Dalam film Upin dan Ipin ada karakter Jarjit Singh. Namun dalam kehidupan nyata ada manusia tiada dua yang bernama Prenjit Singh. Dua tiga belalang tua, berikut perbincangan saya dengannya.
Hembusan angin mengiringi langkah kaki kami. Kemeja biru dan celana kain hitam jadi setelan saya menuju sebuah warung yang berada di pinggir jalan. Prenjit Singh atau Abdul Halim Al-Hafidz atau bisa dipanggil Ali mengenakan kaca mata hitam merk torch. Jaket hitam membungkus kaos warna merah dan hitam yang dikenakan Prenjit Singh. Sarung hitam membungkus kaki Prenjit Singh dan menjadi saksi bisu menuju warung “Bumi Abah Oyod”.
Sinar mentari pagi menghangatkan badan kami. Alunan suara alam dari kicauan burung, memperindah hari. Lalu-lalang orang dan kendaraan menghiasi jalanan menuju warung yang akan kami tuju.
Setibanya di warung nuansa alam menyelimuti. Pepohonan yang menjulang ke cakrawala, rumput ilalang, dedaunan yang bergerak dibelai angin, orang-orang yang sedang menikmati makanan dan minuman, dan suara kicauan burung, dan juga suara orang yang menggoyangkan sapu lidi menyelimuti sabtu pagi. Saya mengarahkan pandangan ke gawai, tertulis 09.00, Sabtu, 3 Desember 2022.
Kursi dan meja masih tertata rapi. Belum ada langkah kaki yang meramaikan warung kopi. Hanya petugas warung yang ada. Dengan sigap menjawab beberapa pertanyaan yang keluar dari mulut saya. Kami tidak langsung mencari tempat duduk. Prenjit Singh ingin menunaikan salat sunah terlebih dahulu. Sebelum itu, saya menuju tempat pesanan makanan dan minuman, tempat yang saya tuju sekaligus berfungsi sebagai kasir.
Menu kopi abah, moccacino dingin, air mineral, kerupuk rambak, dan kentang goreng menjadi pilihan. Sembari membersamai Prenjit Singh menuju musala yang berdir di area warung Bumi Abah Oyod, saya melihat pemandangan alam di Bumi Abah Oyod yang berada di bilangan Jalan Raya Sukabumi, Cinagara, Bogor. Tanaman hias, monyet, dan dedaunan tua yang gugur menambah kesan natural warung tersebut.
Warung yang berada di Bogor sering dihiasi hujan. Pagi, siang, sore, tengah malam, dan dini hari, air dari langit sering membasahi daratan dan menambah volume air sungai-sungai yang berada di Bogor. Intensitas hujan di kota yang pada masa penjajahan Hindia Belanda bernama Buitenzorg dan terkenal dengan keanekaragaman hayati (botani) ini, jika dibanding dengan kabupaten maupun kota di sekitarnya seperti Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi, intensitas hujan di Bogor terbilang tinggi. Maka dari itu, Bogor masyhur disebut sebagai Kota Hujan.
Setelah beberapa menit melangkahkan kaki di Bumi Abah Oyod kami masih menunggu petugas warung mengantarkan hidangan. Mengarahkan pandangan ke berbagai penjuru. Selang beberapa menit, petugas warung meletakkan dengan perlahan secangkir kopi, moccacino dingin, kemudian disusul dengan kentang goreng dengan saos yang dipisah. Semerbak kepulan asap kopi menyeruak ke hidung. Kopi khas abah oyod menjadi pilihan saya, dan Prenjit Singh ditemani moccacino dingin.
Gemericik air yang bersumber dari patung anak dengan posisi kencing, mengiringi obrolan kami. Tanda penunjuk arah wisata Nusantara juga menjadi saksi bisu obrolan kami.
Lebih Dekat dengan Prenjit Singh
Dengan aksen Sumatera (Palembang), Ali mengutarakan nama lengkap, nama panggilan, dan karakteristiknya. Laki-laki yang memiliki golongan darah B tersebut mengungkapkan bahwa dirinya lumayan kurang teratur dan sedikit bebas.
