Hamam tersedak air mineral. Herman terperanjat dari kursi. Tyo dan saya menatap langit, saat semalam (7/10), mas-mas penjual rokok bilang, harga Pro Mild naik jadi Rp 18 ribu per bungkus. Sama plek kayak harga rokok Surya biasa.
Padahal, siang harinya, harga Pro Mild masih Rp 16 ribu, sedang Surya biasa Rp 17 ribu. Tentu, ini semacam serangan malam yang mengagetkan. Meski bisa jadi harga di tempat lain berbeda, setidaknya kabar ini cukup membuat kami menggelar diskusi mendadak.
Sebagai “Pria Punya Selera”, kami memang perokok Gudang Garam garis keras. Ada yang menganut sekte Surya seperti Hamam dan Herman. Ada pula yang mempercayai sekte Pro Mild seperti saya dan beberapa teman lain.
Yang membikin Hamam dan Herman bereaksi tentu bukan hanya masalah kenaikan harganya (ini jadi masalah juga sih), tapi lebih pada kesetaraan harga antara Pro Mild dan Surya.
Bagi anak-anak Surya, kedudukan Pro Mild ada di bawah kasta mereka. Karena itu, harga sebungkus Surya harusnya lebih mahal dari Pro Mild. Kesetaraan harga antara Pro Mild dan Surya adalah kecelakaan kasta yang berdampak pada bencana sosial.
Meski berbeda paham — tapi yang diempak tetap saja Gudang Garam — kami semua satu suara jika kenaikan harga rokok lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya.
Selain belum tentu membawa kesejahteraan bagi petani tembakau, kenaikan harga rokok juga tak berdampak pada berkurangnya perokok. Bahkan, memicu potensi terjadinya kriminalitas. Hmm
Saya meyakini rokok sebagai penyempurna 4 sehat 5 sempurna. Apapun makanannya, tombopedes-nya tetap merokok. Namun, terlepas dari itu semua, ada yang memaknai laku merokok sebagai proses bersyukur.
Benarkah merokok adalah proses bersyukur? Saya kira, pernyataan itu amat debat-able dan bantah-able dan geger-able dan bisa memicu perang dunia entah ke berapa antara kubu pro dan anti tembakau.
Saat masih kecil dulu, sesuatu yang dibakar identik sebagai makanan hantu. Bahkan, orang-orang tua dulu sering berkata, jika ingin memberi makan hantu, cukup bakar kemenyan atau dupa.
Niscaya, hantu itu bakal merasa bahagia. Karena merokok adalah proses membakar kertas dan tembakau, merokok adalah kegiatan hantu. Jadi, jangan ditiru. Begitu kata orang-orang tua dulu.
Berbekal nalar kritis anak-anak, saya sering bertanya, bagaimana bisa hantu merasa kenyang hanya karena dibakarkan dupa ataupun kemenyan?
Padahal, fenomena kenyang bisa terjadi jika ada zat padat ataupun cair yang masuk ke dalam usus.
Lalu, ke-kenyang-an seperti apa yang dirasakan para hantu saat menikmati asap?
Sayang, pemikiran itu tak jadi saya teruskan karena saya mulai curiga bahwa organ pencernaan hantu itu tak berwujud. Sehingga, untuk menimbulkan fenomena kenyang pada organ yang tidak berwujud, asupan makanannya pun juga sesuatu yang memang tidak memiliki wujud. Begitu pikir saya.
Setelah lumayan dewasa, saya tahu bahwa asupan makanan tak berwujud ternyata banyak variannya. Bahkan, tidak hanya dikonsumsi makhluk halus. Melainkan makhluk kasar seperti manusia. Salah satu varian makanan tak berwujud yang paling populer adalah rokok.
Bagi sebagian orang, merokok jadi (makanan?) penutup yang wajib dihadirkan pasca mengkonsumsi “makanan berwujud”. Istilah kerennya, dessert.
Banyak yang meyakini jika tanpa rokok, proses pasca menelan makanan terasa kurang sempurna. Sebab, rokok adalah penyempurna 4 sehat 5 sempurna.
Sebelum saya menjadi seorang perokok, saya pernah mengajukan pertanyaan kritis pada kawan saya yang lebih lama menjadi perokok. Apa fungsi merokok?
Adakah dampak bahagia, seperti yang dirasakan hantu saat dibakarkan kemenyan atau dupa? Atau ada dampak kenyang dan menghilangkan rasa dahaga?
Sebab, waktu itu, saya meyakini, fungsi benda eksternal masuk ke dalam tubuh hanya ada dua. Kalau tidak menghilangkan lapar ya menghilangkan dahaga. Tidak lebih dari itu.
Lalu, jika tidak masuk dalam dua kategori tersebut, tidak patutkah kita mempertanyakan, sekali lagi, apa fungsi merokok bagi tubuh?
Rokok, menurut kawan saya, tidak seperti makanan manusia pada umumnya. Ia tidak memberi kepuasan apa-apa pada tubuh. Yang ia puaskan hanya dampak psikologis. Menurutnya, merokok mempertebal rasa percaya diri dan memperkalem peringai.
Merokok tak hanya memberi dampak pada diri pribadi seorang perokok. Dampak merokok melampaui hak individu. Melainkan hak banyak orang seperti petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Bahkan, teman nyangkruk yang tak punya rokok juga kecipratan dampak baik.
Karena itu, perokok bukan orang sembarangan. Perokok jelas orang yang memiliki mental kaya. Mereka yang memiliki mental memberi, alih-alih perhitungan dan menimbun harta benda sendiri. Perokok, tentu orang yang pandai bersyukur. Mensyukuri apa yang dimiliki.
Sayangnya, kamu semua harus segera menghancurkan bangunan imajinasi positif terkait laku merokok yang baru dijelaskan tadi. Sebab, di antara petani dan suburnya tembakau, terdapat jejaring kapital yang memainkan harga dan terus memperlebar jarak antara petani miskin dan tengkulak tembakau yang kaya raya.
Merokok seperti ngontrak rumah yang tiap tahun harganya naik. Merokok, tentu berdampak pada pemborosan uang akibat digunakan untuk membeli kemasan tembakau linting tersebut. Naiknya harga rokok tak dibarengi kenaikan kesejahteraan petani dan para buruh pabrik rokok.
Belum lagi soal kesehatan. Asap rokok sangat berbahaya tak hanya bagi para perokok. Orang yang tidak merokok pun bisa terkena dampak yang tak sederhana. Jika merokok sekadar memenuhi kebutuhan psikologis, tegakah kita membahayakan orang lain hanya demi memenuhi nafsu psikologis kita?
Dalam setiap hembusan asap rokok, ada ke-tidaksejahtera-an petani, ancaman kesehatan masyarakat, dan paling parah, di balik gegap-gempita heroisme perlawanan melawan gerakan anti-tembakau, ada oknum pro-tembakau yang diam-diam menikmati hasil CSR-nya sendiri.
Jadi, mengurangi atau berhenti merokok adalah tindakan yang mulia— jika tak ingin memperkaya jejaring kapitalisme dan membahayakan kesehatan orang lain. Saat ini saya berhenti merokok. Sebab rokok saya kebetulan sedang habis dan tinggal bungkusnya saja.