Pada hari Sabtu tanggal 2 April 2022 kita disuguhkan dengan salah satu hari yang musti diperingati oleh para pegiat buku, yaitu Hari Buku Anak Sedunia.
Berbagai sastra berjibun di berbagai platform, entah buku fisik maupun non fisik. Namun, tidak jamak ditemui sastra yang diperuntukkan anak-anak. Banyak hal yang melatar belakangi, diantaranya karena rendahnya minat dan kurangnya akses terjemahan yang disuguhkan dan diedarkan oleh penerbit independen.
Jamak kita melihat berbagai jenis terjemahan dari berbagai penerbit. Entah buku fiksi dan buku non fiksi, tetapi lebih kelindanan buku yang diperuntukkan oleh orang-orang dewasa dan cukup umur daripada buku yang diperuntukkan oleh anak-anak maupun remaja.
Oleh karenanya, untuk memperingati hari buku anak sedunia, saya ingin memperkenalkan dan meresensi salah satu buku anak yang kiranya menarik untuk diperbincangkan dan tentunya dibaca oleh anak-anak maupun orang dewasa, Nabs.
Kita sering mendapati terjemahan sastra Amerika Latin, Rusia, Eropa, maupun sastra Timur Tengah yang memeratakan akses bacaan bagi anak-anak.
Seperti kita ketahui, penulis asal Denmark yang melahirkan karya-karya dongeng klasik yang kiranya segelintir dari karyanya sudah jamak kita dengar dan baca. Entah di buku-buku maupun diangkat ke layar lebar (kartun) yaitu Hans Christian Andersen.
Salah satu karyanya yang terkenal seperti Itik Buruk Rupa, Gadis Penjual Korek Api, Ratu Salju, Putri dan Kacang Polong, dan lain-lain.
Jika kita belok ke Amerika Latin, kita dapati buku anak karya Luis Sepulveda yang kiranya sudah amat diketahui oleh segelintir pegiat buku, dengan judul Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang.
Di Indonesia, kita sering kedapatan cerita-cerita anak yang jamak ditemui, seperti kisah kancil, legenda maupun mitologi daerah-daerah di Indonesia, dan tentunya buku-buku cerita komik plesetan misteri hantu, religius, dan azab. Kisah-kisah tersebut terkadang disuguhkan oleh bapak-bapak penjual mainan keliling yang kerap mendatangi sekolah-sekolah maupun tempat yang kiranya ramai pengunjung.
Terlepas dari itu semua, tak menjadi masalah anak-anak diperkenalkan bacaan seperti itu. Namun, kiranya kita juga harus lebih giat dalam mengedarkan, menciptakan, maupun memeratakan akses bacaan bagi anak-anak maupun remaja.
Nabs, salah satu penulis Indonesia yang juga turut melahirkan karya yang diperuntukkan untuk anak-anak dan remaja seperti; Djokolelono, Okky Madasari, dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.
Karya Djokolelono berjudul Anak Rembulan, karya Okky Madasari berjudul Mata dan Manusia Laut, dan karya Ziggy berjudul Kita Pergi Hari Ini. Itu beberapa buku-buku anak karya penulis Indonesia.
Tentunya, saya berharap kepada penerbit agar lebih giat dalam mengedarkan dan menerjemahkan karya-karya kritis yang diperuntukkan oleh anak-anak. Supaya mereka dapat lebih peka, kritis, inovatif, dan tentunya rajin membaca buku.
Sudah diketahui bersama, penerbit-penerbit berkelindan mengedarkan terjemahan sastra Eropa, sastra Amerika, maupun sastra Timur Tengah. Namun, dalam sastra Asia agaknya berbeda terutama China.
China adalah salah satu negara di Asia Timur dengan budaya yang sudah dikenal maju oleh dunia. Di Indonesia, Tiongkok hanya dideskripsikan komunis, meskipun dalam praktiknya menggunakan sistem kapitalis.
Lu Xun, salah satu penulis Tiongkok tersohor dan banyak dikenal di Indonesia. Padahal ada salah satu penulis ternama yang menulis buku-buku anak dan menjadi pilar gerakan 4 Mei di Tiongkok bernama Yeh Shengtao.
Nabs, bukunya yang berjudul Orang-Orangan Sawah, sekumpulan cerita anak sangat menarik perhatian, dalam bukunya para pembaca diajak berimajinasi dengan menyuguhkan tokoh-tokoh hewan, tanaman, maupun benda-benda mati sepeti orang-orangan sawah, kereta uap, dan patung batu.
Buku ini tidak hanya dipersembahkan dan ditujukan bagi anak-anak semata. Ia juga cocok dibaca oleh berbagai kalangan, karena menyelipkan isu sosial, kritik pemerintah, maupun isu lingkungan hidup.
Novel ini terdiri dari 9 cerita pendek yang menurut saya, semua ceritanya bermakna dan menarik. Apalagi menampilkan berbagai tokoh-tokoh yang menarik dilihat anak-anak. Teruntuk peresensi kali ini, cukup mengulas satu cerita pendek di buku tersebut, dengan judul Bahasa Burung dan Binatang.
