Tidak perlu cepat-cepat untuk segera menikah. Menikah itu pilihan dan kebutuhanmu. Bukan kebutuhan tetangga atau teman-temanmu.
Berbicara soal menikah tentu sebuah hal yang berat bagi mereka yang belum siap, sebaliknya akan menjadi sebuah semangat bila memang mereka telah siap menikah secara utuh dan penuh.
Seringkali banyak pihak beranggapan bahwa menikah adalah sebuah kewajiban dan final dari kehidupan ini. Kalau belum menikah belum keren, apalagi usia sudah dapat, ngapain lama-lama menjomblo?
Hal-hal semacam ini lumrah sekali kita dengar, bahkan di lingkungan tempat kita tinggal pun, hal itu menjadi sebuah pembahasan yang wajib saat bertemu atau ngobrol dengan mereka yang belum menikah di usia yang sudah cukup menurut pandangan mereka.
Berangkat dari cuitan pihak di luar diri kita, kita kadang tidak mampu mengendalikan diri, terlena, apalagi melihat teman menikah itu enak-enak dan enak. Ya, mungkin enak bagi pemula atau pasangan baru, tapi belum tahu kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi kedepan. Itu juga repot kalo tidak direfleksikan.
Padahal kalau kita tahu bahwa menikah itu bukanlah sebuah prestasi atau ajang perlombaan — siapa cepat, maka dia selamat, selamat dari pitakon sakral netijen maksudnya. Sama sekali bukan itu, ada hal-hal yang lebih penting yang harus dipersiapkan sebelum menuju ke jenjang pernikahan.
Pernikahan bukan sebuah keistimewaan telah berani membangun rumah tangga, tetapi soal bagaimana bertanggungjawab, merencanakan kesepakatan tentang perubahan sikap 4-5 tahun mendatang antara suami dan isteri, membangun strategi penyelesaian masalah, menentukan batasan-batasan dalam rumah tangga, membangun kerjasama atau relasi yang baik, mengenali kesehatan pasangan, mampu menerima kultur keluarga pasangan yang belum kamu tahu sebelumnya, bagaimana manajemen keuangan dan tugas rumah tangga yang baik, membangun kesepakatan untuk tetap mampu meraih cita-cita meski sudah menikah dan masih banyak lagi.
Semua itu tidak bisa diperoleh dengan cara yang instan atau tiba-tiba. Semua harus melalui proses pencarian, pencarian akan informasi, mencari pengalaman, memperluas wawasan, membangun banyak relasi, membaca lingkungan, dan menyiapkan materi. Semua butuh modal besar menuju sebuah pernikahan.
Rizky Billar ketika diwawancarai temannya mengapa tidak segera melamar sahabat dekatya, Dinda Hauw. Yang sekarang justru menikah dengan orang lain dalam akun youtube temannya, Rizky memberi jawaban:
“Mungkin kalau dilihat secara materi saya sudah siap untuk menikah, namun secara batiniah saya belum siap”.
Tentu saya sepakat dengan jawaban ini. Meski kadang finansial dianggap faktor utama orang bisa bernafas lega dalam bahtera rumah tangga, tapi sesugguhnya, itu belum memenuhi kriteria kesiapan menikah.
Siap secara finansial tidak cukup sebagai modal menikah, jika tidak diimbangi kesiapan batiniah dan beberapa aspek lain. Sebab, itu semua adalah komponen yang sangat berkaitan yang harus dikuasi dan diketahui sebelum memutuskan untuk menikah.
Tidak melulu orang yang menikah di usia 27 tahun lebih buruk dari mereka yang berhasil menikah di usia 23 tahun, misal. Usia bukan menjadi masalah atau aib, melainkan seberapa siapa kamu dalam memilih pilihan hidup yang disebut menikah itu. Tentu siap dengan berbagai aspek dan pertimbangan di atas. Yang tidak kalah penting juga adalah kesiapan secara biologis bagi perempuan.
Menikah di usia 27 tahun dengan segala persiapan secara utuh baik wawasan, materi, kesehatan reproduksi dan seperangkat aspek lainnya, berpotensi membangun rumah tangga yang berkualitas dan berpeluang besar melahirkan generasi-generasi emas.
Ngapain menikah cepat supaya dibilang keren, kalo secara utuh belum siap dan toh ujung-ujungnya melahirkan generasi yang tidak berkualitas, hanya membantu menambahi PR pemerintah saja. Wqwq
Tidak perlu cepat-cepat untuk segera menikah. Yang penting kamu siap dan saat itu juga sadar bahwa menikah itu pilihan dan kebutuhanmu, bukan kebutuhan tetangga atau teman-temanmu, maka menikahlah.
Kalau belum yakin untuk menikah, ya jangan dulu, kumpulkan modal apa yang sekiranya membikin ketidakyakinan untuk menikah. Dari segi finansialkah? atau secara pengatahuan penuh atas tubuhmu itu kamu masih minim paham? itu juga penting dipahami.
Menikah di saat kamu siap dan sadar penuh atas dirimu dan pilihanmu, agar mampu menciptakan keluarga yang maslahah. Selain maslahah, juga memastikan bahwa pilihanmu untuk menikah itu tidak menjadikan beban kedepan bagi pihak lain. Terutama orang tuamu, sebab sebelumnya kamu belum mempersiapkan secara penuh.
Akan menjadi sebuah ketenangan jiwa atau kesejahteraan saat memilih menikah. Sebab telah sepenuhnya siap. Menikah bukan wajib tapi pilihan. Alangkah indahnya jika diri ini mampu melakukannya dengan kesiapan maksimal. Lebih-lebih saya sendiri ya, Nabs. Haha