Dua puluh lima tahun perjuangan yang dilalui dengan dimata-matai, dibui, dan diasingkan telah memberikan hasil sesuai yang ia citakan: kemerdekaan.
Tujuh belas Agustus 1945 adalah pertanda hadirnya negara baru yang merdeka dengan kewenangan untuk menentukan nasibnya sendiri (self-help).
Tak kalah pentingnya: kemerdekan Indonesia adalah penggugur sumpah setia untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka, sebagaimana pernah ia ucapkan.
Rumah di Jalan Burgemeester Coopsweg 11, kini Jl. Pajajaran Bandung, merupakan rumah Abdoel Rachim. Abdoel Rachim tinggal bersama Siti Satiah Ani Rachim (istri) dan dua anak perempuannya: Rahmi Rachim dan Raharty Rachim.
Abdoel Rachim berkawan dengan Soekarno, karenanya rumahnya sering dijadikan tempat pertemuan dan rapat para pemimpin dan anggota PNI untuk membahas kondisi perpolitikan yang sedang berkembang.
Sekitar tahun 1945, Soekarno mengunjungi rumah Abdoel Rachim di Bandung. Setelah membicarakan banyak hal, Soekarno bertanya kepada Ani Rachim, “Siapa gadis tercantik di Bandung?” Dijawablah beberapa nama gadis tercantik di kota Bandung.
Ani Rachim dengan penasaran bertanya, “Ada apa kok tanya-tanya tentang gadis-gadis cantik?”. “Ah, tidak apa-apa. Tanya-tanya kan tidak salah?” jawab Soekarno.
Pertanyaan tersebut baru terjawab sekitar bulan September setelah kemerdekaan Indonesia. Selepas Maghrib, Soekarno datang dengan ditemani dr. Soeharto.
“Saya datang untuk melamar,” ucap Soekarno. Dengan terkejut, Ani Rachim membalas, “Melamar siapa?”. “Melamar Rahmi untuk teman saya, Hatta,” tegas Soekarno.
“Mas Karno, mengenai lamaran itu, saya harus menanyakan kepada anak saya dahulu. Ia sudah berusia 19 tahun, sehingga ia saya anggap sudah dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya,” terang Ani Rachim.
Meski sempat ragu, karena merasa Hatta orang yang pandai lulusan Sekolah Tinggi Belanda sekaligus pemimpin negara Indonesia sedangkan dirinya hanyalah lulusan Europese Lagere School (ELS), Rahmi menerima lamaran Hatta.
Sejatinya, Hatta bertemu pertama kali dengan Rahmi pada pertengahan tahun 1943 dalam acara penyambutan kembalinya Soekarno setelah diasingkan ke Bengkulu di kediaman Mr. Sartono di Jatinegara, Jakarta.
Usia Hatta dan Rahmi terpaut 24 tahun: Hatta 43 tahun sementara Rahmi 19 tahun. Meutia Farida, anak pertama Hatta, sempat menduga alasan mengapa Soekarno menjodohkan Hatta dengan Rahmi yang usianya terpaut jauh:
“Saya menduga ini karena istri Bung Karno adalah Ibu Fatmawati yang muda dan cantik, waktu itu berusia 23 tahun. Karena itu ayah dicarikan oleh Bung Karno gadis yang muda dan cantik pula.”
Hal ini menjadi salah satu contoh meski, Soekarno dan Hatta memiliki perbedaan yang tajam perihal pemikiran dan metode perjuangan, sebagai pribadi keduanya memiliki hubungan batin yang hangat.
Oktober 1945, Hatta secara resmi melamar Rahmi dengan disertai anggota keluarganya. 18 November dipilih sebagai tanggal pernikahan keduanya. Meski mendapat ketidaksetujuan dari Siti Saleha (ibunda Hatta), Hatta memberikan sebuah buku karyanya yang ditulis dalam masa pengasingan di Boven Digul dan Banda Neira berjudul Alam Pikiran Yunani sebagai mas kawin.
Rahmi menyetujui. Menjadikan buku sebagai mas kawin bukanlah sesuatu yang umum pada waktu itu. Buku menjadi pengikat pikiran dan hati kedua pasangan tersebut.
Pemilihan tanggal 18 November, konon-katanya, untuk memperingati Janji November (November Beloofte) yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Graff van Limburg Stirum tahun 1918.
Sebuah janji untuk memberikan kepada rakyat Bumiputera hak untuk mempimpin dirinya sendiri. Seperti diketahui, janji tersebut tidak pernah ditepati. Pemilihan tanggal tersebut, boleh jadi sebuah sindiran Hatta kepada pemerintah kolonial yang tidak pernah menepati janji.
Sementara Hatta, sebagai rakyat dari negara merdeka berjanji setia menikahi seorang gadis, bertanggungjawab, dan setia untuk menjalani kehidupan perkawinan selama-lamanya.
Saat Soekarno akan menceraikan Inggit Ganarsih untuk menikahi Fatmawati, Soekarno menemui Hatta. Hatta berkebaratan, namun kemudian Hatta menyetujui perceraian tersebut, asalkan Soekarno memenuhi persyaratan yang dibuat di depan Hatta, K.H. Mas Mansur, Ki Hajar Dewantara (anggota Empat Serangkai).
Begitu juga saat Soekarno akan menikahi Hartini. Pengabaian Soekarno kepada Fatmawati tidak dapat diterima oleh Hatta, sehingga menambah buruk hubungan keduanya sebagai Dwitunggal (selain persoalan politik kenegaraan).
”Kalau di rumah tangga demikian, bagaimana pula dengan masalah negara, tanya Hatta kepada dirinya sendiri,” demikian tulis Deliar Noer.