Laki-laki yang lahir bulan Mei dan berzodiak taurus itu, berkata, “Saya bisa lumayan bandel kalau dari segi negatif, namun kalau dilihat dari sisi lain teguh pada pendirian,” ujar pria kelahiran Mei 1999 tersebut.
Tumbuh dan berkembang dalam dekapan suasana sebuah desa di ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Prabumulih, Lembak, menjadi tempat belajar dan bermain. Masa sekolah dasar (SD) pernah duduk di bangku SDN 1 Lembak kemudian pindah ke SDN 39 Palembang, pernah memiliki keinginan untuk duduk di bangku SMP 17 namun tidak terealisasikan. Prenjit Singh memilih belajar di MTs Al-Amalul Khoir. Pertemuan dengan salah seorang teman yang menjadi bintang sekolah cum hafidz qur’an menjadi salah satu di antara beberapa motivasi Prenjit Singh dalam upaya menghafal dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Fokus pada menghafal Al-Qur’an, menjadi jalan pilihan Prenjit Singh. Pernah juga mendapat tawaran untuk ngangsu kaweruh (belajar) di Pondok Pesantren Daarul Qur’an yang diasuh oleh Ustadz Yusuf Mansur (UYM), namun tawaran tersebut tidak diambil oleh Prenjit Singh. Selain itu, juga pernah mendapat tawaran belajar di Daarul Hufadz, gayung pun bersambut. Prenjit menjadi bagian dari Daarul Hufadz.
Masa putih abu-abu. Duduk di bangku kelas 1 SMA, merantau ke luar kota. Bukan di Jawa, melainkan masih di Sumatera wa bil khusus di Daarul Hufadz, Lampung. Dengan dalih kurang bisa fokus dalam menghafal qur’an, Prenjit Singh memilih jalan lain untuk mencari tempat belajar lagi.
Awalnya uborampe formalitas pendidikan seperti ijazah, tidak terlalu dipedulikan oleh laki-laki bermarga Singh tersebut. Ia hanya ingin fokus menghafal Al-Qur’an. Hal tersebut membuatnya merantau ke luar pulau, yakni Jawa. Ia hijrah, dari Kota Empek-Empek menuju Kota Santri plus kota kelahiran Presiden ke-4 RI ‘Gus Dur’.
Jombang menjadi tempat pengembaraan spiritual dan intelektual Prenjit Singh. Laki-laki yang memiliki darah India (Pakistan) dalam tubuhnya, memperoleh ijazah setara SMA di Jombang, Jawa Timur.
Beberapa keunikan dalam hidup silih berganti menghampirinya. Salah satu di antaranya, setelah Prenjit Singh memiliki ijazah setara SMA dan bersilaturahim di tempat yang pernah ia gunakan untuk belajar sebelumnya ‘Daarul Hufadz’ Lampung, pengasuh pondok pesantren tersebut memberi lampu hijau kepada Prenjit Singh untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuannya dengan menjadi ustadz yang mengajar santri-santri di Daarul Hufadz.
Bukan Prenjit namanya kalau cepat puas dengan sebuah pencapaian. Ia mensyukuri nikmat dengan melakukan upgrade diri. Prenjit Singh kemudian melanjutkan jalan pengembaraan spiritual dan intelektualnya. Ia lelana dan tetapa. Setelah mengabdi di Daarul Hufadz, ia memilih melanjutkan studi lagi. Ia melangkahkan kaki menuju Kota Hujan ‘Bogor’.
Menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan Islam (STIPI) Maghfirah. Di lembah yang penuh dengan maghfirah atau ampunan, Prenjit memilih menikmati siang dan malam di tanah maghfirah dan belajar ilmu agama dengan syaikh dari negara-negara timur tengah selama setengah tahun.
Pasca dari Maghfirah, Prenjit Singh melangkahkan kaki lagi ke tanah kelahirannya. Riak gelombang bahari antara Pulau Jawa dan Sumatera yang naik dan turun, bak hari-hari yang dilalui Prenjit Singh. Namun ia tetap mencoba untuk bersyukur dan bersabar atas segela sesuatu yang telah diberikan Allah SWT kepadanya.
