Berikut suara hati saya dan safari literasi di kabupaten yang konon lumbung pangan dan energi. Dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro, Jawa Timur.
Saya bukan kategori spesies/jenis manusia yang gampang menceritakan kehidupan pribadi kepada orang banyak. Biasanya hanya menceritakan keluh kesah yang melilit diri kepada segelintir orang saja, Nabs.
Dan itupun bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki manusia. Tetapi kali ini, saya berusaha menyakinkan diri untuk menceritakan kisah perjalanan yang saya alami wabilkhusus tentang dunia literasi.
Perjalanan mulai tumbuh minat baca hingga saya memiliki iktikad mengedarkan buku-buku melalui jasa rental yang saya dirikan. Supaya akses bacaan di Bojonegoro semakin berkualitas.
Nabs, hal tersebut berangkat dari kecemasan hidup. Cemas-cemas sedikit, menumpuk cemas kemudian, wqwq. Karena kecamasan menumpuk karena beberapa hal, seperti perihal kampus dan covid-19 yang tak kunjung usai.
Setiap hari terus disajikan makanan dan minuman dalam bentuk berita perkembangan virus, kematian, dan tentunya kuliah dalam jaringan (daring) atau online yang terus dilakukan sehingga membikin diri drop.
Saya mondar-mandir di rumah, Nabs. Layaknya kucing rumahan yang kebingungan mencari majikannya untuk dikasih makan, ya seperti itulah kondisi saya pada waktu itu. Serba kebingungan mencari pengetahuan untuk disantap.
Alhasil, saya tak sengaja menjumpai di laman beranda instagram yaitu foto dari akun seorang yang sengaja mengunggah cerita di instagram. Lebih tepatnya, unggahan itu mempromosikan buku “Merebut Tafsir”, karya Lies Marcoes.
Saya mencoba menilik sinopsis buku tersebut dan ternyata menarik perhatian saya sebagai pembaca awal. Sejak saat itu, saya mulai tertarik membaca buku dan kerapkali searching buku-buku berkualitas menurut rekomendasi Mbah Google, dan akhirnya saya tahu menahu soal penerbit seperti Gramedia, Marjin Kiri, Insistpress, Diva Press, dan lain-lain.
Saya selanjutnya tak berhenti melihat-lihat, sembari membaca sinopsis buku-buku rekomendasi yang ditampilkan aplikasi, tetapi langkah yang saya ambil adalah membeli buku-buku dengan uang hasil kerja keras saya, sampai-sampai saya mengurangi jajan bahkan sampai-sampai sengaja tak membayar uang kuliah tunggal atau UKT kampus karena keingin tahuan saya soal buku-buku, wqwq.
Kemudian membacanya tanpa tahu isinya. Yang penting baca saja dulu. Saya bukan dari keluarga literasi, lingkungan literasi, atau bahkan saya tidak berangkat dari komunitas apapun di kampus–kampus yang bisa menjadikan suport system dalam mempelajari buku-buku karena alasan yang tak bisa saya ungkapkan di sini.
Tentunya saya tak hanyut dalam kesedihan lalu merengek minta diturunkan semacam iham oleh Tuhan supaya diberikan buku-buku secara cuma-cuma apalagi minta diberi mukjizat memahami buku-buku berat bagi pembaca kelas wahid.
Meski adakalanya saya diejek karena membaca buku berat yang kadang-kadang membikin pikiran semakin pusing dan, sungguh saya tak keberatan karena hal itu. Santuy, saja, Nabs.
Seperti dalam pepatah lama, mungkin saya dapat diibaratkan semacam katak dalam tempurung. Dikarenakan tak pernah menjajal kemampuan ke luar sana, ya meski kadang-kadang tak perlu menunjukkan kemampuan.
Saya tak punya keberanian (lebih) berbicara di forum diskusi karena keterbatasan saya dalam mengaplikasikan kosa kata dengan artikulasi yang jelas. Namun, saya tak berhenti dari situ, mula-mula saya takut keluar dari tempurung tuaku untuk menjajal eksplor ke forum diskusi.
Secara tiba-tiba, tak sengaja saya dapat poster pelatihan jurnalisme sastrawi yang dibikin oleh sastrawan dari Sematta bernama Mas Andre atau yang akrab dikenal sebagai Muhammad Andrea. Kemudian saya tilik dan amati dirinya, yang ternyata merupakan orang-orang yang punya kemampuan mengorganisir acara. Karena memang beliau berangkat dari berbagai macam organisasi.
Setalah itu, saya mantapkan hati untuk mengikuti pelatihan jurnalisme sastrawi di Sematta. Pelatihan tersebut bertransformasi menjadi wahana bedah buku yang diadakan setiap hari Sabtu dan diikuti oleh berbagai peserta dari latar belakang berbeda.