Bahasa Burung dan Binatang menceritakan seekor tupai dan burung gereja berdiskusi mengenai masalah manusia yang sering membuat kerusakan dengan melontarkan bahasa hewan mereka seperti anjing, burung, babi, dan lain sebagainya.
Menariknya, si tupai terlalu optimis untuk menanggapi isu tersebut karena ia tidak melihatnya sendiri. Ia menyanggah si burung gereja supaya mencari pengetahuan yang cukup dan dasar yang utuh dalam mencela perilaku manusia.
‘Saudara burung gereja’, kata si tupai, ‘Ucapanmu kukira agak terburu-buru. Mengomentari dan menghakimi sesuatu tanpa dasar yang kuat sama saja dengan memberikan penilaian serampangan”. (Hal. 109)
Burung gereja dan tupai akhirnya memutuskan untuk terjun langsung melihat kejadiannya. Ia melihat manusia yaitu para penguasa dan bala tentaranya menyerbu, menjarah, dan mengeksploitasi masyarakat bar-bar karena sering berdemonstrasi dan mengkritik penguasa.
Para penguasa dan tentaranya menyebut para pengkritik bak berperilaku binatang dan menyamakannya dengan gonggongan anjing, atau gerombolan gagak. Aku juga agak geli mengapa para manusia sering membawa nama binatang, seakan-akan binatang itu hina dan manusia itu unggul disetiap kondisi tertentu.
Rakyat kecil dianggap bar-bar tidak beradab karena tinggal di sawah-sawah, gunung-gunung, pinggiran kota, sedangkan penguasa berhak mengatur segalanya dan membasmi dengan senapan-senapan, bom-bom, dan meriam dianggap baik dan beradab.
Disini si tupai dan si burung memberi komentar, “Benda seperti senapan dan meriam jelas untuk tujuan membunuh manusia dan menghancurkan aneka macam benda. Bagaimana mereka menyebut mereka beradab? “Mungkin kata-kata ‘beradab’ dan bar-bar dalam kosakata si orator tidak memiliki makna yang sama seperti dalam bahasa kita.” (Hal. 114)
Nabs, akhirnya si burung gereja mengakui kesalahannya, karena terlalu tergesa-gesa mencari kesimpulan terhadap sesuatu. Ia menyimpulkan ada dua kategori manusia yaitu manusia dengan penuh pertimbangan dan manusia yang tidak menggunakan akal sehat.
Dalam akhir cerita pendek ini disuguhkan peristiwa pengeboman wilayah rakyat kecil yang juga berdampak dan imbasnya mengenai alam dan binatang di dalamnya. Sehingga si tupai dan burung gereja entah berakhir mati atau hidup.
Disini, kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya perilaku manusia tidak semuanya jelek seperti yang dituduhkan oleh si burung gereja. Karena ada beberapa manusia yang ikut andil merawat alam dan menjaganya dengan mengkritik penguasa yang sering mengebom, membedil, dan menghancurkan manusia.
Imbasnya pada alam, yang di dalamnya terdapat tumbuhan dan binatang yang terkena dampak pengeboman yang memberangus karena keserakahan manusia.
Disini juga menyampaikan pesan kita sebagai manusia dalam menyimpulkan dan berpendapat tentang suatu hal. Entah peristiwa atau obrolan yang perlu mencari pengetahuan yang cukup agar empati dan simpati ikut terpupuk.
Jangan terlalu tergesa-gesa dalam menyikapi sesuatu dengan mengacungkan isu tanpa adanya tedeng dan juga aling-aling dengan diimbangi mencari berita yang utuh.
Nabs, dalam cerita tersebut, kata beradab kiranya direduksi oleh segelintir penguasa untuk memberantas dan memberangus sehingga melahirkan daftar korban panjang alih-alih manusia semata, mahluk lainpun ikut terdampak oleh keserakahan manusia yang mengatas namakan ideologi maupun agama.
Secara keseluruhan, kumpulan cerita pendek dalam buku ini semuanya bagus dan bermakna karena cocok dibaca oleh semua kalangan meski dikreditkan bagi anak-anak. Kelebihan juga dalam membawa tokoh-tokoh yang melekat pada anak seperti binatang-binatang, alam, patung, orang-orangan sawah yang agaknya menarik perhatian anak-anak.
Lalu, penerjemahan apik dan cocok dibaca oleh pembaca dari berbagai usia. Mungkin kekurangan hanya terletak pada adegan-adegan yang kurang cocok oleh anak-anak seperti bunuh diri, telanjang, dan pengeboman.
Tetapi dalam buku tersebut, kiranya dikemas dengan apik sehingga menutupi adegan tersebut. Mungkin ada salah satu bahasa yang kurang cocok diperuntukan oleh anak-anak karena menggunakan bahasa kasar.
Kiranya kita perlu mengedarkan, menyebarluaskan, dan mendorong penerbit untuk menerjemahkan sastra yang ditujukan wa bil khusus kepada anak-anak. Supaya lebih mendorong dan melatih anak-anak berpikir kritis, imajinatif, dan berwawasan luas.