Tercebur dalam Lautan Kosmetik
Laki-laki dengan tinggi badan 170 cm dengan gaya rambut sisir ke kiri itu memutuskan untuk mencari pengalaman di dunia kerja. Mengisi pundi-pundi rupiah di dalam dompet, melalui gudang kosmetik.
“Alhamdulillah, hanya ada tiga laki-laki, wqwq. Saya dari Pondok Pesantren yang jarang berinteraksi secara intens dengan perempuan, bekerja di kosmetik, ketemu perempuan, wqwq.” Senyum mengembang di wajahnya yang dihiasi oleh kumis dan jenggot. Ditambah dengan tawa kecil yang menambah hangat suasana.
Hari demi hari dalam lautan kosmetik berlalu. Enam bulan menggeluti dunia kerja, hingga rasa gundah gulana. Setelah Prenjit Singh merasa cukup dengan rutinitas kerja di kosmetik bagian pergudangan, laki-laki yang gemar memutar burdah via gawai itu, memutuskan untuk mengikuti program Tahfizh Leadership selama 10 bulan. Dengan nada gembira, dan penuh rasa syukur, ia mampu menyelesaikan hafalan qur’an 30 juz plus pengabdian kepada masyarakat dalam program Tahfizh Leadership.
Sesekali dalam obrolan di Bumi Abah Oyod tangan kanannya yang dihiasi cincin warna perak memegang sedotan hitam. Tangan kirinya yang dihiasi gelang hitam memegang gelas yang berisi moccacino dingin. Kemudian Prenjit Singh melanjutkan perbincangan, dari program Tahfizh Leadership, ia memperoleh ilmu, pengetahuan, dan pengalaman baru dalam bidang kewirausahaan, keagamaan, diplomasi, membangun dan mengembangkan networking atau jejaring, dan lain-lain.
Di tengah gempuran pandemi covid-19, pasca di Tahfizh Leadership, Prenjit Singh memilih untuk bisnis. Namun bisnis yang sedang dirintis oleh Prenjit tidak bertahan dalam tempo yang lama.
“Kemudian saya berjodoh di sebuah pesantren yang ada di Depok, Jawa Barat. Khususnya di Pondok Pesantren Motivator Qur’an Indonesia selama satu tahun.” Dari pesantren Motivator Qur’an Prenjit mulai lebih dalam mengenal dunia tasawuf.
Karena kiai di Pondok Pesantren Motivator Qur’an merupakan pengikut sebuah aliran tasawuf ‘thariqah’ yaitu Naqsabandiyah. Dari hal tersebut, Prenjit Singh merasa terpanggil untuk belajar tasawuf. Salah satu di antara beberapa hal yang membuat Prenjit tertarik dengan dunia tasawuf adalah pemikiran Syaikh Junaid Al-Baghdadi.
Berkelana dalam hal mencari dan mengamalkan ilmu membuat dia juga pernah bertemu dengan pimpinan organisasi sufi dunia dan ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) ‘Habib Luthfi bin Yahya’.
Selain memperoleh nama dari ulama’ kharismatik asal Pekalongan, Jawa Tengah, Prenjit Singh merasa lebih bermakna dalam menjalani hidup. Nama pemberian dari Habib Luthfi yaitu Abdul Halim Al-Hafidz. Nama yang bukan hanya sekadar nama, tersirat amanat di dalamnya. Peristiwa tersebut memberi makna tersendiri dalam kehidupan Prenjit Singh.
Prenjit dengan raut muka bahagia, tak akan pernah melupakan memorabilia bersama Habib Luthfi bin Yahya. Pengalaman yang amat sangat berkesan bagi Prenjit.
“Kurang lebih satu bulan saya mencoba untuk suluk, setelah dari situ, saya benar-benar merasa hidup. Merubah saya, yang awalnya kurang berakhlak dengan orang tua, ada rasa angkuh, dan lain-lain. Saya merasa lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Namun ana juga masih terus memperbaiki diri.”
Prenjit Singh mencoba untuk mengambil ibrah/pelajaran dari setiap langkah yang pernah ia ambil. Dimanapun ia berada, ada ibrah di baliknya. Baik ketika di Palembang, Jombang, Maghfirah, Depok, dan lain-lain.
