Jus tomat yang kau pesan sudah ludes. Tapi, kau tetap memainkan sedotannya. Berterimakasihlah pada sedotan yang menyelamatkanmu, di saat-saat menegangkan itu.
Kedai kopi masih lengang, sore itu. Terlihat masih banyak tempat duduk kosong. Meski cuaca agak terasa panas. Karena mantan masih menunjukkan eksistensinya. Eh sinar matahari, maksudnya.
Namun, beruntung angin berhembus cukup sejuk dari persawahan. Memberikan tenaga untuk melangkah menjauh dari parkiran.
Waktu itu, kau tampak kebingungan. Mengarahkan pandangan ke segala arah. Dan sedikit malu, ketika menemukan sesosok lelaki terduduk menghadap matahari yang mulai menyenja-nyenja tersebut.
Tepat pukul empat. Kau mencoba menghampiri lelaki itu. Berjalan melewati kursi, meja, dan batu kerikil yang sengaja kau injak. Seakan-akan benda mati itu tahu. Kau ragu untuk berjalan.
Hanya berjarak 100 meter. Kau sampai di hadapannya. Kau terus melangkah dan berkata dalam hati. “Hmmm aku deg-degan ki piye. Wes gakpopo ojo ngetokno nek lagi nervouse. Kudu iso, penting yakin. Budali wes,”
Ternyata lelaki itu, tidak tahu kehadiranmu. Dan lebih asyik memainkan layar kecil di tangannya. Padahal, kau sudah berada persis di sampingnya.
Meski ragu, kau mencoba memberanikan diri memanggil, “Mas,” katamu.
Lelaki itu, hanya terdiam melihat perempuan berkacamata berdiri memandangnya. Mungkin kaget atau terheran. Mengapa kau begitu berani menghampiri seorang lelaki?
Padahal, kau belum tahu apa itu kesetaraan. Kau hanya mahasiswi keperawatan di salah satu kampus di Bojonegoro. Namun, kau cukup berani berhadapan dengan laki-laki itu.
Setelah kau duduk di kursi. Lalaki itu, membuka percakapan. Dan bertanya, seputar kepenulisan.
“Ya, begitu mas. Awalnya tidak percaya bisa menulis,” Ucapmu sambil memutar sedotan di dalam gelas.
Kau mengatakan, pertama menulis merasa kebingungan. Mau menulis tentang apa. Dan belum mempunyai ide sama sekali. Meski, sudah mengetahui dasar-dasar cara menulis. Namun, untuk mengawali menulis sangat sulit.
“Menulis itu, seperti mengutarakan perasaan, Mas. Jika terasa sulit mengungkapkan. Ya, harus terus dipaksakan sampai mendapatkan,” terangmu.
Setelah lama berbincang. Terlihat jus tomat yang kau pesan pun nyaris habis. Namun, tetap saja kau memainkan sedotan itu.
Kau juga tampak ragu, menghabiskan jus tomat itu sampai dasar. Entah mengapa seperti ada yang aneh dengan pertemuan itu.
Sedari tadi, setengah jam lalu. Hingga kini. Kau dan dia tidak berani saling pandang. Mata kalian enggan saling bertemu. Kosong, meski duduk berhadapan.
Namun, hingga pertemuan berakhir. Kau hanya tersenyum. Meminta ditemani berjalan ke parkiran. Seolah kau menyimpan rasa teramat mendalam.
Iilatifa Fahira Putri merupakan mahasiswi STIkes ICsada Bojonegoro