengarkan. Hujan juga telah reda. Tiba-tiba kelopak matanya menjatuhkan air mata.
Tak begitu jelas apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dengan pelan ia katakan kepada laki-laki itu, bahwa sesungguhnya ia masih mencintainya.
Aku kemudian berdiri dari tempat duduk di hadapannya. Mengembalikan buku Kuntowijoyo ke tempat asalnya, yaitu sebuah rak kayu berwarna cokelat dengan tumpukan buku-buku. Rak yang sengaja di letakkan di pojok ruangan.
Kutinggalkan gadis itu. Rasanya, lebih baik tak menyeret diriku sendiri untuk terlibat dalam urusan orang lain. Apalagi soal cinta!