Setelah dari Pekalongan, Prenjit Singh melanjutkan pengembaraan atau lelana ke Kota Udang ‘Cirebon’. Di kota yang terkenal dengan motif batik Megamendung itu, Prenjit Singh menapakkan kaki di Pondok Pesantren Al-Bahjah yang diasuh oleh alumnus Pondok Pesantren Dalwa Pasuruan ‘Buya Yahya’.
Setelah itu, laki-laki yang suka main Mobile Legend (ML) tersebut, menjelang penghujung tahun 2022, dia berlabuh dan ngangsu kaweruh di perguruan tinggi pesantren ‘Ma’had Aly’. Yaitu Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin dengan takhasus ilmu tasawuf.
Sesekali, laki-laki yang suka dengan warna merah dan hitam menata kcamata hitam yang ia kenakan. Dan menikmati sinar mentari bersama moccacino, bala-bala atau gorengan, kentang goreng, dan roti bakar isi cokelat yang bagian atasnya dihiasi parutan keju.
Ihwal Geliat Keagamaan
Tentang penanaman ideologi. Sejak kecil, Prenjit benar-benar buta. Bukan buta karena tidak bisa melihat dinamika sosial dan budaya, melainkan buta wa bil khusus terhadap ideologi organisasi keagamaan.
Dari kecil sampai baligh, kosong dari penanaman ideologi. Pada masa putih biru ‘SMP’, hampir memasuki berbagai jenis organisasi keagamaan.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ikut, Muhammadiyah pernah ikut, Jama’ah Tabligh, Nahdlatul Ulama (NU) juga pernah ikut, dan juga Wahabi pernah Prenjit ikuti. Bebeberapa organisasi keagamaan pernah diikutinya.
Selain Prenjit Singh semangat dalam geliat organisasi maupun komunitas keagamaan, dia juga suka dengan geliat keilmuan. Salah satu di antara beberapa tools yang digunakan untuk memperdalam ilmu agama Islam adalah bahasa Arab.
Untuk memperkaya kasanah bahasa Arab, Prenjit pernah belajar di Pare, Kediri. Belajar metode amsilati untuk mempermudah membaca kitab-kitab gundul dan menyelami kasanah intelektual muslim. Di Kediri, ada pengalaman yang menurutnya berkesan. Ketika itu ada seorang kawan Prenjit Singh bertanya kepadanya, “Kamu apa? NU, Muhammadiyah, atau?”
Dari mulut Prenjit Singh, keluar jawaban, “Saya adalah semuanya”. Prenjit Singh berusaha untuk tidak melakukan klaim salah satu dari berbagai komunitas maupun organisasi Islam. Saat bertemu dengan kawan-kawan Muhammadiyah, dia bisa jadi orang Muhammadiyah. Ketika bersama kawan-kawan NU, Prenjit Singh bisa menjadi NU.
Ketika bersama orang-orang Wahabi, bisa jadi Wahabi. Dan ketika berkumpul dengan Jama’ah Tabligh, jadi Jama’ah Tabligh.
Namun dalam waktu ini, ketika ada orang tanya kepada Prenjit Singh ihwal identitas, Prenjit akan menjawab dengan tegas, “sufi”.
Bukan rahasia lagi, di Indonesia banyak sekali organisasi wa bil khusus organisasi keagamaan. Ada NU, Muhammadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Ahmadiyah, PERSIS, Sarekat Islam (SI), dan lain-lain.
Dalam kacamata Prenjit Singh, ia lebih dekat dengan Jama’ah Tabligh. Kedekatan yang dilandasi rasa cinta. Selain kitab Fadilah Amal, keteguhan dan kecintaan kawan-kawan Jama’ah Tabligh terhadap Nabi Muhammad SAW, menurut Prenjit, benar-benar menyentuh.
Kegiatan dakwah keliling atau safari dakwah yang sering dilakukan kawan-kawan Jama’ah Tabligh, kerap kali disalah artikan oleh masyarakat. Mereka bukan keliling untuk lari dari tanggung jawab rumah tangga. Melainkan sembari keliling, juga tetap eling terhadap tanggung jawab sosial wa bil khusus rumah tangga.