Kegiatan bedah buku Sematta bukan hanya berfokus dalam bincang-bincang buku pilihan pemantik melainkan setelah diperbincangkan oleh peserta, pemantik diharapkan mengirimkan hasil resensinya ke Muhammad Andrea untuk diunggah ke laman blog maupun media alternatif yang senantiasa mengabarkan degup kebahagiaan. Dimana lagi, kalau bukan di Jurnaba.
Selain itu juga diunggah di akun instagram Sematta. Hingga saat ini, Komunitas Sematta Sastra telah berkali-kali menggelar diskusi buku dengan berbagai macam jenis buku untuk dijajakan khalayak supaya peserta diskusi tidak merasakan kebosanan dan jenuh akan materi yang dikabarkan pemantik.
Nabs, tak berhenti dari hal itu, saya merasakan kurang puas dengan kegiatan bedah buku terebut, sehingga saya memutuskan mencari-cari literasi di Bojonegoro dengan hanya mengandalkan media sosial instragram.
Akhirnya saya mendapati komunitas literasi yaitu Lentera Bojonegoro, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Raden Mas Syahid (Rasya), dan Gubuk Ekologisme Nurul Falah. Dan tentunya masih banyak kawan-kawan literasi yang belum saya temui di Bojonegoro.
Oleh karenanya, saya hanya bisa ikut nimbrung dikala waktu luang yang saya punyai di tiga tempat literasi tersebut. Berikut sekilas gambaran tentang komunitas literasi yang pernah saya kunjungi atau saya gunakan untuk belajar bersama.
Lentera Bojonegoro
Lentera Bojonegoro adalah taman diskusi di kawasan Sumberejo. Lebih tepatnya diselenggarakan di Kampoeng Joes, Desa Sumuragung. Dengan mengangkat diskusi perihal isu yang hangat diperbincangkan maupun bedah buku. Lentera Bojonegoro mulanya didirikan oleh lima sahabat literasi yaitu Mas Tamam, Mas Fathoni, Mas Agus, Mas Kholis, dan Mas Faiz.
Bermula dari cangkruk-cangkruk asyik di Taman Rajekwesi, mereka tak sengaja kepikiran tentang memberikah wadah diskusi yang konsisten untuk para pecinta literasi di Bojonegoro, Jawa Timur.
Lima sahabar tersebut tak sengaja nyeletuk ingin menyampaikan nama apa yang cocok untuk wadah literasi ini, dan….one, two, thre….daaaaaarrrrrr (dengarkanlah…), akhirnya usul dari Mas Faiz lah yang disetujui perihal mematenkan nama diskusinya; yaitu Lentera.
Maksud dari Lentera sendiri ialah cahaya kecil yang memberikan terang digelapnya kehidupan dan memberi kehangatan di sekitanya yang terinspirasi dari penerbit yang menerbitkan buku Pramoedya Ananta Toer yaitu Lentera.
Saat ini, Lentera masih beroperasi dengan berbagai kegiatan misal lapak baca gratis yang bisa diakses secara cuma-cuma di Kampoeng Joes, Lentera juga memberikan kesempatan kawan-kawan untuk memberikan sumbangan buku untuk kebutuhan para pembaca literasi.
Lentera mengadakan diskusi 2 minggu sekali yang diikuti oleh peserta dari berbagai macam latar belakang. Menimbrung untuk diskusi kiranya merupakan kegiatan yang saya geluti saat ini. Saya beberapa kali mengikuti diskusi yang diadakan di Lentera.
Diskusi di Lentera Bojonegoro menyuguhkan pemateri dari luar komunitas, dan pematerinya menyampaikan tema-tema yang sedang hangat diperbicangkan di hari-hari besar, peristiwa-peristiwa yang sedang jadi papan atas pembahasan publik, maupun bedah buku.
Serangkaian diskusi di Lentera kiranya menarik diikuti oleh teman-teman yang ingin menjajal atau mengeksplor diri ke dunia literasi.
Sematta
Nabs, Sematta merupakan komunitas yang memberikan wadah kepada pelajar maupun mahasiswa sebagai tempat pengembangan literatur. Melalui kajian bedah buku, meresensi buku, dan menulis puisi yang dibimbing oleh Mas Andrea atau yang akrab dengan nama pena Muhammad Andrea.
Dalam komunitas Sematta, kawan-kawan diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan berbicara di depan khalayak. Saya pertama kali menginjakkan kaki di Sematta adalah ketika saya mengikuti pelatihan jurnalistik sastrawi yang difasilitatori oleh Mas Ahmad Wahyu Rizkiawan (founder Jurnaba), selaku pembimbing dan pemateri kajian jurnalistik tersebut.
Awalnya, memang berfokus pada pelatihan jurnalistik sastrawi hingga melakukan berbagai riset kecil-kecilan perihal permasalahan di Bojonegoro. Hingga akhirnya diputuskan untuk dilanjutkan dengan berfokus kajian bedah buku.
