Di sebuah warung kopi, para pemuda progresif sedang asik ngobrol tentang perjodohan. Tiba-tiba datanglah “mbak-mbak” yang menawarkan pemeriksaan medis dengan metode pengukuran berat badan.
Pemuda-pemuda tersebut didata, ditimbang berat badannya, kemudian “diramal” kondisi kesehatannya untuk beberapa masa yang akan datang.
Mungkin kamu sering mengalami hal seperti itu ya, Nabs. Lagi enak-enak ngopi sambil ngomongin negara, tiba-tiba didatangi orang tak dikenal untuk ditawari barang.
Kesehatan memang sudah lama menjadi komoditas dagang bagi para pebisnis. Namun, yang saya sayangkan adalah mereka menjadikan ketakutan-ketakutan akan memburuknya suatu kesehatan sebagai sebuah trik marketing mereka.
Sehingga, mereka bisa dengan mudah memanfaatkan ketakutan tersebut untuk menjual produk kesehatan yang belum tentu kita butuhkan.
Manusia mempunyai kesadaran yang bila terus diasah, bisa memberikan kontrol penuh terhadap hidupnya. Sebenarnya tidak hanya urusan kesehatan, namun juga berlaku untuk hal-hal lainnya juga.
Tentu saya tidak berbicara khayalan atau sesuatu yang bersifat sihir. Jika kita berfikir lebih rasional, kita dapat menganalisa hal ini dengan lebih masuk akal. Tapi sebelum kamu membaca paparan saya ini, saya minta kamu untuk lebih membuka hati dan pikiranmu.
Agama mengajarkan kita untuk selalu berlaku ikhlas dan tawakal. Artinya, kita harus selalu berserah dan menerima apapun keadaan yang sedang terjadi di hidup kita. Tak terkecuali ketika kita sedang sakit. Umumnya orang akan cederung mengeluh jika sedang diberi sakit.
Kalimat-kalimat “sambat” dan judgement yang berbau ketakutan di masa depan akan terus terlontar bahkan sebelum mereka berkonsultasi ke dokter. Padahal di agama kita diajarkan untuk tidak mengeluh dan terus berikhtiar. Jadi apa sebenarnya manfaat dari “sambat”?
Jika kita menelisik kembali ke zaman sebelum dicetuskannya bahasa. Istilah-istilah seperti sakit, pusing, pedih, mual, dan istilah sambatan lainnya, dicetuskan untuk memberikan informasi tentang rasa yang hakikatnya tidak mempunyai label tertentu.
Tujuannya untuk menyeragamkan suatu bentuk pemikiran terhadap rasa agar lebih mudah dikomunikasikan. Tapi apakah istilah-istilah tersebut bersifat mutlak? Toh kita masih bisa kembali ke hakikat rasa yang tidak berlabel bahasa.
Sehingga kita lebih bisa menerima rasa dengan penuh kesadaran. Bentuk penerimaan terhadap rasa akan lebih memudahkan kita untuk melakukan tindakan yang lebih progresif tanpa terbebani oleh ketakutan-ketakutan yang bersarang di pikiran kita.
Memang secara medis penyakit dapat dipetakan dengan gejala-gejala yang ada. Jika kita bertanya ke dokter, sudah pasti beliau-beliau akan menyikapi perihal kesehatan yang terjadi secara medis, yang memang bidang mereka.
Tapi manusia bukan hanya sekadar makhluk medis. Kita harus bisa menyikapi suatu peristiwa secara holistik. Misal secara spiritual, kita bisa melakukan meditasi untuk mendapatkan suatu perasaan yang lebih nyaman. Atau yang lebih mudahnya kita sebut saja dengan istilah: SEHAT.
Sebab kadang, kita merasakan sakit bahkan sebelum sakit itu menghampiri tubuh kita. Sebab, kita terlalu percaya bahwa rasa sakit yang diderita orang lain bakal direspon tubuh kita sama. Padahal, belum tentu.
Tubuh kita memiliki kemampuan unik. Seseorang yang terserang demam karena musim penghujan, bisa jadi hanya bakal direspon sebagai gatal-gatal pada tubuh kita.
Jadi, mari kita dekonstruksi istilah dan rasa sakit. Sesuatu yang menyakitkan bagi orang lain, belum tentu direspon sebagai rasa sakit oleh tubuh kita—– asal, kita bisa mengendalikan dan mendekonstruksinya dengan rasa ikhlas.