Jama’ah Tabligh dari India, “Pimpinannya pernah bermimpi ketemu Rasulullah,” ucap Prenjit Singh. Sebaran Jama’ah Tabligh yang paling banyak, ada di India, Pakistan, dan Bangladesh.
Dinamika Jama’ah Tabligh juga tidak bisa lepas dari dinamika ideologi. Peperangan ideologi zaman sekarang, berbeda dengan zaman dahulu. Di Jama’ah Tabligh, ada yang namanya “amir”. Amir semacam pimpinan rombongan dakwah. Pemilihan amir tidak sembarangan. Perlu beberapa proses yang ketat untuk terpilih menjadi seorang amir.
Metode dakwah kawan-kawan Jama’ah Tabligh, ada yang membangun masjid, membuat acara keagamaan bersama warga desa, dan lain sebagainya. Mereka berusaha menghidupkan sunah-sunah Nabi.
Dalam giat dakwah, malahan biasanya orang-orang yang tersentuh itu seperti preman, orang-orang yang suka mabuk, judi, dan lain-lain. Prenjit mengutarakan beberapa pandangan masyarakat tentang Jama’ah Tabligh, “Apa itu Jama’ah Tabligh? Belum bisa salat kok sudah ngajak dakwah? Itu pandangan yang kurang benar.”
Sebab giat dakwah yang dilakukan oleh kawan-kawan Jama’ah Tabligh merupakan bagian dari metode pendidikan dakwah khususnya perintah untuk tabligh atau menyampaikan pesan kebaikan.
Semua orang dari berbagai jenis kalangan bisa bergabung. Kalau dalam kalimat lain bisa disebut, “metode sekali dayung, dua pulau terlampaui, wqwq.”
Sesekali alunan musik yang diputar di Bumi Abah Oyod bercampur dengan suara klakson, deru mesin kendaraan bermotor, dan suara burung-burung yang berkicau mengiringi obrolan kami.
Tidak ada paksaan dalam Jama’ah Tabligh. Intinya, singkat pengetahuan Prenjit Singh, tentang Jama’ah Tabligh yaitu jama’ah yang berani tabligh atau menyampaikan. Mereka langsung terjun ke masyarakat, berani mengajak orang-orang yang berada di kalangan akar rumput yang jarang bahkan tidak pernah menyaksikan orang dakwah di podium, untuk bersama-sama berbuat kebaikan.
Kawan-kawan Jama’ah Tabligh juga sering menggunakan masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan. Mulai dari pengajian, kegiatan ekonomi, sosial, dan lain-lain. Saat asyik berbincang dengan Prenjit, keluar kalimat tanya dari mulut saya ihwal pimpinan Jama’ah Tabligh. Seketika kerutan menghiasi dahi Prenjit Singh, agak lama termenung, kemudian keluar kalimat, “ane lupa, wqwq.”
Prenjit Singh merupakan tipikal orang-orang kultural. Dia lebih suka dan sering bergeliat secara kultur, dari pada struktur. Kepiawaian dalam membaca kebudayaan, mampu menutupi ihwal struktur wa bil khusus Jama’ah Tabligh. Ihwal militansi dakwah, Prenjit Singh beserta kawan-kawan Jama’ah Tabligh tidak usah diragukan lagi.
Laki-laki yang ketika dibangunkan dan akan bangun tidur selalu menggoyang-goyangkan telapak kaki 90 derajat tersebut, memberi deskripsi ihwal militansi Jama’ah Tabligh. “Misal, ada kegiatan Jama’ah Tabligh di Bogor, ada Jama’ah Tabligh dari kota lain misalnya Cirebon. Kalau yang punya motor mereka biasanya motoran melipat jarak dari jalanan Cirebon menuju Kota Hujan ‘Bogor’. Nah…., yang belum mempunyai kendaraan motor, memilih jalan kaki. Hal tersebut dilakukan untuk meresapi perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW,” ujar Prenjit Singh.
Selain itu, laki-laki yang suka dengan game Mobil Legend (ML) tersebut, juga memberikan pernyataan ihwal salah satu di antara beberapa Pondok Pesantren di Jawa Timur yang memiliki kedekatan dengan Jama’ah Tabligh yaitu Pondok Pesantren Al-Fatah, Temboro.
