Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara hingga Haji Agus Salim adalah tokoh pergerakan yang menjadikan pendidikan alternatif sebagai upaya khusus dalam perjuangan mereka. Begitupun yang kami lakukan di Sekolah Alternatif Guratjaga.
Suatu hari, saya disidang akibat melakukan tindak indicipliner yang cukup berat di sekolah. Sebagai pengurus OSIS, saya jadi salah satu siswa yang mengorganisir siswa untuk tidak masuk sekolah pada hari yang sama, karena hari itu banyak jam pelajaran kosong akibat mayoritas tenaga pengajar sedang ada acara kondangan.
Walhasil, hari itu, semua siswa di sekolah kami tak ada yang masuk satu pun. Kecuali guru piket yang memang tak ikut acara kondangan. Semua siswa bisa kompak seperti itu, tentu bukan tanpa alasan.
Selain pengurus OSIS inti, kami adalah angkatan pertama di sebuah sekolah negeri yang baru berdiri. Tak pelak, suara kami serupa perintah Partai Golkar pada para PNS lugu di zaman orde baru: tak ada yang berani membantah.
Pasca gerakan “mogok” sehari itulah, saya dan sejumlah kawan menerima sanksi cukup berat. Satu di antaranya, kami wajib memanggil orang tua kami ke sekolah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kami semua.
Di tengah kemarahan dan kekesalan para orang tua pada anak-anaknya, dengan ketenangan yang luar biasa, Ibuk justru berpesan pada saya begini: awakmu ning omah iku asline ya wes sekolah, penting ojo mandek sinau. Tapi ngko gak nduwe ijazah lho ya (kamu di rumah itu aslinya juga sudah bersekolah, yang penting jangan berhenti belajar. Tapi ya kamu nggak akan punya ijazah).
Saat saya terancam keluar sekolah (formal) akibat tindak indicipliner, Ibuk adalah sosok yang sangat tenang dan tidak gupuhan sama sekali, bahkan selalu telaten meyakinkan saya bahwa: sekolah itu tidak penting, yang penting proses belajarnya.
Ibu amat sabar mengantar saya ke sejumlah pesantren dan sekolahan, demi agar saya mau terus belajar. Bahkan jika saya tak mau sekolah pun, Ibuk tak pernah marah pada saya. Sebab belajar bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Kesabaran Ibuk itulah, kelak yang membuat saya berubah.
Ibuk selalu membangun suasana belajar di rumah dengan sering-sering mengundang tetangga untuk belajar dan musyawarah. Ibuk seperti memberitahu saya bahwa bersekolah bisa dilakukan dengan bermacam cara. Di rumah pun sesungguhnya sudah sekolah, asal unsur belajar di dalamnya tak pernah padam.
Bagi Ibuk, jangan sampai saya bersekolah tapi semangat belajar hilang. Lebih baik tidak sekolah (formal) tapi semangat belajar dan minat hidup selalu dirawat. Sebab, ijazah hanya dibutuhkan saat melamar kerja. Sementara proses belajar akan selalu dibutuhkan manusia, bahkan pasca mereka meregang nyawa.
Ketelatenan Ibuk meyakinkan saya agar selalu belajar dengan berbagai macam cara itulah, kelak saya yakini sebagai esensi pendidikan alternatif. Sebab, selalu ada opsi dan alternatif untuk berupaya agar saya tidak pernah berhenti belajar.
Pendidikan Alternatif
Dalam berbagai definisi, pendidikan alternatif merupakan program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum, pendidikan alternatif di berbagai tempat memiliki persamaan, di antaranya: pendekatannya bersifat individual, memberi perhatian besar pada peserta didik, dan dominasi minat dalam proses belajar cukup besar.
Jery Mintz, pendiri Alternatif Education Resource Organization (AERO) pernah menjelaskan, pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian: sekolah publik pilihan (public choice); sekolah publik untuk siswa bermasalah (student at risk); sekolah independent dan
pendidikan di rumah (homeschooling).
Bentuk pendidikan alternatif tertua di Indonesia, adalah pondok pesantren. Diperkirakan mulai pada abad ke-15, yakni saat Wali Sanga mengajar ngaji masyarakat awam. Dalam catatan yang lebih jelas, sejak lahirnya Pesantren Tegalsari Ponorogo yang didirikan Ki Ageng Hasan Besari pada abad ke-18.
Pendidikan Alternatif sebagai Bentuk Perlawanan pada Penjajah
Melalui kebijakan Politik Etis yang terbit pada 1901, pemerintah kolonial mulai membuka sekolah untuk masyarakat di tanah jajahannya, mulai dari tingkat kanak-kanak hingga dewasa. Sayangnya, prakteknya tidak adil.
Sistem pendidikan Politik Etis dibagi atas tiga kategori berdasar pada pembedaan ras serta status sosial masyarakat. Yakni sekolah untuk warga Eropa, Timur Asing (Cina dan Arab), dan masyarakat pribumi. Pembedaan tersebut terkait fasilitas yang diberikan dalam proses pembelajaran.
Bagi masyarakat Eropa dan Timur Asing yang tinggal di Hindia Belanda, pemerintah kolonial menyediakan sekolah dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi yang bermuatan ilmu paling mutakhir sesuai perkembangan ilmu pengetahuan zaman itu.