Kajian bedah buku di Sematta sudah dilaksanakan bebarapa kali pertemuan dengan mengangkat berbagai tema buku disesuaikan dengan kesanggupan pemantik buku.
Hingga saat ini, Sematta komunitas masih aktif mengadakan kegiatan bedah buku setiap satu minggu sekali pada hari sabtu atau hari minggu. Berbagai jenis kegiatan komunitas Sematta, diadakan rutin di sebuah kafe di Pacul yang bernama Sematta Coffee.
Tepatnya di belakang kafe tersebut. Saya kira komunitas ini juga, salah satu rekomendasi dan layak sebagai jembatan bagi kawan-kawan untuk mengembangkan literatur dengan disesuaikan bakat dan minat peserta, Nabs.
Gubuk Ekologisme Nurul Falah
Gubuk Ekologisme Nurul Falah adalah sekolah alternatif yang berfokus berbincang perihal ekologi maupun tentang isu sengketa tanah atau lebih tepatnya agraria, namun sekarang di perluas mengangkat isu yang hangat diperbicangkan maupun yang layak diperbicangkan. Kegiatan ngangsu kaweruh (belajar) bareng diadakan di Desa Campurejo, Bojonegoro.
Sekolah alternatif ini didirikan oleh Mas Yogi Abdul Gofur atau nama akrabnya di medan tempur “Bung Yogi”. Sebagai alternatif belajar kawan-kawan yang sekiranya ingin mengenal tentang ekologi maupun isu lainnya.
Gubuk Ekologisme Nurul Falah, atau saya sering menyebutnya Nurul Falah Ekologi, wqwqwq, mulai beroperasi pada tahun 2019 yang beranggotakan satu orang saja, siji tok ndil.
Dan pada tahun 2022, telah memiliki anggota sebanyak 5 orang. Meski masih minim anggota, tidak membikin sekolah ini berhenti melakukan upaya untuk belajar bersama, misal dalam sekolah ini, Mas Yogi telah mendatangkan berbagai pengabar yang mumpuni dari berbagai macam latar belakang.
Seperti seorang jurnalis asal semarang ‘Adam Khatamy’ (BP2M UNNES), seorang anak hukum dari Surabaya ‘Dicky Eko Prasetio’ yang juga produktif menulis di tentang hukum di Jurnaba, maupun seorang aktivis perempuan yang berasal dari Kanor ‘Sadie’.
Dalam kegiatan belajar bersama di Gubuk Ekologisme Nurul Falah, juga pernah dihadiri oleh kawan-kawan Ekspedisi Indonesia Baru yaitu, Dandhy Laksono, Farid Gaban, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu.
Dan menggelar acara nobar dan diskusi film Silat Tani yang diproduksi oleh Koperasi Indonesia Baru yang bermarkas di Wonosobo, Jawa Tengah. Itu salah satu hal yang menarik saya setelah berkecimpung ke dunia literasi yang dilakukan oleh Mas Yogi.
Hingga saat ini, diskusi di Nurul Falah Ekologi, masih berlanjut dengan tetap menghadirkan pengabar-pengabar yang berkualitas. Tidak hanya itu, kawan-kawan yang belajar di Nurul Falah (kawan belajar) diberi kesempatan untuk mempresentasikan ihwal pengetahuannya entah melalui buku, lukisan, maupun lewat media lainnya, Nabs.
Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk apresiasi terhadap ilmu, pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki oleh kawan belajar. Karena saban kawan belajar, memiliki cara tumbuh dan berkembang yang berbeda-beda.
Mungkin kawan-kawa yang berminat ikut nimbrung diksusi bisa kok untuk nimbrung atau bergabung, lokasinya konon bernama “Surga Pojok Kota” di Kabupaten yang Konon sebagai Lumbung Pangan dan Energi. Yaitu di Dukuh Pohagung, Desa Campurejo RT 28 RW 01, Bojonegoro Kota.
TBM Rasya
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Raden Syahid (Rasya) adalah taman baca masyarakat yang ada di kawasan Mojodelik, Gayam, Bojonegoro. Komunitas ini didirikan dan dicetuskan oleh seorang perempuan bernama Ibu Muamalah.
Beliau berikhtiar memberikan akses bacaan di desanya supaya warga-warga maupun pelajar dapat menikmati literasi secara gratis. Mulanya, taman baca ini diperkenalkan ke seantero Kecamatan Gayam, namu ada sedikit kendala, sehingga akhirnya difokuskan, diperkecil skupnya mencakup wilayah Desa Mojodelik.