Ada pengalaman unik yang membekas dalam benak dan pikiran Prenjit Singh ketika menginjakkan kaki di Pondok Pesantren Al-Fatah, Temboro, yang berdiri di tanah Magetan. Khususnya ketika hari Jum’at tiba. Orang-orang yang berjualan di sekitar Pondok Pesantren Al-Fatah tutup, vibes Mecca van Java.
Nuansa Makkah bisa ditemukan di tanah Jawa wa bil khusus di daerah Temboro ketika hari suci bagi umat Islam tiba. Apalagi kalau menjelang salat Jum’at.
Selain itu, yang perlu di garis bawahi ihwal Jama’ah Tabligh, bahwa Jama’ah Tabligh.di Indonesia bukan organisasi yang kaku, melainkan lebih ke komunitas. Jadi, orang-orang dari kalangan NU, Muhammadiyah, PERSIS, LDII, maupun berbagai jenis ideologi bisa melebur jadi satu di bawah naungan Jama’ah Tabligh.
Dari Buta Pancasila Hingga Gandrung Akan Sila Ketiga
Alasan Prenjit Singh ke Jama’ah Tabligh karena , “Rasa Islamnya lebih manis. Ketika berkumpul dengan orang-orang NU, Muhammadiyah, maupun orang-orang lain di Jama’ah Tabligh, rasanya lebih beda, lebih manis gitu.”
Beberapa karakteristik Jama’ah Tabligh antara lain, biasanya pakai gamis. Kalau orang-orang Jama’ah Tabligh yang semangat ke-jama’ahan tabligh-nya telah menyatu dengan sukma dan raga, berani mengenakan gamis dimanapun mereka berada.
Selain itu, biasanya ada yang meletakkan siwak di kantong. Memelihara jenggot dan mencukur kumis. “Kalau kawan-kawan saat di jalanan melihat orang-orang yang bergamis, bawa bekal, nah itu biasanya orang-orang Jama’ah Tabligh.” Ungkap Prenjit Singh.
Beberapa kawan-kawan Jama’ah Tabligh juga bertariqah. “Kalau kiai di Pesantren Temboro yang pernah saya kunjungi dan ngaji, itu juga NU juga.” Kalau untuk kalangan awam, bahas Fadilah Amal. Agar kawan-kawan Jama’ah Tabligh gemar melakukan kebaikan wa bil khusus dalam hal habluminallah (ibadah). Agar mereka gemar ibadah terlebih dahulu.
Waktu terus berlalu, Prenjit Singh mengutarakan kerinduan ngariyung (Sunda) bersama kawan-kawan Jama’ah Tabligh. “Udah lama jarang nimbrung ke Jama’ah Tabligh, hingga lupa tentang sejarah gerakan Jama’ah Tabligh, wqwqwq”, kata Prenjit Singh.
Banyak nilai-nilai yang Prenjit Sing peroleh dari Jama’ah Tabligh. Namun tetap ada kelebihan dan kekurangannya. “Setelah itu, saya ke NU, kemudian ke Alawiyin. Sekarang memasuki Alawiyin. Ada ulama seperti Habib Umar bin Hafidz. Perlu saya tegaskan lagi dan di garis bawahi, kalau Jama’ah Tabligh semacam komunitas, bukan organisasi. Jama’ah Tabligh itu metode dakwah. Entah mengapa Jama’ah Tabligh disalahin. Saya juga belum tahu. Mengapa mereka disalahin? Ya…., begitulah memang Jama’ah Tabligh. Memang menarik Jama’ah Tabligh.”
Asyik dalam perbincangan bersama Prenjit Singh, tiba-tiba air mata saya keluar dengan sendirinya. Perlahan warna merah melahap warna putih pada mata saya dan warna merah melakukan dominasi. Bukan karena peristiwa melankolis. Melainkan karena tangan saya terkena bumbu kentang goreng kemudian jari tangan reflek mengusap bagian tubuh di sekitar mata. Saat rasa perih pada mata menyapa, air mata keluar dengan sendirinya.