Sementara masyarakat pribumi, hanya boleh mencicipi pendidikan di tingkat dasar dengan fasilitas secukupnya. Indikator kecukupan pengetahuan mereka adalah kemampuan membaca serta menulis Bahasa Belanda. Sehingga ketika lulus, dapat diandalkan sebagai pekerja administrasi pemerintah kolonial.
Dari alasan itulah, sejumlah tokoh pergerakan nasional di awal abad ke-20 mulai melakukan giat progresif dengan menggelar pendidikan alternatif.
Dimulai dengan lahirnya SI School yang didirikan Tan Malaka pada 1921 di Semarang. Sekolah milik organisasi Sarekat Islam cabang Semarang ini berdiri sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan anak-anak buruh di Semarang yang tak bisa masuk ke sekolah pemerintah kolonial.
Tan Malaka, tokoh pergerakan yang memiliki latar belakang guru itu, ingin anak-anak miskin mampu membekali diri dalam menghadapi perkembangan dunia dengan ilmu pengetahuan, selain itu juga bisa membebaskan bangsa Indonesia dari para penjajah. Oleh karena itu, tujuan utama dari SI School adalah soal pembebasan dan kemerdekaan, mulai dari tataran individu hingga bangsa.
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) juga mendirikan Taman Siswa pada 1922. Sekolah yang terbuka bagi seluruh buimputera ini, terkait dengan prinsip yang dijunjung, yakni tidak ingin membatasi lingkungan belajar dengan tembok-tembok yang kaku serta hubungan antara guru dan murid yang hirarkis. Karenanya, sekolah ini dinamakan taman, baik sebagai istilah maupun dalam bentuk fisiknya.
Taman Siswa merupakan sebuah sekolah yang memiliki visi memerdekakan jiwa setiap anak didiknya serta mendekatkan mereka dengan budaya lokal sebagai identitas bangsa. Dalam menggagas Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara banyak terpengaruh pemikiran Maria Montessori untuk menjadikan murid sebagai subjek dan guru hanya sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran.
Tokoh pergerakan lain yang memiliki gagasan perlawanan terhadap sistem persekolahan Belanda adalah Haji Agus Salim. Pimpinan Sarekat Islam ini menolak sistem pendidikan Belanda yang diskriminatif dan tidak membuka aksesnya pada setiap warga bumiputera, dengan cara mendirikan sekolah rumah untuk anak-anaknya.
Dalam buku 100 Tahun Agus Salim, Moehammad Roem menjelaskan, Agus Salim memberi pendidikan bagi anak-anaknya sedari lahir dengan menyediakan ruang belajar dan bermain di rumah tanpa dibatasi waktu. “Anak-anak itu tidak sekolah tetapi pandai berbahasa Belanda dengan baik, lancar dan bagus,” tulis Roem.
Menurut Roem, sekolah yang didirikan Belanda bagi kaum pribumi, hanya bertujuan mendapat tenaga kerja murah serta menciptakna watak tunduk pada segala perintah mereka. Masalah tersebut bisa dipecahkan dengan model pendidikan yang dilakukan Agus Salim.
Model pendidikan alternatif Haji Agus Salim bukan dilaksanakan secara spontan, melainkan didasarkan pada prinsip Agus Salim bahwa setiap orang harus dapat mandiri menghidupi dirinya sendiri, agar dapat memimpin rakyat tanpa bantuan penjajah.
Pendidikan Alternatif Era Kontemporer
Di Indonesia, menurut saya, ada dua sekolah alternatif yang layak dijadikan kiblat bagi siapapun yang ingin belajar tentang pendidikan alternatif. Dua sekolah itu adalah Sanggar Anak Alam (Salam) di Sleman Yogyakarta dan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) di Kalibening, Salatiga.
SALAM adalah sekolah alternatif yang didirikan dua sejoli Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo sejak 1988. Sementara KBQT merupakan sekolah alternatif yang didirikan Ahmad Bahruddin pada 2003. Yang hebat dari keduanya, selalu teguh pada prinsip belajar dengan merdeka.
Selain terbukti istiqamah melintasi berbagai ujian zaman, dua sekolah alternatif tersebut juga mampu menunjukan prestasi yang luar biasa. Prestasi yang tak mampu diraih sekolah formal pada umumnya. Yang karena itu, memicu decak kagum tokoh nasional hingga menteri pendidikan.
Dari eksistensi dua kiblat sekolah alternatif itu, sesungguhnya kita bisa menyaksikan jika kelak, Sekolah Alternatif jauh lebih diminati dibanding sekolah formal. Percayalah, ini hanya soal menunggu waktu saja. Alasannya sangat banyak sekali.
Kebosanan pada formalistis birokrasi yang amat ribet dibanding negara manapun di muka bumi, falsafah pendidikan yang selalu mbleset, urusan minat dan fokus yang tak pernah jadi prioritas, hingga evolusi ijazah yang kelak bisa diselesaikan secara alternatif; adalah beberapa di antara alasan itu.
Sekolah Alternatif Guratjaga
Meski terkesan masih seperti lembaga pendampingan belajar berbasis bimbel, Sekolah Alternatif Guratjaga memiliki ruh dan nafas serupa SALAM dan KBQT. Hanya, masih dalam proses pengembangan.
Di Sekolah Alternatif Guratjaga, para pendamping (fasilitator) fokus mendedar bidang literasi, ekologi, hingga giat-giat pendidikan luar sekolah (PLS) dengan metode riset dan apresiasi karya peserta belajar.