Mbah Malangnegoro cukup melegenda sebagai sosok pejuang di wilayah Bojonegoro. Namun, belum banyak yang tahu siapa figur beliau yang sesungguhnya. Terutama dalam konteks periodisasi dan zaman perjuangan.
Sejauh ini, banyak yang menganggap Mbah Malangnegoro sebagai Pasukan Diponegoro dalam perjuangan era Perang Jawa (1825-1830). Padahal, jauh sebelum Perang Jawa meletus, Mbah Malangnegoro sudah masyhur sebagai seorang tokoh dan pejuang.
Mbah Malangnegoro, sejauh ini, identik dengan dua tokoh Pasukan Diponegoro yang bernama Kiai Kasan Munadi (Sayyid Abubakar Alaydrus) dan Ki Tanggono Pura. Namun, secara ilmiah, ketiganya tokoh berbeda. Mbah Malangnegoro sudah ada di Ngasinan Padangan, jauh sebelum era Perang Jawa dimulai.
Raden Tumenggung Malangnegoro (Mbah Malangnegoro) bernama asli Kiai Tjarangsoko, sosok yang membuka wilayah Ngasinan Padangan. Mbah Malangnegoro berada di Ngasinan pada (1746-1752 M). Ini tercatat secara ilmiah dalam Ranji Pakem yang ditulis Raden Tjokro Hadiwikromo (1932 M).
Kiai Tjarangsoko (Mbah Malangnegoro) berada di Ngasinan jauh sebelum era Perang Diponegoro (1825 -1830). Kiai Tjarangsoko bagian dari pasukan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara (Raden Mas Said) yang memberontak VOC dan Mataram (rezim Pakubuwana II) pada 1746 M.
Dalam buku Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792 (M.C Ricklefs), disebutkan, Pangeran Mangkubumi memiliki 13 ribu pasukan dengan senjata lengkap. Perlawanan Mangkubumi terhadap Mataram meluas di seluruh wilayah Mataram hingga Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kiai Tjarangsoko (Mbah Malangnegoro) adalah satu diantara pasukan Mangkubumi tersebut.
Kiai Tjarangsoko wafat di Ngasinan pada 1752 M. Makam beliau berada di makbarah Ngasinan Padangan. Tepatnya di sisi selatan makbarah. Lokasi makamnya tak banyak diketahui, karena nisan sudah tak terdapat tanda yang jelas.
Sampai saat ini, banyak yang mengira Mbah Malangnegoro adalah Pasukan Diponegoro. Secara ilmiah, didukung bukti-bukti empiris, anggapan itu tentu salah. Sebab, Mbah Malangnegoro, sosok yang bernama asli Kiai Tjarangsoko, sudah berada di Ngasinan Padangan sebelum Perang Jawa dimulai (1825 M).
Era Perang Jawa
Pada Perang Jawa (1825-1830 M), Ngasinan Padangan juga jadi basis lokasi keberadaan Pasukan Diponegoro. Di antara tokoh pejuang dalam Perang Jawa yang berada di Ngasinan, adalah Kiai Kasan Munadi (Sayyid Abubakar Alaydrus) dan Kiai Tanggono Pura.
Daftar nama-nama pejuang yang berafiliasi dengan Pasukan Diponegoro, dapat dilihat di Archiveorg, (The Power of Prophecy Prince Dipanagara).
Kiai Kasan (Sayyid Abu Bakar Alaydrus) dan Ki Tanggono Pura datang ke Ngasinan pada (1825-1830 M). Beliau berdua adalah Pasukan Diponegoro yang datang ke Ngasinan setelah 78 tahun wafatnya Kiai Tjarangsoko (Mbah Malangnegoro).
Untuk membantu perlawanan Pangeran Diponegoro, Sayyid Abu Bakar dan Ki Tanggono Pura membangun divisi militer di Ngasinan, dengan nama Divisi Malangnegoro. Kemungkinan besar, ini bertujuan untuk tafaulan pada Mbah Malangnegoro, pejuang yang sudah berada di Ngasinan sebelumnya.
Di dalam Divisi Malangnegoro, Sayyid Abubakar bertindak sebagai penasihat dan Ki Tangggono Pura bertindak sebagai panglima perang. Kelak, sejarah juga mengenal beliau berdua sebagai Mbah Malangnegoro.
Makam Sayyid Abubakar beserta istri berada di makbaroh Ngasinan. Tepatnya berada di tengah makbaroh, tanpa cungkup. Sementara makam Ki Tanggono Pura berada di sisi timurnya, berada di bangunan cungkup yang besar.
Sejauh ini, nama Mbah Malangnegoro identik dengan Ki Tanggono Pura. Namun sesunggguhnya, Mbah Malangnegoro adalah Kiai Tjarangsoko, tokoh yang sudah ada di Ngasinan sebelum era Perang Diponegoro (1825-1830) dimulai.
Sementara Sayyid Abu Bakar Alaydrus dan Ki Tanggono Pura adalah pasukan perang dalam Divisi Malangnegoro, divisi yang namanya bertabaruk pada sosok yang lebih sepuh, yakni Kiai Tjarangsoko (Mbah Malangnegoro) di Ngasinan Padangan.