Kemudian saya izin ke toilet terlebih dahulu kepada Prenjit Singh. Setelah rasa perih di mata reda, saya kembali lagi ke bangku kayu persegi panjang yang dilingdungi oleh pohon besar yang terdapat aksara putih tertulis “Bumi Abah Oyod” dan tumbuhan paku menghiasi tempat perbincangan kami. Dialektika terjadi lagi. Bumi Abah Oyod semakin bertambah jumlah pengunjungnya.
Beberapa anak kecil pakaian pramuka, melintas di warung Bumi Abah Oyod. Jalan setapak yang dihiasi lumut, tangga dari semen dan ada juga yang dari tanah tempat menuju tempat yang lebih tinggi, dataran yang lebih tinggi di Bumi Abah Oyod. Bisa menikmati panorama alam dan buatan Cinagara dari Bumi Abah Oyod. Suara gesekan cangkir kopi, anyunan sapu lidi yang digerakkan petugas kebersihan, monyet yang menduduki ranting pohon, dan hangatnya mentari menambah hangat suasana ngopi. Perbincangan diteruskan lagi.
Saya memulai kembali perbincangan dengan sebuah pertanyaan, “Terus. Misal kalau kamu jadi pemimpin, apakah ingin mendirikan Negara Islam? Atau bagaimana Prenjit Singh? Wqwqwq”.
“Emmm. Kan pernah ada tuh, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya pernah mengamini beberapa pemikiran mereka. Rata-rata orang yang berafiliasi dengan HTI adalah orang-orang yang kecewa dengan pemerintah, wqwq. Kalau saya ditanya tentang Negara Islam? Hmmm. Saya belum tahu juga, ya. Namun, saya yakin, bahwa saya berusaha secara lebih atau tidak, Negara Islam atau konsep khilafah akan terwujud. Kalau kawan-kawan Hizbut Tahrir, mereka berencana mendirikan khilafah dulu, sebelum datang pemimpin yang sesungguhnya yaitu Imam Mahdi. Ada unsur politis (partai) juga di dalamnya. Secara, orang-orang Hizbut Tahrir jahat, memiliki nafsu untuk berkuasa. HTI itu hanya ekspresi marah, dari rakyat ke rakyat yang tidak sabar dengan ujian kehidupan atau zaman yang sudah ditakdirkan dengan berjuta kezaliman di dunia. Saya tutup, saya juga sebenarnya tidak ingin menyalahkan orang-orang HTI.”
“Selaku Mahasantri, bagaimana pandangan Prenjit Singh tentang Omnibus Law, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) baru, dunia secara global, dan lain-lain?”
“Saya menganggapnya dengan santai, ngopi, dan makan roti, wqwqwq. Karena, apapun yang saya lakukan tidak bisa mengalahkan jatah atau ketentuan dari Tuhan. Diam salah, bergerak melawan juga salah. Berbuatlah semaksimal mungkin untuk mengurangi kezaliman. Contoh, ketika harga BBM naik, gak usah demo-demo. Karena nantinya juga ada kezaliman-kezaliman lain. Karena ketika marah dan mengeluarkan aspirasi, kalau menurut saya, tidak ngefek. Bahkan, jika pemimpinnya mati, akan digantikan dengan pemimpin yang lebih parah. Tetapi jangan lupa untuk berdo’a. Do’a, do’a, dan do’a. Namun jangan lupa juga untuk ikhtiyar atau berusaha. Karena jika do’a terus saja, maka yang terjadi hanya sebatas utopia belaka, ahahaha.”
Prenjit Singh mengutarakan kalau di sisi do’a, ada yang namanya ikhtiar atau usaha. Misal ketika kita sakit, terima terlebih dahulu rasa sakitnya. Setelah itu, baru ada upaya penyembuhan. Alhamdulillah, setelah Prenjit Singh menerapkan metode tersebut, bisa sembuh.
Lebih lanjut Prenjit Singh member tamsil, “Kalau tamsil atau perumpamaan dari kiai saya, ada perumpamaan minyak dan air. Ketika minyak dan air dicampur kemudian dikocok, perlu menunggu waktu dan fokus agar air dan minyak bisa berpisah. Mana yang air dan mana yang minyak?”