Nabs, TBM Rasya mempromosikan taman bacanya dengan mengadakan lomba untuk anak-anak seperti lomba membaca buku sebanyak-banyaknya, siapa yang paling banyak membaca buku akan dikasih hadiah, sungguh pendekatan yang membikin saya takjub, “waw…gumush bin amazing“.
Kala itu, saya menemui Mas Ilham, Mbak Ria, Mbak Dita, maupun ketua TBM Rasya yaitu Mas Yoga membincangkan perihal perkembangan TBM Rasya dari tahun 2014-sekarang. Mas Ilham menceritakan perjalanan awal mula TBM Rasya berdiri hingga 5 pergantian masa jabatan.
Di setiap masa jabatan para pemegang memberikan dampak yang besar seperti mencari sumbangan buku, mengadakan lomba, maupun diskusi yang menarik. Pada masa kepimpinan Mas Yoga (saat ini) berfokus memperkenalkan literasi kepada pelajar maupun mahasiswa di Mojodelik, kerapkali Mas Yoga membikin diskusi perihal tokoh biogafi, tokoh-tokoh lain, maupun buku yang disesuaikan keinginan pemantik.
Menariknya kini, diskusi TBM Rasya masih rutin dilakukan hingga saat ini. Dengan mengangkat pemateri dan biasanya diskusi diselenggarakan pada hari rabu kadang juga random atau acak.
“Ada diskusi spesial yang diadakan TBM Rasya pada hari jumat, yaitu diskusi yang dikhusukan untuk orang-orang yang memiliki kemampuan mumpuni dengan menyalurkan gagasan-gagasan dari orang ke orang sebagai bentuk upaya melatih nalar kritis mereka,” pungkas Mas Ilham.
Hingga saat ini, TBM Rasya masih aktif dalam menyelenggarakan diskusi yang ditengarai oleh Mas Yoga, pun kawan-kawan juga bisa ikut diskusi yang dilaksanakan disana. Monggo, kawan-kawan, jangan sungkan, hehe, sila merapat ke TMB Rasya maupun komunitas literasi yang lainnya!
Buku Jenggala
Buku jenggala merupakan layanan rental di Bojonegoro yang melayani peminjaman buku berkualitas dengan biaya yang affordable sebagai ikhtiar memeratakan akses bacaan untuk semua kalangan, Nabs.
Buku jenggala lahir karena keresahan saya, mendapati kurangnya akses bacaan yang berkualitas di Bojonegoro. Awal mulanya, saya berpikir bagaimana cara menjajakan buku supaya diminati banyak kalangan, yang dibantu oleh sepupu saya yang bernama Mbak Ida.
Nabs, buku-buku di Perpustakaan Jenggala memuat berbagai macam genre atau jenis buku yang disesuaikan dengan kebutuhan pembaca; ada novel anak, novel tentang tema perempuan, petualangan, buku riset, kajian kritis, filsafat, agama, sejarah, maupun buku-buku yang mengangkat isu sensitif perihal kesehatan mental, dan masih banyak lagi.
Meski terhadang oleh kekurangan biaya, para penyewa buku tidak berkeluh kesah, karena uang-uang dari penyewa buku turut diputar dibelikan buku baru berkualitas lagi. Kadang-kadang, orang-orang dari luar, teman saya, kerabat saya ikut memberikan sumbangan bebarapa buku maupun uang supaya dibelikan buku.
Saya bersyukur karena tanpa open donasipun masih ada orang-orang yang dengan suka rela sadar akan kebutuhan masyarakat perihal akses bacaan yang lebih kritis untuk melatih kepekaan terhadap isu sosial, lingkungan, maupun melatih empati mereka semua.
Hingga saat ini, buku Jenggala masih melayani peminjaman buku untuk kalian semua, bisa ditilik secara langsung di lokasinya yaitu Desa Wedi, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro.
Itulah, Nabs. Tentang cecurhatan dan safari komunitas literasi yang pernah dan sering saya kunjungi. Apabila ada waktu luang, tentunya sebagai bentuk ikhtiar saya, selalu ingin belajar bersama, teruntuk kawan-kawan yang mau ikut diskusi buku dipersilahkan mengikuti rutinan tersebut.
Saya yakin, bedah buku, diskusi, maupun belajar menulis adalah suatu bentuk kemewahan yang ada di Bojonegoro. Dikarenakan Bojonegoro masih kalah jika disandingkan dengan kota-kota yang lainnya, macam Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Tetapi itu semua tak membikin komunitas-komunitas literasi di Bojonegoro merasa “insecure’ terhadap apa yang telah diupayakan dengan rasa ikhlas dan sabar.
Menyoal komunitas literasi yang telah saya kunjungi, itupun masih beberapa saja, saya yakin masih ada banyak komunitas literasi di Bojonegoro yang mungkin belum saya temukan dan kunjungi. Semangat menebar kebaikan di berbagai lini kehidupan. Salam literasi, kawan-kawan!