Apa yang dimaksud dengan “Tanda”? Jawa Kawi mengatakannya sebagai: “penguasa pasar, pejabat yang biasa memungut retribusi pasar dan barang yang telah dibayar, ditandai atau dicap”. Tanda, secara arti dapat disamakan sebagai “cap, panji, tanda, bukti nyata, pengingat” ( Wojowasito, 1977), dan juga “seiris (buah) untuk dicicipi.” Tonda-mantri dan Pecat-tonda adalah istilah Jawa untuk nama-nama dari pejabat kepala penguasa pasar.
Dalam Serat Wadu Aji, dapat dijelaskan bahwa gelar itu secara etimologi berasal dari kata “pancat” dan “onda” yang berarti meninggikan tangga kapal, yaitu kepala yang memungut tol laut, dan jika biaya itu telah dibayar, kapal dagang itu boleh berdagang atau boleh berlayar jauh, sehingga Pecat-tonda dapat dimaknai sebagai “penguasa muara sungai, selat, dermaga laut, dan semacamnya.”
Patya-tanda, dinyatakan sebagai Kepala Gerbang Tol Laut, sebagai pemegang otoritas perdagangan pasar.
Bahwa “Tanda” adalah pejabat kerajaan yang terhormat. Seperti terlihat dari laporan Belanda tentang Sumenep pada tahun 1707; setelah Bupati wafat, pemerintahannya diserahkan kepada “empat Papatih”, dengan nama Tanda Wira Mantri, Mas Sewanegara, Ingabei Marta Yuda dan Singandaka.
Di dalam karya Raffles (History of Java Vol I, 349), diterangkan daftar urutan „soldiers… employed in guarding the country from the approach of an enemy… Pechat tanda, Tamping, or Ulubalang”. Tamping adalah nama lama dari gelar “Gunung”, atau kepala kepolisian, jadi Pecat-tanda rupa-rupanya adalah gelar tertinggi di antara mereka, sekaligus pemimpin golongan rakyat yang dipanggil untuk mengangkat senjata.
Sajarah Banten menyebut bahwa putra Adipati Palembang, Raden Usen (Kusen) juga disebut “tanda” pada masa Majapahit, atau biasanya disebut dengan “Pecat-tonda”. Cerita tradisi itu menyebut bahwa di dekat sungai Bondo-Yuda, Lumajang, terletak reruntuhan Kuta Renon, tempat makam Pecat Tondo, Adipati Terung atau Raden Kusen dari Palembang itu.
Jika memang benar demikian, maka makam Raden Kusen itu paling tidak memuat dua informasi; bahwa Lumajang adalah kota pelabuhan Blambangan, dan penegasan tentang tokoh Pecat Tanda dari Trung. Dan “pecat-tanda” Trung itu sebenarnya sama dengan “Panca-tanda”. Oleh karena itu, seorang “Panca-tanda” adalah seorang pemimpin besar, kepala lima “Tanda” atau pemimpin wilayah yang luas.
Pada tahun 1677 Speelman melaporkan (De Jonge VII, p. 175), bahwa Susuhunan muda (Amangkurat II) telah menunjuk dua Gubernur di pantai utara: sebelah barat, di wilayah Kali Tedunan, muara sungai Sérang di Welahan-Kudus perbatasan dengan Demak, seorang Adipati Tegal bernama Martalaya. Sementara di sebelah timur, adalah seorang Tumenggung MartaPura, menguasai pelabuhan-pelabuhan pesisir utara bagian timur, muara Bengawan Solo dan Brantas, termasuk Blambangan.
Dari catatan Speelman tentang Samarang (De Jonge VII, p. 203), kita mengetahui bahwa para Bupati itu menyewakan kapal “syahbandar” di pelabuhannya; tol laut dipungut oleh para “syahbandar” ini, para Bupati menerima hasil dengan jumlah yang tetap setiap tahunnya, dan sebagian yang lain diserahkan kepada Susuhunan.
Keberadaan dua “Gubernur Pelabuhan” barat dan timur ini rupanya juga telah dicatat oleh Van Goens (B.K.I. deel 4), disebut sebagai “Wiera dan Wiera d’Jaya, ditunjuk oleh Susuhunan untuk seluruh Provinsi Pesisir Utara”. Mudah untuk mengatakan bahwa jabatan itu tampaknya telah ada jauh hari sebelumnya, kuat dugaan bahwa dua “pecat-tanda” itu sebelumnya juga termasuk Raden Usèn di Trung (timur) dan Raden Patah di Bintara (barat).
Asumsi ini akan menguat, jika “Unus” bukanlah serapan sebuah nama, seperti yang dilakukan Rouffaer ketika ia menghubungkannya dengan kata Arab “Yunus”, maka akan didapat alternatif bahwa “unus” dapat berarti “keluar”, atau “memungut pajak dalam bentuk barang”.
Dengan kata lain Adipati Unus adalah Panca-tanda pelabuhan Majapahit bagian barat, sebagaimana saudara tirinya dari pelabuhan timur. Dia tidak lain adalah Raden Patah sendiri, seorang Tanda Bintara, sesuai Sajarah Banten, dan Babad-babad lainnya.
Pujangga Babad mungkin juga menilai bahwa Dipati Unus alias Raden Patah adalah sebagai “alter ego” Sunan Kali-jaga, “jaga-kali” saat mengawal kejayaan pelabuhan Japara, sebagai Gubernur Majapahit, juga penjaga muara sungai Serang dan Selat Muria dari serangan musuh-musuh.
Karena kisah hiperbolik perjalanan ajaib Jaka Said saat mengarungi lautan, pertemuannya dengan Sunan Bonang, tapa-nya di Pulo Upih atas amanat Molana Sèh atau Ki-dara-putih, kepulangannya di Jawa dan sebaran kata “semongka”, hampir dipastikan seluruhnya bergaya wangsalan.