“Saya salut, kagum, iri dengan kerja produktif Bapak. Bagaimana, ya, saya bisa meniru!”
Demikian pesan seorang profesor asal Cirebon, Jawa Barat, kepada saya, sekitar tiga minggu yang lalu. Saya tidak tahu, apakah pesan mantan dekan di sebuah universitas negeri Islam itu merupakan sanjungan sepenuh hati atau sekadar pujian selintas semata. Yang jelas, usianya jauh lebih muda ketimbang saya dan kini menjadi direktur di sebuah kementerian di Jakarta.
Lepas dari sanjungan itu, sejatinya sudah berpuluh tahun saya membiasakan diri untuk menulis setiap hari. Sehingga, tak terasa, telah puluhan buku lahir lewat jemari saya. Kini, bagaimanakah cara saya membiasakan diri menulis setiap hari?
Sejak berpuluh tahun yang silam, saya telah membiasakan diri bangun dini hari. Sekitar pukul tiga dini hari. Selepas mandi (ini kebiasaan saya sejak berpuluh tahun yang silam) dan shalat Tahajjud, kemudian menikmati secangkir teh susu, saya langsung duduk di depan laptop.
Segera pula, jemari saya “menari-nari”: menulis karya sendiri, atau menyunting calon buku atau tulisan seseorang, atau menerjemahkan sebuah karya terpilih. Dulu, ketika usia saya masih di bawah 65 tahun, saya kuat menulis sejak dini hari hingga senja jari. Nonstop. Tentu diselingi mengurus pesantren, makan, dan shalat.
Lewat kegiatan rutin tersebut, yang bagi sebagian orang sangat membosankan, tak terasa puluhan karya tulis lahir. Dan, setiap karya tersebut memiliki kisahnya sendiri-sendiri.
Pada tahun ini sendiri, tiga calon buku telah saya rampungkan, alhamdulillah. InsyaAllah, akhir bulan ini, sebuah calon novel terjemahan akan saya rampungkan. Calon novel sufisme ini “menguak” perjalanan hidup empat sufi kondang: Abu al-Hasan al-Syadzili, Abu al-Abbas al-Mursi, Ibn Athaillah al-Sakandari, dan al-Bushiri. Ternyata, kisah hidup mereka luar biasa.
Abu al-Abbas al-Mursi, misalnya, lahir di Andalusia dalam lingkungan pengusaha besar. Nah, ketika keluarga ini berusaha melarikan diri dari Andalusia, karena negeri itu jatuh ke tangan pasukan Frank, ayah dan ibunya ikut tenggelam bersama kapal yang mereka naiki. Sedangkan al-Mursi terlempar ke pantai Tunisia dan diselamatkan oleh Syeikh Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi kondang. Kemudian, ketika al-Mursi tumbuh dewasa, ia ikut perang menghadapi Pasukan Salib.
Nah, ketika al-Mursi nyaris dibunuh oleh seorang anggota Pasukan Salib, nyawanya diselamatkan oleh seorang cewek yang petarung jempolan. Ternyata, cewek cantik bernama Latifa itu adalah putri Syeikh al-Syadzili. Kelak, mereka jadi pasangan suami-istri.
Di sisi lain, ada seorang putri yang terkenal cantik, dari lingkungan Dinasti Ayyubiyah, jatuh cinta kepada al-Mursi yang sangat tampan (kan berwajah hispanik). Namun, usaha Najma Khatun, demikian nama putri itu, untuk merebut al-Mursi dari tangan Latifa gagal.
Selain menghadapi “godaan cinta”, al-Mursi juga menghadapi “ujian sangat berat” sebagai seorang sufi. Utamanya dari para faqih Alexandria, kota yang kemudian menjadi pusat pengajaran yang didirikan al-Mursi. Salah seorang tokoh yang anti-al-Mursi adalah Ibn Athaillah al-Sakandari. “Al-Mursi itu kafir,” teriak Ibn Athaillah ketika belum “takluk” di tangan al-Mursi, yang kemudian menjadi murid kinasihnya.
Mengapa saya tak bosan menulis?
Menulis, bagi saya adalah kegiatan yang membuat saya terus belajar dan mencerahkan saya. Karena itu, selama saya masih dikaruniai umur dan sehat, saya akan terus menulis.
“Monggo Prof. Dr. WAG, panjenengan mulai menulis lagi. Janganlah jabatan keren membuat panjenengan tak sempat menulis!”