Bagi penikmat shalawat kontemporer, darbuka adalah satu instrumen musik yang tak terpisah dalam tiap penampilan musik hadrah. Berikut metode di balik permainannya.
Diakui atau tidak, alat rebana yang bernama darbuka, bisa dikatakan tergolong alat remeh. Namun sulit untuk dimainkan. Hampir jarang sekali yang mau belajar secara istiqomah dengan darbuka, saking remehnya.
Meski terlihat remeh, kehadirannya amat penting. Terutama sebagai penanda kapan vokal menaikkan atau menurunkan ritme suara. Peran darbuka bisa jadi drum, rhythm atau melodi dalam instrumen musik umum.
Darbuka yang berasal dari negara Mesir ini menjadi populer di Indonesia semenjak sholawat kontemporer terkenal di Indonesia. Awalnya, darbuka digunakan sebagai gamelan untuk penari perut, kurang lebihnya begitu.
Nah, beberapa hari lalu, saya membaca tulisan keren Mas Yogi Abdul Ghofur yang banyak menyinggung tentang darbuka dan saya. Karena nama saya sudah digeret, tak etis rasanya kalau saya tak membalas tulisannya. Wqwq
Mungkin saja penasaran dengan alat musik aneh satu itu, saya akan sedikit bercerita tentang keunikan dan keanehan bermain darbuka. Bolehkan, saya bercerita tentang susah senang selama belajar darbuka. Bolehlah… Hhe
Saat ini, darbuka jadi alat paling wajib dibawa saat ada konser hadrah atau pertunjukan shalawat. Keberadaannya serupa gitar atau drum dalam penampilan band.
Darbuka, berasal dari kata daraba atau doroba. Yang artinya mukul. Dipukul. Sehingga jelas, cara mainnya dipukul. Tidak dipetik atau digenjreng. Hanya, mukulnya pakai jari. Telunjuk, jempol, jari tengah dan jari manis. Bukan telapak tangan.
Metode pembelajaran darbuka sebenarnya sangatlah ringan sekali. Hanya butuh konsentrasi penuh agar jari tangan lemas. Ketika jari tangan sudah lemas, otomatis frekuensi ritmis suara darbuka akan renyah.
Memainkan darbuka bukan sekadar harus selalu diniati belajar. Sebab ia harus istiqomah dalam mengolah tekanan suara yang keluar dari jari tangan. Dan itu kerap jadi problem bagi para pemula yang sedang belajar darbuka.
Memukulkan jari tangan butuh kesabaran. Meski suara yang muncul tak banyak. Hanya tak, dung, tek, ter. Tapi jika tangan sudah lanyah, tiap tekanan bisa menimbulkan suara yang sangat enak didengar, coba saja kalau tak percaya.
Di sela-sela kesibukan saya, pada saat masih di bangku MA. Saya istiqomah belajar darbuka. Awalnya pasti sulit namanya saja masih belajar. Tidak cukup dengan waktu satu bulan sampai dua bulan untuk belajar darbuka, bahkan sampai setahun lebih saya belajar dan bisa mahir memukul darbuka.
Tapi, usaha pasti akan berbuah manis, walau terkadang pahit selalu saja menghampiri. Belajar tak ada yang instan, mie instan saja masih ada prosesnya. Apalagi mencintai kamu. Eh
Akibat sering mengikuti tanggapan konser, jari saya akhirnya bisa lanyah. Seperti punya mata. Kapan harus menekankan jari telunjuk, kapan harus menekankan semua jari hingga muncul suara tretektengtekteng, akhirnya bisa.
Tak ada kunci yang rumit. Hanya, setiap nada muncul dari tekanan jari yang berbeda. Harus praktek sih. Sulit dan gak bisa dijelaskan pakai teori resonansi nada. Harus ada bendanya. Tapi asal ada niat Istiqomah belajar, pasti jelas bisa.
Saat ini, banyak sekali master darbukers yang sering nongol di YouTube. Tapi meski menyandang gelar master, masih saja terus melatih kemampuannya.
Sebab jari yang lama tak digunakan bermain, bakal kehilangan ritme tekanan. Jadi, belajar darbuka sebenarnya gampang, cukup istiqomah dan bersungguh-sungguh.