Terkadang, Prenjit Singh menghindari obrolan politik ketika sudah panas. Tetapi dia bukan 100% anti politik. Meskipun Prenjit Singh pernah berkecimpung di HTI dan tidak menyalahkan sepenuhnya HTI, Prenjit Singh tidak pernah golput.
Misalnya, ketika ada pemilihan umum (pemilu), Prenjit Singh biasa berpartisipasi. Misal dapat kesempatan untuk nyoblos, ya nyoblos. Dapat amanah jadi pengawas pemilu, siap mengawasi pemilu dengan baik.
Prenjit Singh juga berpesan, jika jadi polisi, ya lakukan tugas dengan baik dan amanah. Laki-laki yang suka dengan anime dan memiliki cita-cita untuk berkunjung ke Negeri Matahari Terbit ‘Jepang’ tersebut, mengibaratkan misalnya ketika pergi ke warung makan, ya pesan saja. Jangan ikut masak ke dapur dan curiga kalau nanti dikasih racun maupun hal-hal lain. Kecuali, kalau disuruh bantu-bantu ke dapur, baru bisa berpartisipasi. Yang paling penting adalah husnudzon apalagi di sistem demokrasi. Dan berjuanglah semampu kawan-kawan. Hendaknya perjuangan dilakukan sesuai dengan kadar kemampuan kawan-kawan masing-masing.
Itulah gambaran singkat dari Prenjit Singh tentang dinamika ekonomi politik nasional dan internasional. Kemudian saya bertanya lagi ke Prenjit, “Nah…ngomong-ngomong demokrasi, nih. Apakah Prenjit Singh mengamini sistem demokrasi? Atau bagaimana? Wqwq.”
“Saya lebih mengamini demokrasi. Karena saatnya mencoba hal baru, bukan berarti membenarkan, ya.., wqwqwq.” Ujar Prenjit Singh.
“Terkait Pancasila?”
“Apaan Pancasila, saya buta Pancasila, wqwq. Saya buta Pancasila, wqwq. Saya melihat kejelekan terjadi karena Pancasila. Sebelum menempuh studi di Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin Bogor, saya tidak terlalu mengamini Pancasila sebagai dasar negara. Nah, ketika di Bogor khususnya di bumi Raudhatul Muhibbin, bertemu dengan sosok dari Bojonegoro, baru mengamini Pancasila, wqwq. Karena dalam penentuan Pancasila sebagai landasan ideal bangsa Indonesia, terkandung peranan ulama’ di dalamnya. Selain itu, juga ada peranan kiai, habaib, dan berbagai kalangan lain juga. Dan sekarang, saya NKRI Harga Mati juga, wqwq.”
“Prenjit Singh, apakah ada kalimat penutup sebagai closing statement?”
“Wahai orang-orang yang berjuang. Orang-orang yang gak mau diem. Yang gak bisa diem, yang ada api di dalam jiwa dadanya. Berjuanglah tetapi jangan lupa sama nilai-nilai kemanusiaan. Sesalah-salah apapun orang yang salah, dia tetap manusia. Jangan hilangkan nilai kemanusiaannya. Jangan sampai perjuangan dan semangatmu menghilangkan jiwa manusiamu. Tetaplah jadi manusia yang memanusiakan manusianya dirimu dan memanusiakan manusianya manusia. Dan jangan lupa terhadap Tuhanmu. Karena engkau berjuang itu atas nama Tuhanmu. Atas nama kebenaran yang diajarkan Tuhanmu dan kebenaran yang dijaga Tuhanmu di dalam dadamu. Wiihh…, keren banget, kesurupan apa ane, hihihi.”
“Takbir gak? Wqwq.”
“Allahu akbar. Solallahu ala saidina Muhammad.”
“Sollu alaih.”
Tak terasa satu jam berlalu. Akhir perbincangan, tangan saya bersalaman dengan tangan Prenjit Singh. Bumi Abah Oyod menjadi saksi dialektika. Tanaman hias, sisa makanan dan minuman, petugas kebersihan, monyet, dan orang-orang yang berkunjung di Bumi Abah Oyod jadi saksi dialektika yang dimulai dari pagi hingga menjelang azan zuhur menggema di cakrawala Kota Hujan dan sekitarnya.